Bab 11

856 138 29
                                    

       Tuan Leonel berusia 36 tahun, terlahir sebagai seorang bangsawan kelas atas, yang sekarang menjabat sebagai CEO dari sebuah perusahaan besar miliknya. Ditambah dengan penggabungan perusahaan milik keluarga Nona Alaia, mungkin baginya gajiku sama dengan harga makan siangnya. 

Tentu saja aku kalah telak jika dibandingkan dengan sosok pria itu. Entah dari segi usia, harta, dan pengalaman. Jadi tidak seharusnya aku merasa lebih darinya hanya karena ciuman Nona Alaia. Begitu, kan?

Aku tahu diri. 

.

Sehari, dua hari, tiga hari terlewati setelah malam itu tapi Tuan Leonel belum juga kembali. Meski mereka selalu bertengkar sebelum ini, tapi bisa kulihat gurat cemas di wajah Nona Alaia tiap kali dia berdiri di balkon kamarnya. Wanita itu menatap kosong kearah luar gerbang, seolah sedang menunggu pria yang bahkan tak menganggapnya ada. Sementara aku hanya bisa mengamati dari bawah.

Seperti pungguk yang sedang menatap sendu purnamanya.

***

     Mobil berhenti di parkiran sebuah butik di pinggiran kota, bukan tempat yang biasa didatangi oleh Nona Alaia. Aku membuka pintu dan melangkah keluar. Berjalan ke sisi mobil menuju kursi belakang dimana Nona Alaia menunggu dibukakan pintu. 

Wanita itu melangkah keluar, kuraih tangannya yang terulur untuk membantunya berdiri, lalu kembali kututup pintu mobil dengan hati-hati. 

"Kau ikut denganku." Tangannya masih terpaut di jemariku.

"Ikut?" 

Aku menatapnya, sedikit heran. Karena sebagai sopir, biasanya aku hanya akan menunggu di dalam mobil hingga urusannya selesai.

Sepasang mata Nona Alaia bergerak-gerak, pertanda bahwa dia sedang kebingungan mencari jawaban. Dan aku mengerti. Maka aku melepas breton hat hitam dari atas kepala, benda yang harus kukenakan tiap kali berada di belakang kemudi agar aku mudah dikenali sebagai seorang sopir pribadi.

Nona Alaia tersenyum tipis, lalu berjalan mendahului, bukan dengan langkah cepat tapi seperti ingin diiringi.

Kami memasuki bangunan dengan dinding yang sebagian besar terbuat dari kaca. Tampak berbagai maneqin berjajar di sepanjang kaca seperti menyambut kedatangan kami.

Kupikir Nona Alaia ingin membeli baju, tapi ternyata aku salah. Dia memilihkan beberapa kemeja, celana kain, dan sepasang sepatu pria lalu menyodorkannya padaku. Mungkin ini mirip kisah-kisah sebuah film, tapi sialnya, akulah yang sedang ditraktir oleh seorang wanita. Bukankah itu menyedihkan?

Dia mengantarku memasuki kamar ganti yang sempit, agar aku tak kebingungan. Di mana ada sebuah cermin besar dengan lampu bercahaya cukup terang, sebuah kursi, dan beberapa gantungan baju.

Ada detik di mana aku merasa 'panas' menyadari kami hanya berdua saja, dalam jarak begitu dekat, sementara jemari lentiknya membuka kancing kemeja bagian atas milikku. 

Dia mendongak menatapku, sementara aku menunduk menatap matanya. Sesaat, kami saling berpandangan dengan dada yang mulai berdebar. Terlintas bagaimana ciuman panasnya di kepalaku, dan itu semakin membuatku ….

"Cobalah satu persatu, aku ... menunggu di luar," ucapnya sedikit gugup. Mungkin debar jantungnya sama kuat dengan debar jantungku, yang tertangkap oleh telapak tangannya. 

Nona Alaia melangkah keluar, meninggalkanku dalam ruangan sempit itu, menatap bayangan sendiri. 

Setelah beberapa menit, aku melangkah keluar. Lalu memperlihatkan diri pada Nona Alaia yang ternyata sedang duduk menunggu di sofa. 

Wanita itu menatapku, sedikit terkejut, lalu mengangguk dengan ekspresi jauh lebih ceria. Apa penampilanku memuaskannya? Entahlah. Kemudian dia pergi ke kasir dan membuang kemejaku begitu saja. 

.

     Terkadang hanya karena merk pakaian, cara menyisir rambut, dan seberapa tegap bahu saat berjalan, lalu seseorang bisa terlihat begitu jauh berbeda. Dan lucunya, aku merasa seperti tengah memainkan peran sebagai seorang bangsawan dari negeri antah berantah. Yang kini --karena sudah tak memalukan-- maka sesekali Nona Alaia mengaitkan jemarinya pada siku lenganku. Menciptakan desir-desir aneh setiap kali kami saling memergoki tengah mengulum senyum sendiri.

Dia membawaku memasuki sebuah restoran kecil, yang mungkin tak ada seorang pun mengenali kami di sana. Dalam beberapa kesempatan, Nona Alaia mengarahkan tatapannya padaku, lekat dan begitu dalam. Dengan arti yang ambigu bagiku.

"Kenapa takdirmu harus menjadi seorang sopir, Oris?" gumamnya pelan. Terkesan menyesalkan, bukan merendahkan. 

Aku mengangkat pandangan dari cangkir kopi di hadapan. Tak bisa menjawab, meski ada ego yang merasa sedang terlukai karena pertanyaannya. 

"Aku menyukaimu, tapi aku tak menyukai kastamu." Dia melanjutkan ucapan.

Aku menyunggingkan senyum tipis.

"Seandainya kau juga seorang bangsawan." Nona Alaia menarik napas, lalu mengembuskannya pelan.

"Dan kenapa Anda harus terlahir sebagai seorang bangsawan, Nona?" Kini, aku yang bertanya, membalikkan pertanyaannya.

Nona Alaia terdiam. "Bukankah itu keberuntungan?" gumamnya.

"Seandainya kau terlahir di kasta yang sama denganku, aku akan melakukan apa pun untuk memberi segala kemewahan itu."

Kami saling menatap. Lekat dan dalam, seiring dengan piano yang mengalun lembut dari sudut ruangan.

"Kau pikir itu manis, Oris?"

Aku mengangkat alis.

"Anda pikir tidak?"

Dia tertawa lirih.

"Ya, itu kalimat paling manis yang pernah dikatakan seorang pria padaku."

Aku mengulum senyum.

"Aku menyukainya." Wajahnya tersipu. 

Dan rona kemerahan itu kunikmati dari balik mejaku.

.

BLACK HOUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang