TABU - 9

3.1K 385 11
                                    

"Ini kenapa Pak Rahmat HPnya nggak aktif? Nggak lupa kan kalau sekarang dia harus anterin pesanan ke pondok pesantren?" Ara terus berkicau saat sambungan teleponnya pada orang yang biasa menjadi kurirnya tidak kunjung direspon.

"Salahku sendiri sih kemarin nggak aku ingatin. Jangankan mau nelepon dia, pegang ponsel aja sampai nggak sempat karena pesanan banyak banget."

"Iya sih, Bu. Biasanya Ibu selalu aktif banget ngasih tahu Pak Rahmat." Rahmi yang sedang memasukkan beberapa kue yang tinggal sedikit lagi ke dalam kardus langsung menimpalinya. "Namanya juga orang sudah umur. Jadi gampang banget lupa."

"Haduuuh, gimana ini?" Ara terus menekuri layar ponsel berusaha untuk menghubungi anak Pak Rahmat. "Anaknya juga punya HP tapi jarang banget bisa dihubungi!"

"Biasanya orang kayak gitu hemat kuota, Bu. Diaktifin kalau lagi butuh doang. Dia beli kuota yang 15 ribu buat satu bulan itu."

"Perlu saya samperin ke rumahnya, Bu?" Salah seorang teman begadangnya yang lain menawarkan diri.

"Daripada ke rumahnya yang jauhnya hampir sama dengan pondok ya mending kita yang angkut sendiri toh." Sambar Rahmi tidak setuju dengan ide rekannya.

Di rumah Ara sebenarnya juga ada kendaraan roda empat, peninggalan suaminya, tapi Ara sendiri tidak bisa menggunakan. Dan untuk urusan pekerjaannya membuat pesanan snack, selama ini ia selalu memakai kurir.

Ara kembali melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 05:00, sementara acara khotmil quran dan jantiko dimulai jam 06:00.

"Sudah, Bu. Kita antar sendiri saja!" Pekerjanya yang lain mendekati Ara. "Motor di rumah Ibu kan banyak. Ada tiga. Nanti saya bawa sendiri, Rahmi bawa sendiri, Ibu juga. Gerobak juga sudah ada. Gampang, Bu."

"Kalian nggak apa-apa jadi kurir? Kalian sudah kerja semalaman. Harusnya ini jadi tanggungan Pak Rahmat. Kalian bisa pulang dan istirahat, bukannya malah lanjut jadi kurir."

Mereka bertiga yang menjadi teman Ara dalam membuat pesanan serempak berkata, "Nggak apa-apa, Bu. Masih semangat banget ini."

Ara tersenyum, terharu memiliki partner yang sangat solid seperti mereka.

Tiga sepeda motor matic sudah berjejer rapi di teras rumah Ara. Mereka semua lantas bersiap untuk memindah kardus-kardus yang sudah terisi kue ke gerobak. Masing-masing kendaraan membawa lima kardus. Empat di letakkan di gerobak dan yang satu di depan.

"Ini udah telat banget. Kalian berangkat duluan aja. Aku mau ngasih tahu Saka dulu."

"Nggak bareng-bareng saja, Bu? Masih gelap loh, Ibu nggak takut."

"Halah, Mbak Rahmi, apa sih yang ditakutin? Sudah sana berangkat!"

Setelah berganti pakaian dengan yang lebih sopan dan mengenakan jilbab karena ia akan mengunjungi pondok pesanten, Ara lekas memberitahu Saka yang masih terlelap.

Motor matic dan barang pesanan lebih dulu ia keluarkan. Ara buru-buru mengunci pintu rumah dan gerbang sebelum memacu kendaannya. Baru saja ia melihat arlogi, ia sudah hampir telat.

Ara mengurangi laju kecepatannya saat sebuah kendaraan roda empat menyalakan lampu sein. Ia berhenti dan menunggu kendaraan mewah itu memasuki gerbang rumah Gibran hingga ia bisa menjalankan motornya kembali. Tadi Ara sempat melihat adik iparnya itu yang berada di balik kemudi. Sudah tidak kaget, lelaki itu hanya meliriknya tanpa repot-repot untuk menyapa kakak iparnya.

Dasar sombong, arogan! Padahal semalam lelaki itu masih menumpang makan di rumahnya. Tapi sekarang lagaknya seperti tidak saling mengenal.

Dan dari mana lelaki itu hingga baru sampai rumah? Apa yang dikerjakan semalam suntuk di luar sana? Sekarang bahkan masih petang belum ada tanda-tanda matahari ingin mengintip.

Ah, terserah, kenapa ia harus peduli?!

