Bab 7

884 143 22
                                    

"Anggap dirimu seperti dinding di rumah ini, Oris." Paman Hue mendongak, menatap bintang-bintang di atas sana. Tapi aku tahu bukan langit itu yang sedang dipandanginya. "Ada banyak skandal dan kecurangan, yang tidak perlu kita perdebatkan," lanjutnya.

Kami duduk di halaman samping rumah, dimana tanaman hias dan pohon palm berdiri dengan begitu tertata. Tentu saja Paman Hue yang melakukan semuanya. Dia telah bekerja di sini sejak pertama kali Tuan Leonel dan Nyonya Alaia menginjakkan kaki di rumah ini. Tepatnya, setahun yang lalu. 

"Tuan Leonel memang kasar, tapi kami tahu dia punya batasan. Dan selama kami tak melihat mereka berdua menggunakan senjata untuk saling melukai, maka biarkan mereka berkomunikasi dengan caranya. Kita hanya dinding di sini." 

Dari obrolan kosong kami malam ini, aku tahu. Tuan Leonel dan Nona Alaia menikah tahun kemarin. Terlihat bahagia di depan para tamu yang mengunjungi, tapi setelah rumah benar-benar sepi, mereka seperti dua orang asing yang saling menyerang dan menyakiti.

Tuan Leonel memiliki wanita lain di luar sana, semua pekerja pun tahu fakta itu. Paman Hue bilang, bahwa sebenarnya pernikahan mereka hanya karena perjodohan antar bisnis keluarga. Dan lucunya, mereka setuju. 

Paman Hue menoleh padaku. "Kuperingatkan padamu," ucapnya dengan tatapan bersungguh-sungguh.

"Jangan terlalu naif memandang dunia, Oris. Kita bukan hidup di film super hero. Tak ada yang benar-benar baik atau benar-benar jahat. Jadi tak perlu mati-matian membela."

Aku terdiam.

"Suatu hari nanti kau akan mengerti maksud kata-kataku ini." Lelaki itu mengembuskan napasnya berat. Seperti sedang meratapi nasibnya sendiri.

"Oke," sahutku sambil lalu. 

Kemudian tanpa sadar menoleh ke arah balkon kamar bertirai abu-abu di atas sana. Menerka-nerka, apa yang sedang dilakukan wanita itu setelah menyiram wajah suaminya. Berdebat sepanjang malam? Atau malah saling menampar?

***

      Saat sarapan keesokan paginya, Vivian beberapa kali melirik ke arahku dengan canggung. Aku tahu apa yang sedang dikhawatirkan gadis itu. Wajahnya semakin memucat setiap kali Nyonya Gulnora berdehem, seolah itu adalah tanda peringatan untuknya.

"Selesaikan sarapan secepatnya, aku menunggu di lantai dua." Nyonya Gulnora memberi perintah.

Vivian mengangguk samar, segera menyuapkan sarapan dengan sedikit tergesa. Sementara Nilufer sudah selesai sejak tadi. 

Aku datang terlambat untuk sarapan, jadi sekarang hanya tinggal aku dan Vivian saja di meja.

"Oris," panggil gadis itu saat ruangan sudah benar-benar sepi.

Aku mengangkat pandangan dari piring, menatapnya.

"Kau tidak mengatakan apa pun pada Nyonya Gulnora, kan?" Suaranya sedikit menekan.

Aku mengangkat bahu. "Tidak." 

Gadis itu masih menatapku untuk beberapa saat, mencoba memastikan dari ekspresi yang kutunjukkan. Sialnya, tatapan itu justru memancing kecurigaan dari Nyonya Gulnora yang kembali memasuki ruangan.

"Ehm- kuperingatkan kalian, jangan bercinta di rumah ini!" dengkus wanita itu dengan suara tegas.

Aku dan Vivian saling pandang.

What the ... fuck.

***

      Mobil meluncur pelan melintasi jalanan basah di pusat kota. Tetes-tetes air masih berjatuhan dari langit meski tak sederas tadi. Jam digital yang terpasang pada dasbor menunjukkan angka 17.20 sore.

Di kursi belakang, Nona Alaia mendekap kedua bahu sendiri. Sementara tatapannya menatap gedung-gedung pencakar langit di luar sana. Sementara di sampingnya, tergeletak tumpukan paper bag dari berbagai toko kenamaan.

"Kita akan kemana, Nona?" tanyaku, untuk ke sekian kali.

Wajah itu berpaling menatapku, mendelik kesal sambil berdecak lirih. "Kau masih memanggilku nona."

"Anda keberatan?" 

Dia tak menjawab. Tapi kuanggap itu sebagai kata tidak. Oke, dia tidak keberatan.

Sesaat, keheningan menyelimuti di antara kami. Sayup terdengar hanya lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Boyce Avenue dari tape mobil.

"Aku muak menjalani semua ini," gumamnya lirih. 

Aku melirik wajah lelah itu lewat spion. Menyadari bahwa sepasang kelopak matanya tampak sembab kehitaman meski telah disembunyikan oleh riasan. 

Seharian aku mengantarnya pergi ke tempat-tempat kelas atas untuk berbelanja, makan siang, dan bertemu dengan beberapa temannya. Wanita yang terlihat elegan dan baik-baik saja, tapi saat kami kembali terjebak di dalam mobil seperti ini, kekosongan tampak jelas membayangi wajahnya.

Aku tidak tahu harus mengatakan apa, bukankah Paman Hue bilang kami hanyalah dinding dalam rumah penuh misteri itu?

"Oris, bawa aku ke klub malam lagi." 

"Tidak, Nona."

"Kau membangkang?"

"Tidak."

"Jadi antarkan aku ke klub malam sekarang!"

"Tidak, Nona."

"Oris!"

Aku mendengkus pendek.

Mobil menepi, lalu berhenti mendadak, Nona Alaia nyaris menabrak kursiku. Wanita itu mendelik kesal dan akan mengumpat. Tapi aku segera berbalik dan menyeringai kecil.

"Anda ingin mabuk lagi?"

"Itu bukan urusanmu!"

"Aku bisa membuat Anda mabuk bahkan tanpa harus meminum alkohol dan berjoget seperti jalang di sana."

"Kau!"

"Ke sini, Nona." 

.

BLACK HOUSEDär berättelser lever. Upptäck nu