Bab 5

989 157 39
                                    

Nyonya Alaia seperti tersadar, lalu buru-buru menarik diri dari atas tubuhku meski tatapan matanya masih menatapku penuh kecurigaan. Atau mengintimidasi. Entah.

"Katakan, apa yang kau lakukan padaku semalam? Kenapa kau tidak memakai baju? Kau mencari kesempatan ketika aku mabuk? Katakan, Oris! Atau aku akan membunuhmu sekarang juga!" racaunya dengan wajah yang semakin bersemu merah setiap kali melirik ke bagian dada dan perutku.

Aku bangkit dari posisi tidur aneh setelah tertimpa tubuhnya tadi. Lalu mengambil jarak aman jika sewaktu-waktu wanita itu kembali menyerangku.

"Anda mabuk dan muntah di bajuku semalam. Itu saja, Nyonya."

"Tapi kau pasti melakukan sesuatu padaku!"

"Tidak."

"Ya! Kau pasti melakukan sesuatu!"

Aku mendengkus pendek. Tak tahu harus mengatakan pembelaan dengan kalimat apa lagi. Saat itu baru kusadari sepasang matanya sudah tergenang oleh kaca-kaca.

"Benar kau tidak melakukan apa-apa padaku?" gumamnya dengan nada penuh ketidakpercayaan.

"Aku bersumpah, Nyonya, aku tidak melakukan apa pun padamu." Aku mendesah putus asa. 

Wanita itu menggelengkan kepala sambil mundur perlahan, mengempaskan pantatnya di sisi ranjang, lalu terdiam dengan raut menyesal. Entah apa yang membuatnya sedih sekarang, aku benar-benar tak paham. 

"Tentu saja," bisiknya sambil mengusap air mata. 

Aku masih berdiri mengawasi, keheranan.

"Jangankan Leonel, bahkan seorang sopir pun tak berniat menyentuhku." Dia meratap.

Mulutku ternganga.

Nyonya Alaia mendongak menatapku dengan mata penuh emosi.

"Jadi menurutmu aku sama sekali tidak menarik, Oris?" tuntutnya.

"Hah?" 

"Tentu saja kau tidak memperkosaku! Itu karena aku memang tidak menarik! Pantas saja Leonel tidak pernah menyentuhku sama sekali!"

Wanita muda itu mengusap air matanya yang semakin membanjir. Seperti sedang mengutuki diri atas kekurangannya, yang bahkan aku tak tahu apa kekurangannya. 

"Benar, kan? Aku tidak menarik!" Dia mendongak menuntut jawaban.

Dan aku merasa iba.

"Ah, sebenarnya ... semalam aku cukup tergoda saat melihat leher dan dadamu, Nyonya."

Maksudku, agar dia kembali percaya diri. Tapi ....

PLAK!

"Dasar lancang!"

What the ... fuck!

.

      Kami sempat menghabiskan waktu yang canggung dalam kamar sederhana itu. Memakan sarapan -diiringi segala keluhan tentang layanan kamar yang tentu sangat berbeda dengan hotel bintang lima- lalu sibuk dalam pikiran masing-masing.

Dia dengan segala kesedihan atas pengkhianatan suaminya, sementara aku dengan segala pemikiran tentangnya. Wanita yang bahkan tanpa mengenakan riasan wajahpun sudah terlihat begitu ... seksi.

Tidak pernah disentuh oleh suaminya. Itu berarti mereka tidak pernah melakukan hubungan suami istri. Begitu, kan?

Ah, tolol sekali. 

Aku menggelengkan kepala. Lalu kembali merapatkan selimut yang membelit tubuh, hanya agar membuat Nyonya Alaia tak perlu melihat dada telanjang seorang pria di hadapannya.

Wanita itu menatap keluar lewat jendela kamar. Rambutnya masih setengah basah setelah ritual mandi menggelikan pagi tadi. Maksudku, dia seperti tuan putri yang sedang dipaksa memasuki kandang babi. Lalu kembali menyalahkanku atas semua yang terjadi. 

Dari tempatku duduk, bisa kulihat sedikit memar kemerahan di salah satu pipinya. Memar bekas tamparan sang suami kemarin. 

"Apa dia sering melakukan itu padamu?" tanyaku, memecah kebisuan di antara kami.

Nyonya Alaia menoleh. Sesaat, seperti mencoba memahami apa yang sedang kutanyakan, lalu seperti tanpa sadar jemari halus itu menyentuh pipi sendiri.

"Ini?" tanyanya memastikan.

"Ya." Aku menjawab pendek.

Dia berdecik lirih sambil mengerling malas. " ... bukan urusanmu."

Aku masih menatapnya. Kemudian menarik napas sebagai kode 'oke, maaf aku telah lancang'.

Kami kembali diselimuti hening hingga beberapa saat. Di luar sana, matahari tampak cerah bersinar, sebagian cahaya menyilaukan memasuki ruang lewat jendela. Berjatuhan di lengan dan bahu Nyonya Alaia hingga kulitnya terlihat seperti lukisan berbahan batu pualam.

"Apa semalam dia mencariku?" Wanita itu akhirnya mengalihkan pandangan ke arahku. 

Aku tergagap karena tertangkap basah sedang memandanginya.

"Ya," sahutku.

"Lalu apa yang dikatakan Gulnora padanya?"

"Uhm, sebenarnya Paman Hue yang memberi alasan bahwa Anda sedang menginap di apartemen salah satu teman."

Wanita itu mengangguk samar. Lalu kami kembali diselimuti sunyi. Sementara aku diam-diam kembali mengamati keindahan yang dimilikinya.

Satu jam kemudian, seseorang datang mengantarkan paket berisi kemeja warna hitam. Atas perintah Paman Hue. Aku segera mengenakannya.

.  

      Sesuai instruksi yang diberikan Paman Hue, kami pergi menuju apartemen salah satu teman Nyonya Alaia. Di lantai parkir gedung setinggi 30 lantai itu, mobil yang kutinggalkan semalam sudah menunggu. 

Taxi meluncur memasuki halaman gedung, lalu berhenti di depan lobi. 

Aku turun terlebih dulu, lalu memutari mobil, membukakan pintu untuk Nyonya Alaia.

"Silakan, Nona," ucapku.

Wanita itu mendongak, menatapku dengan raut tak mengerti. "Nona?" ulangnya.

Taxi meluncur pergi, meninggalkan aku dan Alaia yang berdiri dengan tatapan keheranan di sepasang mata sembabnya.

"Sebutan Nyonya hanya untuk wanita yang telah menikah, dan terjamah." Aku menatap wajahnya. Dengan senyum simpul penuh arti.

Nona Alaia mendelik.

"Kau!" 

Aku tertawa kecil.

"Dasar lancang!"

.

BLACK HOUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang