Bab 6

921 149 18
                                    

       Mobil meluncur tenang memasuki halaman rumah besar bernuansa hitam itu. Matahari bersinar cukup cerah untuk jam 10 pagi. Setelah mesin benar-benar berhenti, aku membuka pintu dan segera memutari mobil untuk Nona Alaia. 

Wanita itu --dengan wajah masih ditekuk-- melangkah keluar dan meninggalkanku begitu saja. Dagunya sedikit terangkat, tentu saja. Menandakan bahwa dia masih sangat tersinggung dengan ucapanku di parkiran gedung apartemen tadi. 

Aku kembali menutup pintu mobil dengan hati-hati, lalu melangkah di belakangnya.

Di depan pintu, Nyonya Gulnora tampak menunggu. Wanita itu sedikit membungkukkan bahu saat Nona Alaia melewatinya, lalu mengekor di belakang. Sementara aku berbelok menuju pintu samping, sesuai dengan statusku.

"Kemana saja kau semalam?" Paman Hue segera menyeret lenganku menyingkir dari tengah ruangan. 

Wajah tuanya tampak diliputi kecemasan, mungkin semalaman dia terus membayangkan apa yang akan terjadi jika Tuan Leonel tahu yang sebenarnya.

"Aku sudah menceritakan yang sebenarnya padamu," ucapku lelah. 

"Kau tahu semarah apa Tuan Leonel semalam?" Paman Hue sedikit menekanku pada dinding. Iris matanya bergerak-gerak menatap wajahku.

"Lalu aku harus bagaimana? Aku tak bisa membantah keinginan Nyonya pergi ke klub malam," bantahku.

"Jika berada dalam situasi seperti semalam, Tuan Samet pasti menelepon Nyonya Gulnora lebih dulu."

"Paman tidak memberitahuku tentang ini."

Paman Hue melepaskan pegangan tangannya dari lenganku. Kemudian lelaki berperut bulat itu mengusap wajahnya.

"Tolong jangan bawa aku ke dalam masalah yang lebih besar setelah ini. Kau mengerti?" ancamnya. 

Aku mengangguk.

***

      Sofa empuk, suasana hening dan rasa lelah adalah perpaduan yang sempurna untuk merebahkan diri dan memejamkan mata. Masih tetap harus terjaga, karena sewaktu-waktu bisa saja Nona Alaia memanggil untuk diantar entah kemana. 

Aku berbaring dengan kaki menyilang di atas sofa, pada ruang yang memang khusus disediakan bagi para pekerja seperti kami. 

Entah berapa lama aku memejamkan mata, nyaris terlelap lalu saat kembali terjaga, telah ada Vivian berdiri tak jauh dariku. 

Gadis itu tampak kaget karena mungkin tak menyangka aku menatapnya. Tak lama kemudian, Tuan Salimgerey memasuki ruang ---dan nyaris saja merabai tubuhnya,-- kalau saja dua lengan kekar itu tak segera ditepis oleh Vivian.

Ah, shit. 

Aku memalingkan wajah. Tahu bahwa saat ini lelaki bertubuh tegap itu pasti merasa tertangkap basah oleh keberadaanku.

Pria itu berdehem, gelisah. 

"Sejak kapan kau di situ, Oris?" tanyanya dengan nada tak suka.

Aku menarik punggung dari sandaran, lalu bangkit berdiri. Mengangkat bahu sekilas, kemudian melangkah keluar ruangan.

"Sejak tadi. Lanjutkan saja," sahutku santai saat melewati mereka. 

Baru semalam aku tahu bahwa lelaki itu adalah suami Nyonya Gulnora, dan well- lihat sekarang, apa yang kutemukan. 

Black house, memang menyimpan begitu banyak misteri.

.

      Nona Alaia tak terlihat lagi hingga menjelang malam. Dan entah kenapa, seperti orang bodoh aku menunggunya. Duduk di bawah tangga panjang melingkar di mana karpet merah menyelimuti dari ujung atas hingga ke ujung bawah, mendongak ke atas, seolah dari sana saat dia turun nanti akan mengulurkan jemarinya padaku.

Mungkin hanya sekadar ingin memastikan dia baik-baik saja, atau mungkin juga karena ... melihatnya mulai serupa candu bagiku. 

Jam tujuh malam, Tuan Leonel datang. Lelaki itu segera menaiki anak-anak tangga menuju kamarnya. 

Sekitar satu jam kemudian, mereka turun untuk makan malam. 

Meja makan itu terlalu luas jika hanya diisi oleh dua orang, menurutku. Hingga yang terlihat hanyalah sepasang suami istri yang duduk saling berseberangan pada masing-masing ujungnya. Lampu kristal cantik dan mewah menggantung rendah tepat di atas meja berbentuk persegi panjang dengan sisi-sisi melengkung. Di atas meja, tersaji berbagai hidangan dengan peralatan makan lengkap.

Tak ada sapaan hangat, tak ada obrolan khas suami istri. Acara makan malam itu terasa begitu hening dan kaku.

Nyonya Gulnora dan Nilufer berdiri di sisi, melayani makan malam dengan sikap berdiri sempurna. Sementara aku diam-diam mencuri pandang dari ruangan yang berbeda.

Sepuluh menit pertama, semua tampak rapi dan teratur. Tapi beberapa menit selanjutnya, mulai terjadi perdebatan dengan kalimat-kalimat yang terlontar secara elegan.

Terlalu elegan.

Sampai akhirnya Nona Alaia menyebut wanita simpanan Tuan Leonel dengan sebutan si jalang.

Suara denting sendok terbanting sedikit mengagetkan.

Punggung Nona Alaia terlihat menegang, saat Tuan Leonel menggeser kursi dan melangkah cepat kearahnya.

"Berhentilah menyebutnya jalang, Alaia!" bentak lelaki itu dengan geraman tertahan. 

Lalu telapak tangannya terulur dan mencengkeram rahang Nona Alaia sambil membungkukkan badan, sikapnya begitu mengintimidasi.

"Jangan ikut campur, Oris!" Lenganku ditahan oleh Paman Hue yang ternyata sudah berada di sebelahku. 

Aku menoleh, menyentakkan lengan untuk melepaskan diri. 

Paman Hue pasti tak tahu bahwa lelaki itu dengan enteng melakukan pemukulan terhadap istrinya sendiri. Atau sebenarnya mereka tahu, tapi tak berani membantu. Miris sekali!

"Oris!" panggil Paman Hue dengan suara tertahan.

Aku melangkah menuju kearah mereka. Hanya sepersekian detik kemudian, baru kusadari cengkeraman di rahang Nona Alaia telah terbalas dengan siraman air di wajah lelaki itu.

Tuan Leonel memejamkan mata, sementara Nona Alaia meletakkan kembali gelas yang baru saja dia tumpahkan isinya. 

Di kepala suaminya. 

Wow. Langkahku berhenti, lalu menyandarkan diri di meja bar di sisi ruangan. 

Ini baru pemandangan bagus. 

Nona Alaia sempat melirik menyadari keberadaanku, lalu dengan dagu terangkat dan sikap congkak, dia melangkah pergi meninggalkan lelaki yang telah basah kuyub itu.

Well- aku sungguh menikmatinya.

.

BLACK HOUSEWhere stories live. Discover now