Bab 21

1.2K 172 46
                                    

Karena patah paling parah adalah ketika kau ditinggalkan tanpa tahu alasan kenapa perasaan mereka secepat itu bisa berubah. 

.

      Masih sempat kulihat bagaimana raut wajah datar Nona Alaia saat mobil itu meluncur begitu saja melewatiku. Lalu menghilang di balik pintu gerbang.

Aku terdiam. Patah. 

.  

      "Apa ini hanya perasaanku, tapi beberapa hari terakhir ini Nyonya hampir tak pernah keluar?" Paman Hue menghampiriku yang tengah duduk di salah satu kursi minibar dapur. Tempat favoritku akhir-akhir ini, setelah tahu Nona Alaia memutuskan untuk tak keluar. Segelas air dingin --dengan beberapa es batu yang mengapung-- berada dalam genggaman, yang sesekali kuminum dengan mata menatap entah ke arah mana.

Bukankah aku seperti pemuda tolol sekarang? Ah, tidak. Aku lebih mirip anjing yang merindukan sang tuan.

Dan sialnya, semakin aku mencoba mempercayai bahwa Nona Alaia memang mencintaiku, logika semakin hebat menertawakanku.

Dari awal aku sudah tahu --dan dia sudah bilang-- bahwa ini hanyalah permainan. Lalu kenapa aku masih menganggap semua ciuman dan kecemburuannya adalah nyata?

"Mungkin dia sedang tak ingin keluar," sahutku sambil lalu. Lalu mengangkat gelas di tangan dengan siku menjadi penyangga, memandangi bulir-bulir segar di dalam gelas dengan pikiran melayang entah kemana.

"Alasannya cuma itu?" 

Paman Hue menatap mataku, seolah sedang tertulis kata 'rahasia' di sana. Aku mendengkus pendek. Lalu mengalihkan pandangan dari gelas, sekarang malah tenggelam memandangi bagaimana Vivian yang mengenakan rok pendek sedikit membungkuk saat mengelap guci di ujung sana.

"Kau tidak apa-apa, Oris?" tanya Paman Hue akhirnya.

Aku menoleh, lalu meletakkan gelas dan menyandarkan punggung pada meja granit abu-abu yang mengkilap di belakangku. 

"Apa aku terlihat gila, Paman?"

Lelaki itu tertawa kecil. Membalikkan posisi salah satu gelas yang berjajar dalam nampan warna hitam di sisi meja, lalu menuang air dingin dari botol kaca dan meminumnya. 

"Kau terlihat seperti pria yang sedang putus asa." Dia tersenyum tipis. "Atau putus cinta."

Kesimpulannya, membuatku ternganga. Sesaat, sebelum akhirnya kututupi perasaanku dengan tawa sarkas.

***

      Aku merasa seperti sedang dihukum, atau sedang dihindari oleh orang yang kepadanya sempat kuukir bayangan masa depan paling lancang. Tanpa aku diberi kesempatan untuk bertanya padanya, kenapa. Nona Alaia bahkan tak berdiri di tepi balkon kamarnya. Dan perlahan, kerinduan ini mulai membuatku sekarat di malam hari.

Di atas bangku besi yang terletak di antara taman dan teras pintu masuk bagi para pekerja, aku setengah berbaring. Menikmati desir angin dan lambaian daun pohon palm yang berjajar rapi. 

Dari sini bisa kulihat dua satpam itu sedang duduk dan mengobrol. Sisanya, sunyi.

Mataku menyipit, saat tiba-tiba melihat bayangan seseorang berjalan diam-diam dengan langkah pelan, di sisi koridor.

Jam mungkin menunjukkan angka 23.00 malam ini, terhitung sejak saat aku keluar kamar angka berada di angka 22.15.

Tentu saja aku sangat hafal Trench Coat warna ungu yang biasa dikenakannya. Wanita dengan rambut tergerai sedikit acak itu melangkah ke sisi pintu samping dapur, dimana mini bar berada.

BLACK HOUSEDär berättelser lever. Upptäck nu