Bab 4

1K 156 27
                                    

"Di mana bajumu, Oris? Apa kau gila?" Mata beriris hazel dengan bulu lentik itu membulat sempurna. Telapak tangannya yang halus kemudian --bermaksud-- menampar pipiku. Detik selanjutnya, kedua pupil itu bergerak naik ke atas, lalu tubuhnya luruh, jatuh dalam dekapanku. 

Lagi-lagi aku mengumpat. Kedua lengan melingkari pinggang langsing Nyonya Alaia yang sudah tak sadarkan diri di pelukanku. Agar dia tetap merasa nyaman meski dalam keadaan tak sadarkan diri.

Lucunya, dalam satu detik yang panik, aku sempat menikmati wangi leher jenjang itu.

Harumnya sungguh membius imajinasi. 

.

      "Dia dalam keadaan mabuk berat, Paman, kami ada di parkiran 'Friday Club' sekarang." Aku menelepon Paman Hue, sambil satu tangan mengacak rambut. Sekilas melirik Nyonya Alaia yang terbaring di jok belakang tanpa peduli separuh dadanya naik ke atas, menampilkan kulit berwarna putih kemerahan yang mungkin terasa begitu kenyal di telapak tangan.

Aku buru-buru mengalihkan pandangan kearah lain. Menggumam kesal karena tak sengaja memikirkan hal tabu, kemudian mencondongkan tubuh ke bangku belakang. Selama beberapa menit seperti tersihir memandangi wajah dan lekuk tubuh wanita itu, tapi segera tersadar, lalu membenahi letak pakaian dengan sangat hati-hati agar bagian dadanya yang terbuka tertutupi. 

Udara malam yang menelusup masuk lewat sela kaca kembali mengingatkanku bahwa aku sedang  bertelanjang dada, duduk di belakang kemudi mobil yang mesinnya tak menyala. Dan kebingungan, tak tahu harus berbuat apa.

Paman Hue bilang, Tuan Leonel pulang jam sembilan malam tadi. Pria itu menanyakan keberadaan sang istri dengan wajah masam, bahkan dia membentak para pelayan hanya karena sedikit keterlambatan yang mereka lakukan. Maka tidak mungkin aku membawa Nyonya Alaia pulang dalam keadaan mabuk, ditambah dengan membopongnya tanpa mengenakan kemeja. Tuan Leonel pasti membunuhku.

"Carilah sebuah penginapan kelas bawah di sekitar situ. Jangan ke hotel, pastikan agar identitas Nyonya Alaia tak diketahui oleh siapa pun saat kalian menginap nanti," pesan Paman Hue sebelum mematikan teleponnya tadi. "Akan kuberitahu Nyonya Gulnora bahwa Nyonya Alaia menginap di apartemen salah satu temannya."

Aku mengusap rambut. Menatap pintu klub malam di mana beberapa orang masih keluar masuk tanpa beban. Lalu kembali menoleh pada Nyonya Alaia.

Well- sekarang semua tanggung jawab tentangnya berada di bahuku.

.

      Aku membopong tubuh tak berdaya Nyonya Alaia melewati lorong bercahaya suram di sebuah losmen kecil berjarak sekitar lima belas menit dari klub malam sialan itu. 

Tentu saja kutinggalkan mobil itu di parkiran sana, menitipkan pada security, lalu nanti Paman Hue yang akan mengurus sisanya. Aku membawa Nyonya Alaia ke sini dengan mengendarai taxi. 

Penjaga losmen berwajah tirus yang juga merangkap sebagai resepsionis itu membukakan pintu untuk kami. Kunci-kunci di tangannya sempat bergemerincing, saat dia mencoba membebaskan salah satunya dari ikatan.

"Silakan, Tuan," gumamnya malas sambil menyerahkan satu kunci padaku. 

Sepasang mata culasnya sesaat mengarah ke tubuh Nyonya Alaia --karena wajahnya tertutup oleh rambut-- lalu beralih pada dada telanjangku. Ada decik sinis yang jelas tertangkap oleh pendengaranku saat dia melenggang pergi melewati pintu.  

Bisa kutebak apa yang sedang dia pikirkan. 

Aku menutup pintu dengan dorongan kaki. Lalu melangkah menuju ranjang sederhana yang tersedia di sisi ruangan.

Kuletakkan tubuh Nyonya Alaia dengan hati-hati di atas ranjang bersprei putih. Untuk sesaat, aku berada dalam posisi membungkuk dengan wajah nyaris mencium bagian dadanya yang sedikit membusung. Tak bergerak. Hanya agar wanita itu tak terbangun dan menimbulkan keributan di sini. 

Setelah memastikan hela napasnya kembali mengalun lembut, aku menarik diri dan menegakkan tubuh.

Wanita yang malang. Aku menggelengkan kepala. Lalu melangkah mencari sofa atau apa pun yang bisa dijadikan tempat istirahat menghabiskan sisa malam ini.

.

       Aku tersentak bangun, lalu selebihnya gelap setelah selimut itu dilemparkan tepat ke wajahku. 

Kusingkirkan kain tipisl berwarna putih itu dari wajah. Ternyata Nyonya Alaia tengah menatapku marah dari sisi ranjang. Dadanya turun naik karena napas yang memburu, sementara wajah itu ... kacau sekali.

"Anda sudah bangun, Nyonya?" sapaku dengan suara berat, lalu menurunkan kaki yang tadinya dalam posisi menyilang menggantung di tepi ranjang. Ah, rasanya aku baru tertidur selama lima detik. Mungkin itu sebabnya kepalaku sedikit berdenyut sekarang.

"Apa yang kau lakukan semalam?" tuduhnya dengan wajah memucat. 

Aku mengernyit.

"Apa?"

Aku menggulung secara asal selimut yang tadi dia lemparkan ke wajahku, lalu bangkit dari kursi dan bermaksud untuk mengembalikan kain itu di sisi ranjang. Tapi Nyonya Alaia tiba-tiba menghambur dan memukuli dadaku dengan kepalan tangannya.

"Kau memperkosaku, Oris?! Dasar lancang! Beraninya kau melakukan itu padaku!" teriaknya kacau. 

Aku berusaha menghindari pukulannya. Tapi wanita itu seperti kehilangan akal dan terus menyerangku. Hingga akhirnya kami sama-sama terjatuh di atas ranjang dengan posisi tubuh saling menindih.

Maksudku, dia di atas.

Kami bertatapan dalam sungkan.

"Nyonya, Andalah yang akan memperkosaku sekarang," desisku.

Bersamaan dengan desir-desir aneh sisa semalam.

.

BLACK HOUSEWhere stories live. Discover now