Bab 20

971 150 35
                                    

Seharusnya ini menjadi pagi yang cerah, dimana kulihat senyum lebar Paman Hue setelah semalam dia menelepon putrinya. Nilufer dan Vivian yang tampak kegirangan karena berhasil mendapat pakaian yang diinginkan. Nyonya Gulnora menambah untaian perhiasan. Sementara wajah Tuan Salimgerey dan Tuan Qazir tampak berseri-seri.

Semalam mereka baru saja mendapatkan gaji, dan mungkin sedikit bonus karena melakukan pekerjaan dengan bagus. Kecuali aku.

Semalam pria itu menatapku dari balik meja kerjanya dengan begitu lekat, seolah sedang memindai jika ada sebuah senjata yang kusembunyikan di balik punggung.

Lalu dengan senyum sinis yang tersungging di bibirnya, dia menyodorkan padaku. Sebuah amplop kosong. 

"Bulan depan kau masih menerima jumlah yang sama. Ah, maksudku, tak ada jumlah di dalamnya." Dia berucap santai. "Berterimakasihlah padaku, Oris, karena aku sudah bermurah hati tidak menembak kepalamu. Sekali lagi kau merusak mobil di sini maka kau tak akan pernah bisa keluar dari rumahku."

Suaranya begitu penuh penekanan, sangat mengintimidasi.

Aku --terpaksa-- mengambil amplop kosong itu dari mejanya. Lalu merendahkan bahu tanpa mengucapkan kalimat apa pun.

"Kau mengerti?" 

"Ya, aku mengerti."

"Bagus, keluarlah, dan nikmati gajimu," ejeknya.

Aku melangkah keluar dari ruangannya dengan tangan gemetar. 

Seharusnya, ini menjadi pagi yang cerah, jika saja tak harus kulihat pemandangan itu.

"Duduklah di sini, Alaia," perintah lelaki itu datar, sambil mengiris roti di piring sarapannya. 

Nona Alaia, yang pagi ini terlihat begitu cantik dengan rona kemerahan di kedua pipi, sesaat hanya berdiri ragu.

Lelaki itu mendongak dari piring di hadapannya, lalu melemparkan senyum tipis pada istrinya. 

"Bukankah seharusnya kita duduk saling berdekatan, sebagai suami istri."

Nyonya Gulnora membuka piring yang terletak di kursi terdekat dari Tuan Leonel. Seolah sedang mempersilakan Nona Alaia untuk menuruti perintah suaminya. 

Nona Alaia akhirnya duduk di sana. Lalu mereka memakan sarapan dengan posisi paling dekat yang pernah kulihat selama ini. Aku kembali mengalihkan pandangan pada sarapan di hadapan, sambil tersenyum tipis dan menggelengkan kepala.

Ya, tentu saja, itu menyakiti. 

*** 

      "Nona, aku tahu aku hanya pelampiasanmu. Tapi bisakah kau bertahan sedikit lebih lama?"

"Setidaknya, sampai aku berhenti tergila-gila."

"Kau tahu apa yang paling kutakutkan setelah ini?"

"Saat aku harus melihat kalian mulai saling jatuh cinta."

"Nona, lalu akan jadi apa aku ... di hadapanmu?"

"Oris, kita akan kemana?" Nona Alaia bertanya --membuyarkan lamunan penuh tanya di kepalaku-- sambil memandang keluar jendela. Terlihat kebingungan karena mobil meluncur di satu tempat yang asing. Baginya.

Aku tak menjawab, tetap mengendalikan laju mobil dengan tenang, sambil mengukur bagaimana laju kendaraan lain di depan sana.

Aku tahu setelah ini akan semakin sulit bagiku untuk berdua saja tanpa diawasi. Karena aku tahu benar bagaimana sikap seorang pria saat sedang jatuh cinta. Mungkin setelah ini, dia akan selalu bertanya, kami pergi kemana. Kami sedang di mana. Dan kami akan kemana. Lalu diam-diam mengawasi.

Mobil menepi di sisi jalan --di bawah guguran daun maple yang menenangkan-- daerah yang kemungkinan terlalu asing bagi kami berdua. 

Nona Alaia terdiam di bangku belakang, entah kenapa, aku merasa mulai ada sebuah dinding tak kasat mata di antara kami.

"Oris?" 

"Nona, aku ingin bertanya padamu," ucapku, sambil menatap sepasang mata hazel itu lekat. 

Wanita itu tak menjawab, tapi aku tahu dia mau mendengarkan. 

Aku membuka breton hat dari kepalaku, hanya agar kami bisa leluasa saling menatap mata, lalu memutar bahu menoleh ke arahnya.

"Ponsel ini baru?" tanyaku, sambil mengeluarkan ponsel hitam itu dari saku celana.

Sepasang mata itu melebar sekilas, ada kilat aneh yang aku tak tahu apa artinya. 

"Kemana ponsel yang lama?" tanyaku lebih lanjut. 

Nona Alaia masih diam, kemudian dia mengalihkan pandangan keluar. Tanpa sadar menggigiti bibir sendiri. 

"Oris, ayo pulang."

"Nona, Anda belum memberi jawaban."

"Oris."

Kami saling memandang. Lalu kusadari sesuatu yang semakin menyakitkan. 

Bahwa aku memang hanya dimanfaatkan untuk membuat Tuan Leonel cemburu. Bukankah begitu, Nona?

***

     Nyonya Gulnora, malam ini kami berpapasan di koridor menuju deretan kamar. Di bawah cahaya redup kekuningan lampu lorong, aku melihat wajahnya terlihat sedikit sungkan saat harus menghentikan langkahku di hadapannya. 

"Oris," panggilnya.

Aku berhenti. 

"Ya, Nyonya?"

Dia berdehem sebentar. Seperti sedang mengusir segenap keraguan.

"Katakan, apa kau tahu sesuatu?" tanyanya dengan nada begitu hati-hati.

"Tahu apa?" Aku mengernyit. 

Dia menghela napas, sempat melemparkan pandangan kearah lain, bibirnya sedikit berkedut menandakan betapa wanita yang biasanya terlihat elegan dan tegas itu sedang mencoba mengendalikan perasaannya.

"Sesuatu tentang ... suamiku."

Aku menatapnya. 

.

     Keheningan sempat menyelimuti kami hingga beberapa detik lamanya. Kemudian aku menjawab pertanyaannya.

"Suamimu, Tuan Salimgerey, perutnya semakin membuncit akhir-akhir ini." Aku mengangkat bahu.

***

     Aku tahu ada yang semakin berbeda dengan sikap Nona Alaia. Aku menyadarinya.

Dan pagi ini, semakin menjelaskan semua tanya yang selama beberapa hari ini selalu berkelebat di kepala.

Tentang siapa aku, bagi Nona Alaia.

Wanita itu mengenakan gaun yang begitu elegan melangkah menuruni tangga teras. Rambutnya yang terurai bergerak-gerak mengikuti ayunan langkah, semakin cantik, dalam setiap detik.

Aku segera membukakan pintu mobil untuk Nona Alaia, tapi dia berdiri termangu. 

.

Aku masih menatapnya dengan hati separuh retak, saat melihat bagaimana dia melangkah menuju mobil Tuan Leonel, dibukakan pintu pada sisi sebelah kemudi oleh lelaki itu, lalu dengan tanpa belas kasihan --padaku-- masuk ke dalam.

Kemudian mobil itu meluncur keluar meninggalkanku dalam kegamangan.

Aku telah ditinggalkan.

.

BLACK HOUSEWhere stories live. Discover now