Bab 16

851 151 47
                                    

       Aku berdiri di tepi jalan raya, menunggu mobil lewat untuk menumpang menumpang dan memberi tumpangan adalah hal yang telah membiasa di kota ini. Satu dua mobil melintas begitu saja tanpa mempedulikan lambaian tanganku. 

Well- bukankah itu menyedihkan, Nona?

Aku bersandar di tiang penunjuk jalan, dengan tangan masih menggenggam erat amplop pemberian Nona Alaia. Sempat kubuka, isinya memang benar-benar lebih dari yang seharusnya. Dan itu membuatku ... merasa benar-benar rendah.

Di hadapan Nona Alaia.

Sebuah minivan akhirnya berhenti, sang pengemudi membuka kaca dan aku menghampirinya. Tampak seorang pria berkacamata hitam di belakang setir. Dia menggerakkan jemari sebagai kode berapa harga yang diinginkannya. 

Setelah bernegosiasi berapa harga yang harus kubayar, pintu mobil itu terbuka. 

Lalu aku menyandarkan diri, kembali pulang, dengan setengah hati.

.

Setelah itu aku kembali menjalani hidup, di dunia lamaku. Kembali membuat lukisan-lukisan absurd di tepi jalan dan mendapat satu dua pembeli yang terkadang keheranan.

"Bukankah wajah ini mirip dengan seseorang?" tunjuk salah satu dari mereka pada yang lainnya. 

"Siapa?"

"Istri Tuan Leonel." 

"Benarkah? Wajahnya seperti ini? Tapi kupikir ini bukan lukisan wajahnya yang diambil dari foto-foto di internet itu."

Aku tetap diam, masih menggerakkan kuas di atas kanvas dan membiarkan mereka sibuk menebak-nebak tentang lukisan seorang wanita bergaun ungu yang tengah menatap keluar lewat jendela. Pemandangan yang kulihat di kamar itu untuk terakhir kalinya. 

Wajah dan sikap tubuh terlihat begitu elegan dan tenang, tapi sorot matanya memancarkan kehampaan dan kerinduan. Begitu dalam. Ah, tapi ini bukan warna matanya. Itu warna mataku, juga sorot rinduku. 

Kerinduan serupa virus mematikan yang terus menggerogoti secara perlahan, pada seorang Nona. Wanita bangsawan yang bahkan tidak ada namanya dalam media sosial. Kecuali penjelasan tentang istri seorang CEO perusahaan ternama di internet. 

Foto yang beredar luas pun hanya foto-foto pernikahannya. Memperlihatkan senyum anggun dengan tangan mengait lengan sang suami yang terlihat gagah dalam balutan tuxedo lengkap. 

Selebihnya, dia seperti berada dalam sebuah istana, tak tergapai. Tak bisa dihubungi, karena nomor telepon yang dia gunakan adalah nomor khusus keluarga para bangsawan. Tak bisa dihubungi oleh orang-orang jalanan, sepertiku. 

Sesekali aku mencoba mengobati kerinduan itu dengan pergi ke beberapa tempat yang pernah dia datangi. Hanya berdiri saja di pintu, lalu menunggu aroma itu tertangkap oleh indra penciumanku.

Aroma mawar berpadu dengan musky Wood. Wangi yang kemudian membuatku merasa kembali memeluk wanita itu, meski hanya berupa imajinasi. 

Ya, aku hanya berdiri di depan toko parfum mewah itu hanya untuk mencium aroma tubuhmu. 

Bukankah aku gila, Nona?

***

      Aku duduk bersandar pada kursi kayu di bawah pohon birch yang tanpa lelah menggugurkan daun-daun kecil berwarna kemerahan. Mengenakan celana jeans dengan robekan besar di paha, atasan kemeja size besar warna putih bercampur warna cat, dan topi beret warna abu-abu. Menikmati embusan angin dan bau cat basah dari kanvas-kanvas yang berjajar rapi di paving trotoar, sambil mengamati para penikmat lukisan yang biasanya adalah turis-turis dari luar. Beberapa datang lalu asyik berkomentar, memilih, lalu kami saling menawar harga.

BLACK HOUSEWhere stories live. Discover now