TABU - 14

3.6K 333 11
                                    

Ara melimpahkan tanggung jawabnya membereskan semua pesanan pada Rahmi dan kawan-kawan. Sementara ia mengurung diri di dalam kamar. Tidak lucu jika kekacauan yang baru saja dialami terendus oleh para pekerjanya, bisa-bisa bukannya prihatin tapi malah dijadikan bahan gosip baru yang epik untuk disebarluaskan. Kelakuan Gibran yang tidak senonoh padanya merupakan sebuah aib besar yang harus ia sembunyikan rapat-rapat.

Air mata Ara tidak berhenti mengalir. Ia tidak menyangka Gibran akan tega melecehkannya. Padahal selama ini ia selalu berusaha baik dan sudah menganggap Gibran layaknya seorang adik kandung. Tubuh Ara bergetar oleh emosi dan amarah yang terasa memenuhi dadanya. Demi Tuhan, jika suaminya masih ada, tidak akan segan-segan ia mengadukan perbuatan adik iparnya itu.

Kelakuan Gibran benar-benar membuat kesuciannya sebagai seorang perempuan bersuami tidak lagi mulia. Ara merasa sangat kotor dan terhina. Sebagai seorang janda Ara selalu berhati-hati. Banyak lelaki yang coba mendekatinya tapi Ara tetap pada pendiriannya, bahwa cinta dan hatinya hanya untuk suaminya seorang. Ara sudah berjanji akan jadi satu-satunya milik Bara kelak di alam lain dan ia selalu menunggu saat itu tiba. Tapi kini, justru orang terdekatnya sendiri yang tega menodainya.

Ara mengusap pipinya yang tak henti-henti dialiri air mata. Sehina itukah status janda di mata mereka? Di mata seorang laki-laki seperti Gibran? Tapi kenapa harus Gibran? Kenapa harus adik iparnya sendiri yang melakukan hal serendah itu padanya? Mungkin Ara masih bisa mentolerir jika itu dilakukan oleh laki-laki lain. Tapi ini Gibran. Adik kandung suaminya sendiri. Dimana Ara bisa berlindung jika orang terdekatnya sendiri yang melukainya?

Dua jam telah berlalu Ara meratapi nasibnya. Berstatus janda di usia yang sangat muda tidaklah mudah. Terlebih ia memiliki seorang putra yang harus dia rawat dengan baik, dengan hati dan pikirannya yang waras. Ada kalanya Ara berada di titik terendah, merasa tidak mampu berjalan sendiri, hingga ingin sekali ia menyusul suaminya. Tapi saat mengingat Saka yang membutuhkan sosok Ibu yang kuat, mau tidak mau Ara harus menjalankan perannya demi sang buah hati.

Sudah terlalu lama ia berdiam diri di dalam kamarnya dan sebentar lagi tiba saatnya Saka pulang dari latihan basket. Ara harus segera membersihkan diri sebelum bocah itu memergoki kondisinya yang menyedihkan.

Dengan gontai perempuan berparas ayu itu melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Sempat beberapa menit termenung di depan wastafel. Memandangi pantulan wajahnya yang tampak kacau.

Sepuluh tahun yang lalu saat dipersunting Bara, ia hanyalah seorang gadis lulusan sekolah menegah atas yang bekerja di swalayan dekat rumahnya. Gadis itu masih sangat muda jika bersanding dengan pria yang usianya terpaut nyaris sepuluh tahun. Tapi sosok yang membuat Ara jatuh cinta pada pandangan pertama itu telah membuktikan betapa Bara sangat memuliakan Ara sebagai seorang istri yang harus dikasihi dan dilindungi. Tak sekali pun Bara bernada tinggi kepadanya, bila terkadang ada sedikit perbedaan pendapat diantara mereka. Suaminya yang sangat penyabar itu akan memilih diam dan mengalah.

Ara beruntung memiliki pendamping hidup yang bukan hanya sempurna fisiknya namun juga baik perilaku dan hatinya.

"Ibu sedang kurang enak badan kah?" tanya Rahmi begitu Ara bergabung di dapur bersama para pekerjanya.

Ara berdeham, hidungnya masih bindeng karena terlalu lama menangis. "Nggak tahu kenapa hari ini aku ingat Mas Bara terus, Mbak. Kangen."

"Ya Allah, Bu ...." Semua yang ada di dalam ruangan ini ikut nelangsa.

"Berat jadi Ibu Ara. Nggak bisa bayangin aku. Meskipun suamiku modelan kayak gitu. Tidurnya ngorok. Bau, susah banget kalau disuruh mandi. Ngeselin banget. Tetap belum siap aku kalau disuruh pisah sama dia."

"Sama, aku juga."

"Apalagi jadi Bu Ara yang jelas-jelas Pak Bara orangnya sudah salih, ganteng, baik, ramah, kaya pula. Kenapa spek berkualitas seperti Pak Bara yang diambil duluan. Kayak nggak terima gitu aku."

"Sama, aku juga."

Suara Rahmi memang selalu mendominasi sebelum yang lain membalasnya dengan ungkapan yang diulang-ulang.

Ara mulai mempersiapkan kardus-kardus dan perlengkapan untuk menghias seperti tali pita dan bunga. Kali ini ia mendapat pesanan hampers untuk acara ulang tahun sebanyak 200 biji. Dibukanya aplikasi video berbagi yang menayangkan segala macam tutorial pembuatan hampers yang lucu dan menarik dan ia mulai mempraktikkan.

"Banyak juga ya ternyata tutorial kayak gitu di Youtube. Sekarang butuh apa-apa jadi mudah asalkan kita nggak malas." Rahmi ikut menonton video itu sambil tangannya mengocok susu dan keju untuk membuat vla.

"Kebanyakan emak-emak kalau sudah sibuk ngurus anak jadi malas ngapa-ngapain. Anak sekolah aja ditungguin sambil ngerumpi sama wali murid yang lain. Capek deh!" Kanti menimpali.

"Dulu kamu juga gitu kan sebelum aku ajak kerja di sini?"

"Itu karena toleku belum bisa ditinggal, Mbak Rahmi. Kan kalau awal-awal masih takut."

"Ya tapi kalau nggak dipaksa dan kamu nggak tegas pasti sampai SD dia masih minta ditunggu emaknya."

"Ya nggak lah, Mbak. Pas sudah mau naik kelas TK B juga langsung minta ditinggal. Katanya malu sama temannya kalau ditungguin terus. Sudah gedhe."

"Kalau anak sekolah TK masih minta ditungguin itu sebenarnya wajar loh, Rahmi." Kali ini suara keluar dari mulut seorang wanita paruh yang usianya hampir sama dengan Rahmi. "Yang susah itu kalau anak kebiasaan ngempeng. Anakku contohnya. Memang kesalahanku dari awal yang lebih banyak di luar daripada di rumah karena sibuk kerja. Jadi semua ada plus minusnya. Waktu itu anakku nggak bisa pisah dari empeng sampai SD. Tapi akhirnya malu-malu sendiri karena sering diledekin sama temannya. Kasian sebenarnya."

"Ya ampun, Mbak. Itu kasian banget." Ara ikut nimbrung.

"Iya, Bu, kasian. Mbrebes mili eluhku."

"Lah, kok jadi nyanyi gitu, Mbak?"

Semua tertawa.

"Kamu itu memang asli jawa banget ya?" Tanya Rahmi.

"Jawa Timur, Rahmi. Kan aku udah pernah cerita toh."

"Oalah, aku pikir kamu satu kampung sama Didi Kempot."

"Nggak! Dia kan Jawa Tengah."

"Ini ya, ngomongnya lebih alus lagi?"

"Jawa Timur juga bisa alus."

"Aku punya teman orang Surabaya ngomongnya kasar banget."

"Aku kan dari Blitar. Ngomongnya cenderung sopan."

Ara sangat bersyukur kali ini para pekerjanya lebih banyak membahas tentang pengalaman masing-masing ketimbang menggosip adik iparnya yang membuat suasana hati Ara lagi-lagi buruk.

Sedari tadi ia diam, tapi otaknya terus bekerja, apakah ia harus menghadapi Gibran dan kembali memaki-maki lelaki itu? Atau Ara harus memberi pengertian dengan cara baik-baik mengingat selama ini Gibran yang selalu membantunya mengurus Saka. Atau Ara harus membuat laporan polisi sehingga Gibran bisa mendapatkan efek jera. Atau yang lebih menyedihkan, lebih baik ia menghindari adik iparnya itu untuk beberapa hari ke depan.

Dari semua solusi yang berseliweran di kepalanya mana yang harus Ara pilih?

TABU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang