Bab 13

791 134 19
                                    

        Darahku berdesir saat menyentuh benda kenyal itu. Dengan cepat aku segera menarik tangan dari dada Vivian, lalu menyeret lengan gadis itu menuju pintu dengan kemarahan tertahan.

Vivian berusaha membebaskan lengannya dengan kesal. 

"Keluar," perintahku sambil membuka pintu dan menatapnya tajam.

"Pikirkan kata-kataku tadi," ucapnya dengan sorot mata menantang, setelah itu dia melangkah keluar. 

Langkah Vivian sempat terhenti sejenak saat menangkap sosok Nilufer yang ternyata memergoki kami. Gadis pendiam itu menghentikan langkah di dekat lorong menuju kamar.

Dengan cepat, Vivian segera mengancingkan kemeja ketatnya, berdehem --pura-pura-- sungkan, dan cepat-cepat melangkah masuk ke kamarnya tanpa menyapa Nilufer. Seolah dia benar-benar sedang terpergok berbuat hal tak semestinya denganku. 

Nilufer masih berdiri termangu --menyadari dada telanjangku lalu mungkin mengaitkannya dengan kancing kemeja Vivian yang terbuka-- dengan tatapan penuh kesimpulan.

Aku mengusap wajah, menarik napas kesal karena berkat Vivian aku harus menghadapi begitu banyak kesalahpahaman.

"Ini ... tidak seperti yang kau pikirkan." Aku bicara, berusaha menjelaskan tentang apa yang baru saja dilihatnya.

Gadis itu mengembuskan napas, lalu mengangkat bahu dengan sikap skeptis.

"Memangnya aku memikirkan apa?" tanyanya sambil tertawa lirih. "Jika kalian bercinta pun, kau tak harus menjelaskan alasannya padaku."

Oh ... shit!

.

      Salah satu foto itu, sengaja ditinggalkan Vivian di atas tempat tidurku. 

Terlihat Nona Alaia dan seorang pria berpakaian perlente yang duduk di hadapannya. Foto itu diambil dalam jarak lumayan jauh, tidak terlalu jelas, mungkin dari layar cctv. Beruntung, wajahku tidak benar-benar terlihat jelas di situ. Hanya saja tato di leher yang terletak tepat bagian bawah telinga, terlihat lumayan jelas.

Vivian menyadarinya. Lalu bagaimana dengan Tuan Leonel?

Tanpa sadar, aku melirik kemeja yang tergantung di dinding. Kemeja penuh makna, bukan karena harga yang sangat mahal, tapi karena pakaian itu memberi sensasi layaknya sihir, dimana seorang wanita bangsawan sudi berjalan bersisian dengan seorang sopir.

Aku meremas foto itu dengan perasaan yang bahkan sulit untuk menggambarkannya. Akhirnya kubiarkan gumpalan kertas itu menggelinding di sisi bawah ranjang, sementara lengan menutup mata hingga yang kurasakan hanyalah kegelapan.

Dan terlintaslah wajah Nona Alaia.

***

     Tak ada pertengkaran yang terjadi selanjutnya. Pernikahan aneh itu terus berjalan, bedanya sekarang Nona Alaia tak lagi meneriakkan kata 'si jalang' di hadapan suaminya. Dan aku tahu, lelaki itu mulai merasa ada yang kurang. 

Aku baru saja berjalan keluar lorong kamar --sambil menggulung lengan kemeja-- saat tiba-tiba Nyonya Gulnora menghampiriku. 

"Oris," panggilnya, seperti biasa matanya menyipit tajam dengan kedua bahu tegak dan dagu terangkat. Kupikir dia bercita-cita ingin setara dengan para wanita bangsawan melihat bagaimana caranya bersikap, terutama pada pekerja di bawahnya.

"Ya, Nyonya." 

"Nyonya Alaia ingin pergi keluar." Dia berucap dengan nada datar.

"Oke," jawabku singkat.

Wanita itu berdehem aneh. Seperti sebuah kode agar aku kembali menatap wajahnya. 

"Konsentrasi pada pekerjaanmu, bahkan meski kau sedang dimabuk asmara." 

Hell-- what?

Aku mengernyit.

"Pagi ini Vivian dua kali melakukan kesalahan, kuharap kau tidak." Dia berpesan dengan mata bergerak dari atas ke bawah, lalu menyunggingkan senyum tipis, serupa permakluman.

"Lalu apa hubungannya denganku?" sahutku.

"Ingat saja pesanku," tandasnya. Lalu wanita itu berbalik akan melangkah kembali ke ruang depan, tapi kakinya terhenti. Demi melihat Nona Alaia berdiri tak jauh dari kami.

Nona Alaia menatapku.

***

      Seperti ada dinding tebal yang membatasiku dan Nona Alaia kali ini. Tak ada lagi percakapan sepanjang perjalanan, wanita itu hanya diam sambil mengalihkan pandangan keluar melalui jendela. Juga hanya menjawab singkat --seperti gumam malas-- tiap kali aku bertanya. 

Mobil berhenti di parkiran, aku bertindak cepat membukakan pintu, kemudian Nona Alaia keluar begitu saja tanpa bicara. Meninggalkanku dalam keheningan, merasa ada yang berbeda dari sikap yang ditunjukkannya.

Dia pergi berbelanja ke butik dan beberapa tempat mewah lain, hingga berjam-jam, lebih lama dari biasanya. Aku memesan pizza dan memakannya di mobil karena takut jika Nona Alaia kembali dan tidak menemukanku siap di dalam mobil. Sekilas, yang terlintas di kepalaku, adalah bahwa aku sedang dihukum olehnya. 

.

     Menjelang malam, mobil menembus jalanan yang semakin ramai. Kami tetap dalam keheningan, bahkan dia melengos saat kami tak sengaja saling menatap lewat kaca spion.

"Anda tidak apa-apa, Nona?" tanyaku, memecah keheningan di antara kami.

Dia tak menjawab, hanya dengkusan singkat yang tertangkap oleh telingaku, sepasang mata itu sempat melirik sinis lalu kembali membuang pandangan keluar.

Mobil berbelok memasuki gerbang rumah, lurus menyusuri aspal hitam menuju halaman. Aku menghentikan mobil di halaman yang sedikit terlindung cahaya lampu teras dan taman, karena tertutup oleh bayangan tiang besar yang menjulang kokoh di teras. 

Aku membuka pintu, lalu melangkah ke sisi dimana Nona Alaia menunggu. Kubukakan pintu untuknya dengan hati-hati sambil mengulurkan satu tangan untuk membantunya berdiri. 

Seharian ini, Nona Alaia tak menerima uluran tanganku. Dia lebih memilih berpegangan pada sisi mobil, dan itu menghempaskan perasaanku. Well- aku merasa seperti sedang tak diinginkan.

Nona Alaia meraih sisi pintu tapi aku segera menyambar telapak tangan itu dan membantunya berdiri. 

"Lepaskan aku," ketus Nona Alaia sambil mendelik kesal. 

Aku memperkuat genggaman tangan hingga dia tak bisa berontak lagi. Lalu hanya pasrah saat aku mendekatkan wajah di telinganya.

"Apa aku melakukan kesalahan, Nona?" bisikku.

Kugeser genggaman tangan itu ke belakang pinggangnya, hingga jarak kami semakin dekat. 

"Oris, lepaskan aku!" 

"Katakan, apa aku melakukan kesalahan?"

Dia membuang pandangan, bibirnya mengatup rapat seperti mati-matian berusaha mengunci kata-kata yang seharusnya meluncur keluar. 

"Nona?"

Dia mengalihkan pandangannya padaku sambil berusaha melepaskan tangannya sekuat tenaga. Tapi aku tetap menggenggamnya erat hingga telapak tangan kami terasa hangat.

Akhirnya wanita itu mendongak dan menatapku tajam. 

"Kau melakukan yang seperti ini dengan semua gadis di sekitarmu. Benar, kan?" 

.

BLACK HOUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang