Bab 10

915 149 27
                                    

       "Apa maksudmu, Oris?" Nona Alaia menatapku dengan sepasang mata memicing, seolah sedang meremehkan kalimatku.

"Tidak ada." Aku mendesah. "Jadi akan kemana kita sekarang?" Setelah akhirnya menyadari, bahwa sosok Tuan Leonel dan wanitanya sudah meluncur pergi dengan sebuah mobil mewah. 

Nona Alaia memejamkan mata sejenak, seperti sedang berusaha menenangkan perasaannya sendiri. Mungkin saja bukan tentang kecemburuan yang dia rasakan, tapi tentang hilangnya harga diri. Bisa kulihat kedua telapak tangannya mengepal kuat selama beberapa saat.

"Dia sudah keterlaluan," desisnya jengkel, lalu sedikit menghentak mengawali langkahnya berbalik menuju mobil. 

Aku mengiringi langkah wanita itu, mengantarnya ke sisi mobil, membukakan pintu, lalu setelah Nona Alaia  masuk, kututup kembali dengan hati-hati.

Mesin mobil menyala, kami meluncur meninggalkan parkiran hotel. Menyusuri jalanan yang cukup ramai.

.

       Sesuai perintahnya, aku menepikan mobil di tepian jalanan yang sepi, tempat yang mungkin menjadi favorit Nona Alaia untuk menumpahkan kekecewaannya saat ini, mungkin.

Wanita itu berdiri bersandar, menolak kopi yang kusodorkan setelah aku membelinya di ujung jalan sana, lalu hanya diam. Meresapi kesakitan yang membuatnya semakin mati rasa, mungkin.

Malam ini, dia begitu cantik, tapi seseorang yang seharusnya memuji, malah mengabaikan begitu saja. 

Dari samping, aku mengamatinya diam-diam. Masih mengagumi pemandangan yang sebenarnya sangat layak untuk dipuji. Bagaimana rambut itu sedikit tergerai oleh angin malam, yang nyatanya semakin menambah pesona yang dimilikinya.

Bahu yang meski tak mendapat cahaya tapi seolah mempunyai sinar tersendiri, seperti magnet yang menarik untuk disentuh. 

Aku tak membawa jaket sekarang, jadi aku tak tahu apa yang harus kulakukan untuk melindungi kulit itu dari embusan angin malam yang semakin dingin. Maksudku, dalam balutan kemeja lengan panjang pun aku merasa kedinginan, bagaimana dengannya?

"Kau kedinginan, Nona?" tanyaku akhirnya, memecah kebisuan di antara kami. 

Nona Alaia menoleh. Dalam remang cahaya lampu jalan dari kejauhan sana, kulihat kaca-kaca di sepasang matanya. Bibirnya terkatup rapat membuat wajahnya semakin terlihat menyedihkan.

"Ya," sahutnya.

"Kita pulang sekarang?" Aku menawarkan.

"Tidak."

"Boleh aku memelukmu?"

"Oris!"

Aku melingkarkan lengan melindungi kedua bahunya yang terbuka. Tanpa menempelkan tubuh kami, tentu saja. Aku masih tahu batasan.

Nona Alaia mendongak. Lalu saat kutatap bibirnya lebih lekat, seperti apel yang telah dimantrai oleh entah penyihir yang mana, aku benar-benar lupa ... ada batasan di antara kami.

Aku membungkuk, lalu mengecup lembut bibirnya.

"Oris!" Dia menarik wajah, kaget.

PLAK!

.

       Kami meluncur pulang dalam kebisuan. Mataku berusaha fokus ke jalanan di depan sana sementara telapak tangan terus gemetaran.

Aku tahu, aku dalam masalah besar.

.

      Pintu kamar itu setengah terbanting. Sementara aku mematung di ujung bawah tangga dengan debar jantung yang tak kunjung mereda. 

Dari sisi ruangan, kulihat Paman Hue menatapku, seperti sedang mencoba menelisik apa yang baru saja terjadi antara aku dan Nona Alaia.

***

      Bahkan saat sarapan keesokan harinya, tanganku masih sedikit gemetar karena bayangan wajah Nona Alaia. Bayangan wajah sendunya, harum tubuhnya, lalu bibir lembut yang terkecup itu, tak henti berkelebatan dalam benakku.

"Apa kau sakit?" Nilufer bertanya, untuk pertama kalinya. 

Gadis yang biasanya hanya diam dan mencuri pandang dengan sungkan itu kini mengajakku bicara. Mungkin karena getaran tanganku tertangkap oleh mata jelinya. 

"Tidak." Aku menjawab sambil meletakkan sendok, hanya agar dia tak semakin yakin dengan pertanyaannya. 

Seseorang melangkah mendekat. Vivian. Gadis itu mengamati kami berdua dengan tatapan sedikit curiga. Kemudian mengalihkan pandangan pada Nilufer.

"Hanya satu orang yang sarapan, kan?" tebaknya.

"Ya, Tuan Leonel tidak pulang semalam." Nilufer mengangguk membenarkan. 

"Oke, aku akan menyiapkannya. Kau teruskan saja sarapan bersama Oris," sindirnya.

Nilufer memicingkan mata, tak mengerti maksud sindiran Vivian. Begitu juga denganku. 

Detak suara sepasang sepatu pantofel sedikit menggema di ruang makan para pekerja. Lalu muncul sosok Nyonya Gulnora yang berhenti tak jauh di belakangku. 

"Oris, Nyonya memanggilmu."

Aku terdiam.

.

      Aku melangkah masuk ke dalam kamar di mana Nona Alaia menunggu. Kembali kututup pintunya, kemudian menguatkan diri melangkah ke tengah ruangan berornamen serba hitam yang tampak elegan.

Nona Alaia menungguku di atas sofa bulu putih yang terlihat begitu nyaman. Duduk dengan punggung tegak dan kaki menyilang.

Aku berhenti, menarik napas dalam, demi melihat sepucuk senjata api yang tergeletak di meja tak jauh dari wanita itu duduk.

Sesaat, sepasang mata itu menatapku tajam. Lalu dia bangkit berdiri, menyambar senjata itu, dan berjalan tenang ke arahku. 

Jantungku berdebar hebat saat dia mulai mengulurkan tangan. Pucuk senjata itu diacungkan tepat ke arah kepalaku, bisa kulihat sepasang mata Nona Alaia menyorot tajam sebelum akhirnya kupejamkan mata di hadapannya.

"Maaf, Nona." Hanya itu yang bisa kuucapkan, bukan permohonan agar dia mengampuniku, bukan juga melarikan diri untuk menghindari peluru yang mungkin akan bersarang sebentar lagi.

Dengan bahu masih tegap, wajah tenang, dan kedua lengan saling terkait di belakang punggung, aku menunggunya menarik pelatuk hingga menembus batok kepala. 

"Beraninya kau menyentuhku." Terdengar suaranya penuh kebencian.

Sampai beberapa saat, tak ada yang terjadi. Dan saat aku kembali membuka mata, ternyata Nona Alaia sudah berdiri terlalu dekat di hadapanku. 

Sangat dekat.

Perlahan, dia melingkarkan kedua lengan pada tengkukku; masih dengan senjata itu dalam genggamannya. Wanita itu mendongak, dengan kaki berjinjit. Sepasang matanya menatapku dengan tatapan yang tak kumengerti. Hingga wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari wajahku. 

"Kau memang lancang, Oris. Tapi ciumanmu malam itu, setidaknya membuatku lebih lega. Aku merasa ... sudah membalas perbuatan Leonel padaku," bisiknya parau.

Penuh tekanan dalam hatinya. Mungkin merasa berdosa, atau mungkin merasa sangat terhina.

Aku masih menatapnya. Mata itu berubah sayu. Lenganku terurai dari belakang punggung, lalu satu tangan memegangi pinggang mungilnya, hanya agar wanita itu tak luruh ke lantai. 

Kemudian kunikmati itu, saat Nona Alaia mendongak dan perlahan mulai melumat bibirku. Ciuman yang bahkan lebih panjang dari perkiraanku. Aku tahu dia sedang menghukum suaminya dengan ciuman ini, tapi sungguh, aku menikmatinya. 

Kueratkan rengkuhan di pinggangnya. Sesekali, kubalas lumatan itu dengan hisapan lembut hingga dia memejamkan mata.

.

BLACK HOUSEWhere stories live. Discover now