Bab 9

847 140 24
                                    

Sejak memergoki Vivian dan Tuan Salimgerey di ruangan itu, aku tak lagi beristirahat di sana. Bisa saja selanjutnya aku harus melihat Tuan Qazir --salah satu security-- dan Nilufer, itu maksudku. Atau mungkin malah melihat Nyonya Gulnora berciuman dengan Tuan Qazir? Entahlah, kupikir rumah ini terlalu misterius dan tak tertebak. Seperti puzzle yang saling berkaitan satu sama lain dan perlu bertahun-tahun untuk bisa melihat gambaran utuhnya. 

Jadi aku lebih memilih bersantai di sofa bawah tangga. Dari sini bisa kulihat taman hijau dihiasi tiang-tiang lampu dan kolam renang lengkap dengan tempat berjemur dan payung besar --yang sayangnya seperti tak digunakan oleh Nona Alaia-- selama aku di sini.

Rasanya seperti seekor anjing yang menunggu pintu berukir emas itu terbuka, lalu seseorang turun memberi perintah padaku. Paman Hue bilang, bahwa aku boleh membantunya merawat tanaman jika memang merasa bingung harus melakukan apa. Tapi terakhir kali membantu, aku merusak tanaman, dan dia marah.  

"Hei," sapa seseorang.

Aku menoleh. Baru kusadari Vivian sedang menyandarkan diri di sisi pintu.

"Ya?" sahutku pendek.

"Bisa membantuku sebentar?" Dia menatapku dengan sorot sedikit memohon.

Aku mengangguk samar, lalu beranjak dari sofa dan mengikuti langkah gadis itu menuju ke belakang. Bisa kumengerti kenapa Tuan Salimgerey tertarik dengan gadis ini, tubuhnya memang berisi dengan ekspresi wajah --entah sadar atau tidak-- terkesan menggoda. Dan panas.

Gadis itu membawaku semakin jauh ke belakang, dimana tertata barang-barang elektronik, lemari kayu berpelitur mewah berisi  benda-benda hiasan, juga gulungan karpet berbagai ukuran. Mungkin digunakan sebagai gudang terbuka.

Vivian berhenti, lalu berbalik menatapku. Gadis itu tersenyum, dan sepertinya dia cukup menyadari bahwa separuh dadanya akan menjadi pusat perhatian.

Aku berdiri beberapa langkah di belakangnya, menunggu apa yang akan dia perintahkan, tapi ternyata dia hanya diam hingga beberapa saat.

Ada sebuah piano yang terletak di sudut ruang, gadis itu kemudian menghampiri benda itu. Tangannya melambai agar aku mendekat, sepertinya dia ingin aku membantunya menggeser benda itu.

Aku melangkah mendekat. Dia memberi kode agar aku duduk di bangku kecil di samping piano.

Vivian melangkah mengitari bodi piano, lalu berhenti tepat di sampingku. Kini gadis itu menyandarkan pinggul sambil sedikit menunduk menatap wajahku.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan tentangku," ucapnya. 

Aku menatapnya dengan dahi mengernyit. 

"Setelah melihatku di ruangan itu, kau pasti berpikir aku gadis murahan, kan?" Alis matanya terangkat, seolah sedang menebak isi pikiranku.

"Kuharap itu salah." Aku menjawab enteng. 

"Itu memang tidak sepenuhnya benar," gumamnya. Gadis itu menoleh ke kiri dan ke kanan, seolah takut ada seseorang yang akan mendengar pembicaraan kami. "Tuan Salimgerey ... mengancamku."

Aku masih diam.

"Dia bilang jika aku tak mau menuruti apa kemauannya, dia akan mengatakan yang tidak-tidak pada Nyonya Gulnora. Kau tahu, jika wanita itu menginginkan salah satu pekerja dipecat, maka itu pasti terlaksana. Nyonya Gulnora adalah orang kepercayaan Tuan Leonel. Semua yang terjadi di sini ada dalam pengawasannya, lalu dilaporkan pada Tuan." Gadis itu bicara panjang lebar dengan nada sedikit ditahan.

Aku belum sempat bereaksi saat tiba-tiba saja gadis itu menjatuhkan diri di atas pangkuanku. Lalu segera kembali bangkit berdiri dengan gugup dan malu.

"Ah, Nyonya Gulnora," ucapnya dengan nada setengah terkejut. 

Aku menoleh, ternyata wanita paruh baya bertubuh kurus itu tengah berdiri tak jauh dari kami. Matanya yang hitam dan tajam seperti sedang menyimpulkan apa yang baru saja terjadi. 

Kemudian dia berdehem.

"Sudah kuduga kau akan segera membawa masalah di sini, Oris," gumamnya dengan nada cukup jelas didengar. "Pemuda sepertimu pasti mengandalkan penampilan untuk memikat gadis-gadis." Terdengar decik sinis dari bibirnya.

"Apa--?" 

"Aku tak peduli jika kalian sedang dimabuk asmara, tapi jangan bercinta di sini!" potongnya. 

Aku mengernyit, menoleh pada Vivian dan ternyata gadis itu sedang tersenyum malu sambil mengangguk patuh ke arah Nyonya Gulnora.

Oh ... shit!

.

       Selalu ada politik dalam setiap lingkungan, terutama lingkungan pekerjaan. Sepertinya itulah yang dilakukan Tuan Salimgerey dan Vivian, aku mengerti. Mereka sengaja melibatkan aku dalam permainan kotor mereka. 

Well- aku merasa sedang menjadi dinding toilet sekarang.

***

       Seperti sedang menyambut turunnya seorang putri, aku berdiri terpaku di ujung tangga. Mendongak, menatap keindahan yang terpancar dari seorang wanita di atas sana. Nona Alaia mengenakan gaun yang membuat bahu seksi dan leher jenjangnya terekspos, pinggang mungil dengan sepasang kaki yang panjang sungguh perpaduan sempurna dari sebuah kecantikan.

Mungkin cupid sedang membuat lelucon dengan panah cinta yang salah arah. Di mana seorang seorang pemuda tanpa kasta, kini sedang tersihir oleh kecantikan permaisuri dari raja yang bisa kapan saja membunuhnya. Hanya dengan satu kalimat.

"Siapkan mobilnya, Oris!" 

Aku tergagap.

Pria jangkung dengan pakaian tuxedo lengkap dan tampak mahal itu menghempasku hingga jurang paling dasar. Dia melangkah lebih dulu, tanpa menunggu Nona Alaia yang seharusnya disambut jemarinya di bawah tangga.

.

      Mobil meluncur dengan kecepatan sedang melintasi jalanan pusat kota. Lampu-lampu di depan sana terkadang menyilaukan mataku. Atau mungkin karena aku tak begitu berkonsentrasi demi menikmati seraut wajah masam di bangku belakang.

Di mana sepasang suami istri duduk dengan wajah berpaling keluar. Seolah saling menatap adalah dosa paling hina bagi mereka.

Lucunya, saat mereka telah tiba di lobi hotel dimana pesta berlangsung, tiba-tiba saja lengan lelaki itu membentuk siku, lalu Nona Alaia mengaitkan jemarinya di sana. 

Mereka melangkah dengan anggun dan mesra, sambil sesekali membalas sapa beberapa tamu yang terlewati.

.

Sekitar satu jam menunggu di dalam mobil, akhirnya kulihat kedatangan mereka.

Seorang wanita berlari keluar dengan langkah tergesa, Tuan Leonel menyusul di belakangnya. Tak lama kemudian, terlihat Nona Alaia.

Aku membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Lalu mengamati apa yang terjadi.

Di ujung paving sana, Tuan Leonel akhirnya berhasil meraih lengan wanita yang tadi meninggalkannya. 

Mereka berdebat sebentar, kemudian perdebatan singkat itu berakhir dengan sebuah ciuman.

Ya, sebuah ciuman panjang. Dimana lengan Tuan Leonel merengkuh pinggang wanita itu seolah ingin mengatakan pada dunia bahwa mereka saling cinta. Dan tak terpisahkan.

Di depan Nona Alaia.

Wanita itu menghentikan langkah, lalu mengalihkan pandangan dari pemandangan romantis di hadapannya.

"Kau merasa sakit, Nona?" tanyaku, yang telah berdiri tepat di sampingnya.

Wanita itu menoleh, lalu mengangkat bahu.

"Aku sudah terbiasa dengan rasa sakitnya. Sekarang bahkan aku lupa saat merasa cemburu aku harus melakukan apa." Dia tertawa lirih. 

"Kalau begitu libatkan aku." 

"Apa?"

"Libatkan aku dalam kegelapan yang terjadi di rumah besar itu."

.

BLACK HOUSEWhere stories live. Discover now