Pergaulan Gibran yang bebas sudah bukan rahasia lagi. Satu-satunya yang Bara sering permasalahkan saat menghadapi adiknya, yaitu tentang hidupnya yang tidak ada aturan. Bahkan setelah kedua orang tuanya meninggal, tingkah Gibran semakin tidak terkontrol.

Suara ledakan membuyarkan lamunan Ara dari pikirannya tentang sang adik ipar. Motornya oleng, hampir saja terjerembab ke parit-parit jika keseimbangannya dalam menguasai kendaraan tidak bagus. Dengan kondisi membawa barang pesanan yang tidak mudah dan berat.

"Ya ampun, bocor pula!" Desah Ara setelah mengecek ban belakangnya yang kempes. "Ya ampuuuuun!"

Ara mencoba meliarkan pandangan ke sekitar di sela-sela usahanya menghubungi Rahmi dan karyawan yang lain. Meski hari sudah mulai terang tapi jalan bulakan selalu sepi. Biasanya baru ada orang yang lewat saat sudah benar-benar matahari terbit.

"Kenapa?"

Ara menoleh dan kaget. Kok Gibran bisa ada di sini?

"Bocor?" Tanya lelaki itu lagi, posisinya masih di dalam mobil sambil mengeluarkan kepalanya untuk meneliti kondisi ban tersebut.

"Iya, bocor." Sambut Ara akhirnya.

Lelaki itu lantas menepikan mobilnya, sebelum turun dan mendekati Ara. "Kamu bawa barang segini banyak?"

Tanpa meminta persetujuan Ara terlebih dahulu lelaki itu langsung memindah semua kardus-kardus itu ke dalam bagasi mobilnya.

"Motornya gimana dong?" tanya Ara mengekori langkah lelaki itu memasuki kendaraan.

"Akan ada yang urus." Jawabnya singkat.

Ara hanya menurut saja karena tidak punya pilihan. Durasi juga semakin menipis. Ia tidak mau terlambat dan mengecewakan pelanggan.

"Kenapa nggak naik mobil?" tanya lelaki yang tengah sibuk menguasai kemudi. Lelaki itu baru mengeluarkan suaranya setelah beberapa menit kendaraan ini membaur dengan lalu lintas.

"Biasanya Mbak pakai kurir kok. Cuma kali ini aja kurir yang sudah jadi langganan Mbak mangkir. Ponselnya nggak bisa dihubungi."

Suasana kembali hening. Sangat lucu, beberapa menit yang lalu Ara masih mengeluarkan sumpah serapa untuk Gibran, tapi sekarang lelaki ini malah mendatanginya layaknya pahlawan.

"Mobilnya nggak bisa masuk, Gibran. Kita berhenti di sini saja."

Lelaki itu menghentikan mobilnya di depan gang sempit arah masuk ke dalam pondok pesantren. Rahmi yang baru saja keluar dari gang langsung mendekat.

"Ibu kok lama banget?" tanya wanita paruh baya itu sambil melirik lelaki di samping Ara. Pasti Rahmi kepo kenapa ia bisa bersama adik ipar yang selalu jadi bahan gosipnya selama ini.

"Ban motorku bocor, Mbak Rahmi."

"Kalau gitu biar saya yang bawa masuk, Bu." Wanita itu buru-buru memindah kardus-kadus dari bagasi ke gerobaknya.

"Makasih ya, Mbak Rahmi."

"Sama-sama, Bu. Mumpung Kanti masih di dalam. Mending Ibu pulang saja."

"Nggak apa-apa aku pulang?"

Rahmi mengangguk. Sekali lagi melirik lelaki di sampingnya sebelum melesat masuk gang.

"Maaf ya, Mbak sudah banyak ngerepotin kamu. Gara-gara antar Saka ke Singapore kamu jadi masuk RS. Kamu sudah banyak bantuin urus Saka selama ini. Makasih banyak, Gibran."

Lelaki itu diam, tatapannya fokus ke jalan raya dan mengemudi.

"Tapi kalau bisa, jangan terlalu memanjakan Saka. Bulan lalu kamu sudah beliin dia tas, eh kemarin di Singapore kamu beliin lagi. Sepatu juga banyak sekali, Gibran? Dan mahal-mahal semua. Mbak nggak mau Saka jadi lupa diri. Ibunya aja cuma tukang kue. Takutnya kalau Saka sudah biasa sama barang mahal, nanti dia jadi gampang nyepelein barang pemberian Ibunya yang harganya nggak seberapa."

Kalimat Ara yang panjang lebar tak mampu meruntuhkan keheningan di perjalanan pagi ini.

"Loh, ini kan bukan jalan pulang ke rumah?" Ara menoleh ke sekitar.

"Aku lapar. Kita cari warung dulu buat sarapan."

Loh? Loh? Loh?

TABU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang