Bab 14

769 133 33
                                    

"Yang seperti apa?" Aku menatap matanya, lekat, dengan tubuh semakin mendekat. Tercium aroma mawar berpadu dengan Musky Wood dari leher itu. Nona Alaia berhasil membebaskan tangannya, tapi dia tak bisa bergeser dari tempatnya karena tubuhku menghimpitnya ke sisi mobil.

Aku masih menatapnya, perlahan mengulum senyum yang kemudian tertangkap oleh manik matanya. Dia segera menutupi malu dengan berdecik lirih, mungkin karena tahu apa yang kupikirkan tentang kalimatnya sekarang. 

"Cemburu, Nona?" 

Dia mendelik. 

"Aku? Tidak." 

Bahunya luruh, karena tahu aku tersenyum tipis menikmati kebohongannya. 

"Jangan mempermainkanku, Oris," desisnya sebal sambil membuang pandangan.

"Bukankah seharusnya aku yang merasa sedang dipermainkan, Nona?" bisikku.

"Apa?"

"Anda sengaja menjadikanku tampak berbeda, lalu menemani makan di restoran itu, hanya agar Anda bisa mengambil foto dari cctv di sana. Lalu mengirimkannya pada Tuan Leonel secara diam-diam."

Sepasang matanya membesar menatapku, lalu segera membuang pandangan.

"Tapi seperti yang kubilang," bisikku, "bahwa aku rela melakukan apa pun untukmu." Aku menarik diri, mundur dari tubuhnya. Memberinya ruang untuk melihat ekspresi wajahku. "Termasuk mati di tangan Tuan Leonel." 

Aku merendahkan bahu sambil mengulurkan lengan membentuk lengkungan di depan pinggang. Kode bahwa aku mempersilakannya untuk melangkah meninggalkan tempat lebih dulu.

Nona Alaia melangkah pergi, menyusuri teras dan memasuki rumah itu. Aku mengikuti.

.

     Mungkin langkah kakiku terlalu hening, hingga sepasang kekasih yang tengah bergairah itu tak mendengar kedatanganku. 

Selama beberapa saat, kunikmati bagaimana cara Tuan Salimgerey menciumi leher Vivian sambil meraba penuh nafsu gadis yang terjebak di antara tubuhnya dan dinding tersembunyi itu. 

Kunyalakan rokok, sambil bersandar santai di balik furnitur berupa lemari hias yang tinggi dan kokoh di sudut ruang. Hingga akhirnya salah satu dari mereka menyadari keberadaanku. 

Vivian tersentak kaget, lalu dengan tergesa segera membenahi kancing kemeja dan roknya yang terangkat ke atas setelah lelaki itu menarik diri. Sementara Tuan Salimgerey tampak gugup dan marah karena tertangkap basah sedang melakukan hal salah.

"Apa yang kau lakukan di situ, Oris?" Pria paruh baya dengan tubuh tegap dan perut buncit itu berdehem tak suka.

"Apa?" Aku mengangkat alis. 

Wajah Vivian memerah, kemudian dia buru-buru melangkah pergi dan menghilang di balik dinding seberang. 

Aku dan Tuan Salimgerey masih saling pandang. Pria itu mengusap wajahnya. Mungkin karena mulai didera rasa was-was, atau mungkin juga karena nafsu yang tak berhasil tuntas. 

"Kau sengaja memergoki kami?" ketusnya tak suka.

"Tidak." Aku mengangkat bahu. "Aku hanya menikmati udara malam dengan berjalan-jalan di sini, lalu melihat pemandangan bagus." 

Tuan Salimgerey mengembuskan napas kesal, kembali mengusap wajah sambil melemparkan pandangan kearah lain, lalu kembali memandang wajahku. Tiba-tiba saja dia terkekeh pelan sambil melangkah mendekat.

"Kusarankan padamu, untuk tidak mencampuri urusan siapa pun di rumah ini." Lengannya yang berat menepuk bahuku, serupa sebuah ancaman. 

"Aku tidak ingin mencampuri urusan orang lain." Aku menegakkan tubuh, yang tentu saja membuatnya harus sedikit mengangkat pandangan jika ingin saling menatap mata. "Aku hanya ingin membebaskan diri dari ancaman seseorang."

Lelaki itu terdiam, rahangnya mengeras saat menatapku tajam.

"Jangan melibatkan aku dalam skandal konyol kalian," bisikku dengan penuh penekanan, setelah memperlihatkan sebuah foto yang baru kuambil beberapa menit sebelumnya.

***

      "Mau pergi kemana kau?" Tuan Leonel tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangan Nona Alaia yang sedang bersiap memasuki mobil pagi ini.

Well- bisa kupastikan, mereka akan bertengkar lagi.

"Itu bukan urusanmu!" Nona Alaia menepis tangan pria itu.

"Oho- tentu saja urusanku. Saat kau berkencan dengan pria lain maka yang terlihat oleh orang-orang di luar sana adalah jatuhnya harga diriku, bukan seberapa jalang istriku!"

Nona Alaia kembali berdiri tegak dengan sikap menantang, lalu senyum sinis tersungging di bibirnya.

"Lalu bagaimana denganku? Apa yang mereka pikirkan saat tahu kau tinggal di apartemen bersama wanita lain selama pernikahan ini terjadi?" 

Rahang Tuan Leonel mengeras. 

"Mari sama-sama menikmati hidup, setidaknya sampai pernikahan konyol ini selesai." Nona Alaia merunduk masuk ke dalam mobil, lalu memberi kode padaku agar segera menutup pintu. 

Aku sedikit merendahkan bahu untuk Tuan Leonel, menutup pintu dengan hati-hati, kemudian membuka pintu depan dan duduk di belakang kemudi.

Sempat kulirik wajah pria itu lewat kaca spion, sialnya, tatapan kami bertemu.

***

     Aku menikmati itu, bagaimana Nona Alaia mulai menganggap keberadaanku di sisinya. Bagaimana dia mencengkeram lenganku saat terhuyung agar tak terjatuh. Bagaimana dia membiarkan aku mengangkat tubuhnya ke atas kap mobil untuk menikmati angin malam. Bagaimana dia membiarkan jarak kami begitu dekat, hingga bisa tercium olehku wangi ceruk lehernya. Bahkan senyum terkulum dengan kilat mata berbinar yang berusaha disembunyikannya saja sudah cukup memabukkan, bagiku.

"Kau pernah menyentuhnya?"

"Siapa?"

"Vivian."

"Tidak, Nona."

"Lalu kenapa Gulnora mengatakan kalian sedang dimabuk asmara?"

"Aku tidak tahu."

"Katakan padaku, Oris."

Kalimat bernada tuntutan itu, wajah kesal itu, dan sikap menyebalkan yang terus-menerus dia tunjukkan, entah kenapa begitu melambungkan hatiku. 

.

Perjalanan pulang diselimuti hening, dengan senyuman yang tanpa sadar terkulum di bibir. Sesekali aku melirik wajah itu lewat kaca spion. Lalu mendapati Nona Alaia membuang pandangan hanya agar bisa menyembunyikan wajahnya yang tersipu. 

  

Hingga semua debar itu akhirnya terhempas malam ini, sesaat, setelah aku membawa Nona Alaia kembali.

Kami berjalan beriringan menaiki teras rumah, lalu menyadari ada seseorang yang tengah berdiri menunggu di sisi pintu. 

Nyonya Gulnora.

"Oris," panggilnya. 

Aku menghentikan langkah, sementara Nona Alaia melewati wanita itu.  

"Ya, Nyonya?" tanyaku. 

"Tuan Samet akan kembali besok, malam ini, kau boleh mengemasi barangmu."

Terdengar suara benda terjatuh. Saat aku menggeser pendangan dari bahu Nyonya Gulnora, ternyata paper bag yang digenggam oleh Nona Alaia tergeletak di dekat highheels yang dipakainya. Wanita itu berbalik menatap kearah kami, dengan sorot rumit yang terpancar dari matanya.

Untuk sepersekian detik, kami saling pandang dalam keheningan. Kemudian Nona Alaia berbalik dan pergi begitu saja menaiki anak-anak tangga. 

Aku kembali mengalihkan pandangan pada Nyonya Gulnora, lalu mengangguk samar sambil merendahkan bahu.

"Baik, Nyonya." Aku menjawab. 

Kemudian melangkah pergi, seiring dengan luruhnya hati. Entah kenapa rasanya aku akan melangkah menuju kehampaan, setelah ini.

.

BLACK HOUSEWhere stories live. Discover now