Bab 12

841 133 26
                                    

"Bukankah itu menyedihkan, saat seseorang sama sekali tak menganggapmu bernapas di dunia yang sama dengannya?" Nona Alaia mempermainkan garpu di tangannya, matanya mengarah ke piring porselen di hadapan, tapi aku tahu pikirannya melayang entah kemana.

"Jadi kenapa Anda tetap bertahan dalam pernikahan kosong ini, Nona?" Aku bertanya, menyuarakan keherananku selama beberapa waktu.

Setelah melihat bagaimana pria itu memperlakukannya. Bagaimana dia dengan enteng mengangkat tangan untuk pipi yang sehalus itu. Bahkan mencengkeram penuh amarah, seolah kuku-kuku itu tak akan melukai kulit lembutnya.

"Karena ...." Dia mengangkat wajahnya, menatapku, mencoba memberi jawaban yang bisa kumengerti, mungkin. Tapi hingga menghabiskan untaian waktu yang bisu, tak terdengar akhir dari kalimatnya. Dia sendiri mungkin tak tahu sedang bertahan untuk apa. 

.

     Segala pembicaraan manis itu kemudian terhenti setelah Nona Alaia kembali pada logikanya. Tentang siapa kami. Dan apa yang sebenarnya sedang kami lakukan di sini. 

"Aku memintamu menemani, bukan sebagai sepasang kekasih. Lupakan tentang ciuman pagi itu, Oris. Aku hanya ingin ... membalas kepergiannya selama beberapa hari ini," lirihnya.

Aku menatap wajah Nona Alaia, lalu mengangguk samar. Sejujurnya, aku sudah tahu. 

"Lakukan sesukamu, Nona." Aku menyunggingkan selarik senyum, lalu kembali mengangkat cangkir kopi di tangan.

***

     Menjelang malam, sebuah mobil meluncur memasuki halaman. Tuan Leonel pulang, memasuki rumah dengan langkah sedikit tergesa.

Bisa kulihat bagaimana rahang tegas itu mengeras, sorot matanya begitu tajam seolah ingin meluluhkan apa pun di hadapan. Dia marah. Padahal seharusnya Nona Alaia yang marah karena kepergiannya.

"ALAIA!" Tepat di luar pintu kamar suaranya menggelegar.

Nyonya Gulnora yang tengah melangkah di sisi ruangan seketika terdiam, tegap, dengan wajah pucat dan tegang.

Begitu juga aku --yang entah kenapa sedikit berharap-- Nona Alaia akan berlari ke belakang punggungku jika pria kasar itu mengangkat tangannya. Tapi tentu saja itu pemikiran paling dungu yang terlintas begitu saja dari kepala seorang sopir, Nona Alaia pasti bisa mengatasinya seperti saat mereka sarapan waktu itu. Aku hanya terlalu naif, padahal bukan siapa-siapa, dan sama sekali tak punya kuasa. 

Pintu kamar terbuka. 

Aku tidak bisa melihat bagaimana reaksi Nona Alaia karena tertutup punggung pria itu. Selebihnya, mereka seperti tengah menyiapkan amunisi untuk saling menyerang.

Ya, biasanya mereka saling menyerang. Tapi kali ini, Nona Alaia melenggang masuk kembali ke dalam kamar, tanpa kata.

Tuan Leonel masuk. Lalu pintu itu tertutup rapat.

Kupikir akan ada suara pecah berderai atau teriakan yang terdengar samar, seperti biasa. Tapi malam ini, kamar itu hening. Seperti menelan dua orang penghuninya begitu saja.

.

      Keesokan pagi, mereka turun untuk sarapan bersama. Seperti biasa, Nyonya Gulnora begitu sigap dan berkelas saat melayani, dibantu dengan Vivian. Sedangkan aku, Paman Hue sedang menyantap sarapan di meja makan khusus para pekerja yang hanya dibatasi dengan sebuah minibar. 

Ada yang berbeda dengan sepasang suami istri itu. Kali ini tak ada perdebatan, hanya denting sendok beberapa kali terdengar samar. 

Nona Alaia tampak baik-baik saja, setidaknya, itu sudah membuatku lega.

BLACK HOUSEDove le storie prendono vita. Scoprilo ora