Bab 15

809 140 13
                                    

Koridor menuju kamar seperti lorong gelap menuju kematian. Bagiku. Aku melangkah dengan jiwa separuh tertinggal, di sana, di genggaman Nona Alaia.

Aku datang ke sini karena Tuan Samet sedang mengambil cuti atas alasan keluarganya, hanya menggantikan sampai pria paruh baya itu kembali siap bekerja. 

Dan tiba-tiba saja, malam ini, aku merasa seperti seorang anak yang sedang berdoa di depan kue ulang tahunnya, begitu serius dan penuh harap, agar Tuhan segera mengabulkan segenap pinta.

Tetap tinggal.

Paman Hue menyambut di pintu kamar, lalu dia melangkah masuk lebih dulu dalam kamarku. Mungkin ada yang ingin dia bicarakan.

Lelaki itu berdiri bersandar di dinding kamar mengamati wajahku.

"Nyonya Gulnora sudah memberitahumu, Oris?" tanya Paman Hue hati-hati.

Aku menatapnya. "Ya, Paman."

Dia mengangguk-angguk. Lalu menepuk bahuku. "Baiklah, segera kemasi barangmu. Aku akan mengantarmu pamit untuk mengembalikan fasilitas yang pernah kau dapatkan di sini."

Aku mengangguk samar, lalu segera pergi ke kamar mandi.

.

      Rambutku masih separuh basah, mengenakan kemeja warna putih dengan celana kain warna hitam. Sebuah kotak berisi segala fasilitas yang diberikan selama bekerja, telah tersusun rapi. Ponsel khusus yang hanya boleh digunakan selama bekerja karena menyimpan nomor pribadi seisi rumah ini --masing-masing pekerja diberi fasilitas ini agar lebih mudah saling berkomunikasi--, breton hat, kemeja seragam sopir, begitu pun dengan kemeja lengkap yang sempat diberikan Nona Alaia khusus untukku. 

Suara detak sepatu pantofel yang kukenakan terdengar bersahutan dengan milik Paman Hue. Lelaki itu berhenti tepat di depan pintu kamar, lalu mengetuk pintu dengan sopan.

Setelah terdengar suara Nona Alaia, Paman Hue membuka pintu. Aku melangkah masuk, mengiringi langkah lelaki itu.

Nona Alaia terlihat begitu sempurna mengenakan dress warna ungu yang menampilkan lekuk pinggangnya, duduk di sofa bulu putih di sisi ruangan dengan posisi begitu tenang. Matanya menatap kami dengan tatapan yang tak dapat kuartikan. Bibirnya terkatup rapat, sorot matanya menatap datar kearah kami tanpa bisa kutemukan titiknya.

"Saya mengantar Oris untuk mengembalikan fasilitas di sini, Nyonya." Paman Hue berucap dengan nada jelas. 

Aku ingin mengelak pergi, jika saja Nona Alaia memberiku kesempatan sedikit saja untuk berargumen di hadapannya. Tapi wanita itu, selama beberapa saat hanya diam, seperti tak peduli.

"Letakkan itu di meja, Oris." Paman Hue memberitahu.

Aku melangkah mendekat, bahkan paru-paruku seperti berontak ingin menghirup aroma perpaduan antara mawar dan musky wood di lehernya. Dengan hati-hati aku menaruh kotak itu di hadapannya, dengan perasaan tak diinginkan. 

Bisa kulihat senyum tipis di bibir sensual itu. Kemudian dia meraih sebuah amplop coklat dari atas meja di sampingnya dan mengulurkannya padaku.

"Ini gajimu selama tiga minggu bekerja. Aku menambahkan beberapa--"

"Untuk apa memberiku uang lebih, Nona? Sebagai bayaran atas ciuman-ciuman itu?" bisikku saat membungkuk di hadapannya. 

"Oris!" ucapnya tertahan.

Aku menatapnya sayu. 

***

      Ruang makan itu kosong keesokan paginya, Nona Alaia memilih sarapan sendirian di dalam kamar. Entah karena semalam Tuan Leonel tak pulang, atau karena dia memang tak peduli pada kepergianku. 

Dan tololnya, aku masih tetap menatap kearah sana, berharap, setidaknya wanita itu mau mengucapkan salam perpisahan padaku. Tapi nyatanya tidak, hingga sarapan selesai dan aku harus bersiap pergi, tak ada yang melangkah keluar dari ruangan itu. Pintu kamarnya tetap tertutup rapat. 

Waktuku selesai. 

Aku melangkah pergi diiringi Nyonya Gulnora dan Paman Hue. Sempat kulihat Vivian menatapku dengan pandangan menyayangkan, bukankah seharusnya dia lega? Sementara Nilufer menatapku dalam diamnya.

Nyonya Gulnora mengantar hingga ke depan pintu utama, sedangkan Paman Hue mengiringi langkahku hingga ke pintu gerbang. Tuan Qazir melambaikan tangan, meski kami tak banyak bicara, tapi aku yakin kami lumayan cocok. Sedangkan Tuan Salimgerey tersenyum penuh arti saat melihat kepergianku.

Well- dia pasti merasa terbebas dari cengkeraman serigala yang sempat dikiranya sebagai anjing.

Di depan gerbang, aku menoleh untuk yang terakhir kali memandangi bangunan berwarna dominan hitam itu.

Black House.

Sebuah kemewahan yang menyelimuti banyak skandal di dalamnya. 

Mungkin, setelah ini aku akan merindukannya.

Langit pagi mengiringi langkahku menjauh dari rumah megah itu. Daun-daun gugur melayang diterbangkan angin, yang kemudian terhempas di atas aspal hitam . Menandakan musim gugur belum berganti dengan musim semi.

"Oris!"

Terngiang di telingaku suara seorang wanita yang hanya dalam waktu beberapa minggu, berhasil membuatku jatuh cinta begitu hebatnya. 

Aku menoleh.

Seperti orang bodoh, karena yang terlihat hanya jalanan kosong bertabur daun kering yang berguguran.

.

BLACK HOUSEOnde as histórias ganham vida. Descobre agora