Bab 17

781 139 24
                                    

"Bagaimana rasanya merindukanku?"

"Seperti berbaring dalam ruangan tanpa udara."

"Itu menyesakkan."

"Tentu saja itu menyesakkan."

"Lalu bagaimana Anda bertahan, Nona?"

"Aku memeluk kemeja yang pernah kau pakai. Bukankah aku gila, Oris?"

"Ya, Anda gila, Nona."

"Dasar lancang."

"Tapi kegilaanku lebih parah darimu."

Kami bicara lewat sentuhan jemari tangan dan sorot mata sayu setelah pelukan erat itu harus terurai. 

Tak terucap, disembunyikan begitu rapat, tapi entah kenapa rasanya begitu memabukkan. Bagiku. 

Yang kemudian semua debar itu terpatahkan oleh kalimat singkat dari bibir Tuan Leonel keesokan paginya.

"Oho, anjingmu sudah kembali rupanya." Dia berdecak sinis saat menyadari siapa yang berdiri membukakan pintu mobil untuk istrinya.

Di hadapannya, aku hanyalah seekor anjing. Anjing yang tak tahu diri, mungkin.

***

      Kadang, aku menatap bayangan wajah sendiri di kaca yang terpantul pada toko-toko mewah yang didatangi Nona Alaia. 

Mendapati sosok seorang pemuda mengenakan breton hat dan kemeja khusus sopir, yang setiap kali dilewati para bangsawan maka mereka akan sedikit menyingkir.

Lalu aku tahu diri. 

Tapi entah kenapa jika di hadapan Nona Alaia segala ketidaktahudirian itu seolah lenyap menghilang begitu saja. Atau hanya karena sorot matanya mengirimkan ketidaktahudirian yang sama?

"Jadi kau seorang pelukis di luar sana?" tanyanya sambil menatap jauh ke atas, dimana bintang dan awan yang berarak tampak menggantung rendah di langit malam.

"Ya, Nona." Aku ikut mendongak keatas. Mencoba mengerti kenapa Nona Alaia begitu menyukai langit malam. 

Kebebasan, katanya. Meski seringkali hanya ada kegelapan tapi ada keindahan di atas sana. Apa aku harus menyetujui alasan itu? Entahlah, tapi aku lebih suka memandangi bagaimana angin mempermainkan rambut panjangnya, lalu jemari lentik itu akan menyelipkan ke belakang telinga dengan begitu lembut. Kemudian dia akan menoleh padaku dan menyadari aku menatapnya begitu lama.

Aku menyukai itu, saat dia mendelik dan sedikit menggerutu karena merasa terganggu. Tapi sebenarnya dia sedang tersipu, aku tahu. 

"Apa aku bisa melihat lukisanmu?" Dia bertanya, lirih dan penuh harap.

"Tentu saja." Aku tersenyum, lalu kembali menyesap kopi yang tersisa dalam gelas styrofoam.

***

      Entah kenapa, kedatanganku untuk yang kedua kali seolah diselimuti keheningan, atau memang ada sesuatu yang sebenarnya sedang terjadi sementara aku tidak tahu?

Nilufer dan Vivian seringkali terpergok sedang membicarakan sesuatu yang serius di sudut ruangan, lalu tersentak kaget dan segera kembali bekerja saat Nyonya Gulnora menegur mereka dengan suara tegas.

Begitu juga dengan percakapan Tuan Qazir dan Tuan Salimgerey yang terkesan sedang membicarakan sesuatu yang tak boleh dibicarakan. Juga tak boleh didengarkan. 

Ya, ada sesuatu. Tapi aku terlalu tenggelam dalam rindu hingga tak menyadarinya. 

Aku dan Paman Hue menikmati sarapan pagi ini, sementara di ruangan seberang sana terlihat Tuan Leonel dan Nona Alaia yang saling diam menikmati sarapan masing-masing. Tanpa bicara, tanpa perdebatan. Yang kemungkinan keheningan itu mulai menyebalkan bagi Tuan Leonel hingga sesekali dia mencuri pandang ke arah istrinya. 

"Kenapa Tuan Samet mengambil cuti lagi?" Aku bertanya pada Paman Hue setelah meminum segelas air putih, lalu kembali menyuapkan makanan ke mulut.

Paman Hue menatapku dengan tatapan aneh yang tak kumengerti maksudnya. 

"Dia … tidak mengambil cuti, Oris." Lelaki itu menyambar gelas di hadapan, lalu menenggak isinya dengan sikap gugup.

"Kenapa?" Aku mengernyit. "Dia dipecat?"

Sepasang manik mata Paman Hue bergerak-gerak kekiri dan ke kanan, seperti merasa sedang diawasi oleh setiap sudut dinding ruangan.

"Dia ditemukan tewas beberapa hari yang lalu." Dia setengah berbisik. 

Suapanku terhenti.

.

BLACK HOUSEWhere stories live. Discover now