Bab 8

823 134 14
                                    

Aku melepaskan pengait seatbelt di sisi pinggang, mendorong pintu, lalu melangkah ke belakang menuju sisi di mana Nona Alaia duduk, lalu membukakan pintu.

"Apa--?" Pertanyaan itu terpenggal, selebihnya, Nona Alaia sibuk menghindar saat aku membungkuk dan membuka seatbelt yang membelit pinggangnya. 

"Oris!" Dia berteriak panik saat tubuhnya terangkat, kedua tangan dan kakinya memukul dan menendang agar aku menurunkan dari gendongan. Kututup pintu mobil dengan kaki, lalu berjalan memutar ke sisi satunya. 

Aku menurunkan tubuh Nona Alaia tapi segera menahan gerakannya dengan lengan yang mencengkeram sisi pintu mobil menghalangi niatnya untuk lari. Sementara tangan kiri membuka pintu dan memaksa wanita itu masuk ke dalam.

"Kau!" Dia mendelik kesal. 

Aku membungkuk hanya agar dia terpaksa masuk.

Setelah Nona Alaia benar-benar duduk, aku membantunya memakai seatbelt dengan benar, lalu menutup pintu mobil dan kembali memutari mobil masuk lewat pintu kemudi. 

"Apa yang kau lakukan?" serunya marah.

"Membuatmu mabuk, Nona." Aku tersenyum tipis. 

Mulutnya sedikit ternganga, panik. Tapi bahkan aku tak memberinya kesempatan untuk kembali bertanya. Mesin mobil menyala, lalu segera melesat membelah jalanan pusat kota dengan kecepatan tinggi. 

"Oris!!"

Suara Boyce Avenue masih terdengar sayup dan menenangkan. Mobil melesat menyelipkan diri di antara kendaraan-kendaraan lain, sesekali aku menginjak rem hingga suaranya berdecit mendebarkan, lalu kembali melesat diiringi teriak ketakutan Nona Alaia. Seruan panik itu, perlahan diselingi tawa yang berderai.

Aku tahu rasanya. Ya, aku tahu benar rasanya. Saat ingin menghilang karena kecurangan dunia, lalu merasakan diri melesat bersama deru mesin mobil dan ketakutan sekaligus kelegaan setiap kali mobil terhindar dari tabrakan.

Wajah Nona Alaia semakin memucat meski kepalanya yang mendongak menyemburkan tawa berderai. Saat itulah aku mencari tempat ternyaman untuk menepi.

Aku berlari keluar, membukakan pintu untuk Nona Alaia dan menarik wanita itu sebelum terlambat.

"Hoeeekkk!"

Dia membungkuk di sisi jalan,  sedikit  terhuyung, sementara aku berdiri mengawasi di sebelahnya. 

.

      Kusodorkan segelas kopi dalam cangkir styrofoam kepadanya. Wanita yang tengah duduk bersandar pada kap mobil, di sisi jalan pinggiran kota. Tempat dimana Nona Alaia tidak mungkin ditemukan oleh para kerabat dan teman-temannya, karena bukan menggambarkan kelas mereka. Dan mungkin saja ini adalah kali pertama bagi wanita itu berada di tempat serendah ini. 

Jemarinya masih gemetar saat menggenggam styrofoam. Hingga isi kopi itu sedikit berguncang dan nyaris tumpah. Aku membantunya memegangi benda berwarna hitam itu, hingga kami terlihat seperti tengah saling menggenggam.

Kupikir dia akan mendelik atau menampar seperti biasanya, tapi tidak, kali ini dia hanya diam. Aku menarik tangan setelah yakin dia menggenggam gelasnya dengan benar, kemudian wanita dengan wajah kacau itu mengangkat pandangan padaku.

"Oris."

"Ya, Nona?"

" ... berapa umurmu?"

Kami saling menatap. 

"24."

Selanjutnya kami hanya menikmati angin malam. Kuangkat dia ke atas kap lalu membiarkannya berbaring di sana dengan kaki diselimuti jaket milikku. Matanya menatap lautan bintang dan bulan purnama di atas sana seolah baru kali ini dia menikmati pemandangan itu. Sementara aku menyesap sisa kopi di gelas sambil menyandarkan diri di kap mobil.

.

      Saat kembali, telah ada mobil Tuan Leonel terparkir di halaman. Bisa kulihat lelaki itu berdiri di atas balkon, menatap kedatangan mobil dengan sikap arogan.

Nona Alaia berjalan tenang memasuki rumah. Menaiki anak-anak tangga menuju ke lantai atas. Sementara aku berhenti di ujung tangga. Mendongak. Berusaha meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja dengan sambutan suaminya. 

Entah apa yang kutunggu di bawah sini, aku tak mengerti. Tapi aku masih mendengarkan itu, saat terdengar kekacauan dari dalam sana. Di kamar paling mewah yang seharusnya menjadi pencipta kebahagiaan sepasang manusia.

***

      Setelah malam itu, sikapnya sedikit melunak padaku, aku tahu. Bahkan beberapa kali kami saling bertemu pandang saat dia sedang berdiri di balik pagar balkon kamar itu. 

Kadang dia masih bertahan menatapku selama beberapa detik, bahkan setelah aku balas menatapnya.

Usianya 27 tahun, aku tahu dari Paman Hue. Menikah karena dipaksa harus mematuhi peraturan tak tertulis dalam silsilah keluarganya. Dimana seorang gadis bangsawan hanya boleh menikah dengan sesama bangsawan, atau pria yang berstatus lebih tinggi darinya. 

Mereka bilang, cinta akan datang setelah bertahun-tahun sepasang suami istri dalam kebersamaan. Tapi melihat kelelahan di wajahnya, aku merasa ragu dia bisa bertahan.

Nona Alaia berpaling, lalu berbalik pergi dari pagar balkonnya. Kulihat punggungnya menjauh, lalu menghilang, mungkin kembali memasuki kamar. Meninggalkan tatapan mataku begitu saja. 

"Apa yang kau pandangi?" Paman Hue yang sedang menata tanaman tak jauh dariku, bertanya. 

Penuh kecurigaan. 

.

BLACK HOUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang