Bab 22

1.4K 119 40
                                    

"Katakan tuduhanku tidak benar, Oris." Pupil matanya bergerak-gerak seperti mencari jawaban dari iris mataku. "Katakan padaku kau sama sekali tidak terlibat," tuntutnya.

Aku, selama beberapa saat hanya terpaku pada kebisuan. Menyelami mata yang masih memancarkan rasa takut dan kesedihan dalam satu waktu.

"Bagaimana Anda bisa berpikir aku akan melakukan itu, Nona?" Aku menatap wajah basah itu, tak mengerti.

Dia menatapku ragu.

"Karena jika Samet pergi ... maka itu berarti kau bisa kembali," gumamnya.

"Kupikir itu hanya keberuntungan bagiku."

Dia mendongak.

"Dugaan awal kematiannya adalah bunuh diri, tapi aku yakin itu tidak benar," bidiknya sambil menggelengkan kepala. "Dua hari sebelum hari peristiwa itu, aku memintanya mencari tempatmu, setelah itu dia seperti merasa gelisah sepanjang waktu ...."

"Kalian mencariku?" Aku mengulang.

Sepasang mata Nona Alaia melebar, seperti baru menyadari ucapannya sendiri. "A-aku ... hanya ingin ...."

Aku mengerti. Kau juga merindukanku, benar kan, Nona?

Itu artinya aroma parfum yang sekilas tercium olehku saat aku memejamkan mata di antara lukisan-lukisan, memang benar karena dia ada di sana, bukan karena aku begitu parah sampai berhalusinasi.

"Lalu kenapa mengaitkan kematiannya denganku?"

"Karena kau pernah bilang mau melakukan apa saja untukku, Oris," bisiknya pelan, "ekspresimu saat mengatakan itu seperti kau memang akan melakukan hal-hal di luar batas. Untukku."

Astaga. 

"Lalu caramu menabrakkan mobil yang kita tumpangi saat Leonel akan menciumku. Ekspresi wajahmu terlihat ... menakutkan."

"Itu karena aku merasa cemburu."

"Lalu kau juga bertanya tentang ponsel itu. Ponsel yang memang sedang dibawa sebagai bukti di kepolisian."

"Polisi membawa ponsel itu?"

"Ya."

Baguslah, setidaknya aku tidak perlu memberitahu tentang adanya perselingkuhan itu karena suatu saat nanti sidang pengadilan pasti akan membeberkannya.

"Kenapa kau menanyakannya? Apa ada sesuatu?" Nona Alaia menatapku penuh pertanyaan.

"Tidak. Aku hanya merasa itu bukan ponsel yang lama."

Bisa kulihat itu, bagaimana sorot kelegaan di matanya berubah menjadi tetes demi tetes air mata yang mengalir begitu derasnya. Nona Alaia membenamkan wajahnya di dadaku, menangis.

"Kau tahu aku sangat takut beberapa hari kemarin ini," tangisnya.

"Lalu kenapa Anda tidak bertanya padaku, Nona? Kau tahu bagaimana perasaanku?"

"Seharusnya aku yang bertanya, kau tahu bagaimana perasaanku?"

"Apa?"

"Aku terlalu merindukanmu sampai-sampai aku sudah mempersiapkan segala alibi untuk menguatkan alasanmu jika nanti kau ditangkap polisi. Bahkan jika kau memang pelakunya."

Aku menatap matanya tak percaya, lalu merengkuh Nona Alaia semakin erat. Mencium leher jenjang itu dan mulai mengisi paru-paruku dengan aroma mawar bercampur musky Wood yang kurindukan selama beberapa malam ini. 

Kelegaan semakin mengalir dalam dada, menetralkan detak jantungku, setidaknya, tangan Nona Alaia memang tidak menciptakan lumuran darah di atas kisah kami.

Seperti kau yang ingin membuatkan alibi untukku, Nona, aku pun sedang mati-matian membuatkan alibi untukmu. Dan jika memang kau pelakunya, maka aku yang akan melibatkan diri untukmu.

.

      Mobil meluncur pulang dengan kelegaan, sekaligus pekik kaget dari bibir Nona Alaia.

"Kau membeli segelas kopi dengan cara menukar dengan sepatumu?"

"Ya, Nona."

"Apa kau gila? Kenapa kau tidak mengatakan bahwa kau tidak membawa uang?"

Aku menatap lurus ke depan, sambil mengulum senyum tipis.

"Karena aku sudah bilang akan memberimu segala kemewahan meski kita tidak berada di kasta yang sama."

Sempat kulihat bagaimana reaksinya, entah apa pun yang dia pikirkan saat ini, aku hanya ingin dia tahu bahwa aku memang seserius itu dengan ucapanku.

"Oris, berjanjilah padaku."

"Ya, Nona?"

"Jangan melakukan hal di luar batas hanya demi aku. Kau mengerti?"

Pertanyaan itu, kubiarkan menggantung di udara hingga hening penuh arti menyelimuti kami.

***

      Saat mobil memasuki halaman rumah besar itu, kulihat sosok Tuan Leonel berdiri dengan bahasa tubuh arogan di tepi balkon kamar. Matanya menatap tajam kearah kami, aku bisa menebak itu. 

Mobil berhenti. Aku membuka pintu dan bergeser ke sisi di mana Nona Alaia duduk. Membukakan pintu untuknya, sambil mengulurkan telapak tangan membantunya berdiri. 

Nona Alaia melangkah memasuki teras setelah sempat melirik kearah kaki telanjangku.

Aku berjalan di belakangnya, lalu ikut melambat saat melihat sosok Tuan Leonel menyambut istrinya di depan pintu utama.

"Kau baru pulang?" tegurnya dengan nada dingin. 

Nona Alaia berhenti dan menatapnya. 

"Dari mana saja?"

Tuan Leonel kembali bertanya.

"Aku menelepon tempat terakhir yang kau kunjungi sore tadi."

Aku ingin sekali berhenti. Ingin sekali. Tapi aku tahu, aku tak punya keperluan di antara mereka. 

Langkahku berhenti di ujung koridor menuju pintu khusus para pekerja. Menoleh. Dan masih sempat menangkap bagaimana lengan itu melingkari pinggang Nona Alaia. Lalu dua sosok itu menghilang di balik pintu. 

Pada logika yang semakin rapuh sempat terlintas tanya dalam otakku. 

Sampai berapa lama seorang laki-laki yang mulai menginginkan wanitanya, akan tetap memenuhi janji tentang tidak meniduri tanpa rasa cinta?

.

Sorry update kelamaan.
Btw yang mau baca bukunya bisa pesan ke Shopee/Lazada/Tokopedia Patrick Kellan Official Store1 atau langsung beli di Gramedia

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 29, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

BLACK HOUSEWhere stories live. Discover now