Bab 18

780 135 43
                                    

       "Tewas?" Aku mengulang, kaget.

Paman Hue mengangguk. Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi dari gerak-geriknya aku tahu dia tak ingin kami membicarakan tentang kematian Tuan Samet.

Setidaknya, jangan di sini.

Kembali kuingat bisik-bisik rahasia Nilufer dan Vivian, percakapan yang tak kumengerti antara Tuan Qazir dan Tuan Salimgerey, juga sikap Nyonya Gulnora yang seperti tengah menahan sesuatu dalam ekspresinya. Entah kemarahan, atau kengerian yang coba disembunyikan.

Juga kedatangan beberapa tamu yang ditemui Tuan Leonel di ruang kerja pribadinya. Yang tadinya kupikir hanyalah orang-orang dari pemerintahan, atau pencari dana yang biasa mengemis dari pengusaha satu ke pengusaha lainnya.

Tanpa sadar, aku menatap punggung Nona Alaia. Bahkan dia tak memberitahuku tentang kematian sopir pribadinya. 

Kenapa?

.

      Setelah kami menemukan tempat yang aman untuk saling bicara, akhirnya Paman Hue menceritakan apa yang baru saja terjadi sekitar empat hari yang lalu. 

Tuan Samet ditemukan tewas bunuh diri dengan cara menembak kepalanya sendiri. Di dalam mobil yang terparkir, saat dia sedang menunggu Nona Alaia yang sedang berbelanja. 

Pihak kepolisian yang menangani mengatakan bahwa lelaki paruh baya itu sedang dalam tekanan masalah keluarga. Sang istri ingin mereka bercerai setelah semakin kuat menemukan bukti bahwa terjadi perselingkuhan. 

Lelaki itu berselingkuh, dengan salah satu penghuni Black House. 

Siapa?

.

      Aku membukakan pintu mobil untuk Nona Alaia, meraih jemarinya untuk membantu wanita itu berdiri. Kupandangi telapak tangan halus itu, lalu mengangkat wajah menatap sepasang matanya.

"Ada yang belum Anda ceritakan, Nona?" tanyaku.

Nona Alaia menatapku. 

"Tentang kematian seseorang."

Dia mengalihkan pandangan, dengan ekpresi yang begitu sulit kuartikan.

***

     Aku ingin menepis perasaan yang menyusup perlahan, karena mulai menyakitiku. Tentang bagaimana sikap Tuan Leonel yang terlihat gelisah karena ketidakpedulian Nona Alaia akhir-akhir ini. Juga tentang bagaimana pria itu diam-diam mencuri pandang pada wajah istrinya saat mereka makan di meja yang sama.

Lalu semuanya seakan menjadi jelas. Siang ini. Saat mereka tak sengaja bertemu di depan pintu sebuah restoran. 

Tuan Leonel dan kekasihnya, sementara Nona Alaia denganku, yang mengekorinya. 

Bisa kulihat kilat terkejut di wajah Tuan Leonel, mungkin takut Nona Alaia akan bersikap brutal dan membuatnya malu di depan umum. Tapi tidak, nonaku melenggang begitu saja tanpa mempedulikan sepasang kekasih yang pernah berciuman mesra di hadapannya. Bahkan dia bersikap seolah tak melihat mereka berdua.

Well- itu mengagumkan.

Kemudian tiba-tiba saja, tangan Tuan Leonel menyambar lengan Nona Alaia hingga wanita itu merapat ke tubuhnya. Menciptakan keterkejutan di wajah sang kekasih yang semula berdiri begitu anggun  mendampinginya.

"Lepaskan aku," ketus Nona Alaia sambil berusaha membebaskan lengannya.

"Apa kau gila, Alaia? Kau datang ke sini dan ingin makan dengan seorang ...."

Aku tahu apa yang terlintas di otak pria itu saat melihatku. 

Anjing, benar?

"Apa urusannya denganmu?" Nona Alaia mengangkat wajah, menatap mata suaminya dengan sikap menantang.

"Tentu saja ini menjadi urusanku! Aku suamimu, dan kau akan membuatku ditertawakan oleh seisi pengunjung restoran karena duduk bersama dengannya," dengkus Tuan Leonel.

"Lalu apa bedanya dengan yang kau lakukan barusan?" tantang Nona Alaia sambil mengangkat dagu kearah wanita yang seketika mengalihkan pandangannya.

"Orang-orang itu hanya tahu bahwa dia asisten pribadiku."

"Asisten yang pernah berciuman denganmu di depan umum?"

"Alaia!"

"Lepaskan aku!"

Lelaki itu menyeret lengan Nona Alaia kembali ke parkiran. Dan sialnya, aku hanya bisa mengikuti mereka tanpa bisa melakukan apa pun. Membuatku merasa benar-benar seperti anjing sekarang. Ah, bahkan anjing pun akan menyalak saat melihat tuannya disakiti. Tapi aku tak bisa melakukannya. Itu artinya aku bahkan lebih rendah dari anjing, begitu kan?

"Apa yang kau lakukan?" Tuan Leonel menatapku tajam, saat menyadari aku menggeser diri di antara mereka, dengan posisi melindungi Nona Alaia. Membuat pria itu terpaksa harus melepaskan cekalan tangannya.

Aku merendahkan bahu tanpa menjawab pertanyaannya, lalu membukakan pintu mobil dengan sigap dan perasaan entah.

Sempat kulirik wanita bertubuh sintal yang tampak mematung di sisi pintu masuk restoran. Dari ekspresi wajahnya pun bisa kulihat rasa ketidakpercayaan. Tentu saja dia terkejut, biasanya Tuan Leonel akan meninggalkan Nona Alaia demi berjalan bersamanya, tapi kali ini ... ada hal yang berbeda.

Dan jujur, itu menyakitiku juga. 

Kututup pintu mobil dengan hati-hati, lalu segera membuka pintu di bagian kemudi.

"Kita pulang!" perintah Tuan Leonel.

Aku menyalakan mesin, diiringi debar yang mengantar hawa panas di dalam dada, yang mati-matian harus kuredakan sendiri.

Sempat kulirik dari kaca spion, bagaimana Tuan Leonel tak lagi melemparkan pandangan keluar. Dia diam menyandarkan punggung di kursi, sesekali mengusap wajah, lalu mengamati Nona Alaia yang hanya diam.

"Aku akan meninggalkannya," ucap Tuan Leonel datar.

Nona Alaia menoleh sekilas, lalu kembali menatap lurus ke depan.

"Alaia, kau mendengarku?" geram lelaki itu.

"Apa peduliku?" 

"Kau!"

Lalu tiba-tiba saja lengannya menyambar tengkuk Nona Alaia, meraihnya mendekat, lalu hampir saja memberi sebuah ciuman jika saja tak terjadi kecelakaan itu.

Suara rem berdecit tajam! 

BRAKK!

.

BLACK HOUSEDonde viven las historias. Descúbrelo ahora