TABU - 23

3.3K 355 14
                                    

"Eh, Ibu sudah sadar! Alhamdulillah. Ibu, ibu nggak apa-apa?"

Wajah Rahmi membayang di atasnya saat Ara sudah mulai membuka mata. Rasa pening masih menggelayut di kedua sisi kepalanya. Ulasan peristiwa yang membuatnya hilang kesadaran menyeruak. Membangkitkan rasa geram di dada.

"Ibu nggak apa-apa kan? Masih pusing, Bu?" Suara Rahmi kembali muncul khawatir.

"Kelihatannya Ibu masih pusing. Ibu meringis gitu. Pasti pusing banget." Timpal seseorang yang berada di sebelah Rahmi.

Intonasi suara yang dikeluarkan Rahmi seketika meninggi panik. "Ya Allah! Terus gimana ini? Dibawa ke rumah sakit?"

"Aku nggak apa-apa kok. Sudah lebih baik ketimbang tadi." Ara menyela dan mencoba untuk duduk.

Rahmi membantunya. "Pelan-pelan, Bu."

"Kalau masih pusing dipakai rebahan saja, Bu."

"Sekarang jam berapa ya?" Tanya Ara saat sudah berhasil duduk tegap.

"Jam setengah sembilan, Bu." Jawab Rahmi.

Biasanya Lentera Bakery tutup di jam sembilan malam. Dua karyawan masih terlihat melayani pelanggan yang tidak berniat tinggal karena kondisi perabot yang kacau balau. Mendapati pemandangan di depan matanya membuat amarah Ara naik ke ubun-ubun.

"Bu, yang sabar ya, Bu. Pasti Mas Gibran bakalan tanggung jawab."

"Dasar bocah gila!" Geram Ara dengan nada tertahan. "Kalau mau adu jotos kenapa nggak di ring tinju sekalian! Bikin rusuh tempat orang saja!"

"Sebenarnya kejadiannya gimana sih?" Rahmi bertanya pada dua pramuniaga yang sekarang sedang bebas pengunjung.

"Pastinya saya nggak terlalu merhatiin sih, Mbak Rahmi. Tadi kan lagi rame-ramenya pengunjung. Pokoknya, awalnya Mas Gibran datang terus marah-marah sama Mas Beno dan Mas Tristan. Ini Mas Beno dan Mas Tristan kan sudah datang lebih dulu. Sekitar setengah jam baru Mas Gibran muncul. Mereka adu mulut. Terus tiba-tiba saja sudah gedebuk-gedebuk gitu. Akhirnya semua pengunjung pada teriak rusuh."

"Parah banget ini. Masak kursi sama meja banyak yang rusak gini? Piring-piring, cangkir-cangkir jatuh di lantai."

"Ya kan Mas Gibran nyuruh Mas Tristan buat cabut dari tempat ini, tapi Mas Triskan nggak ngegubris gitu. Padahal sama Mas Beno sudah dibujuk juga. Yaudah Mas Gibran tambah marah, dilemparlah semua yang ada di sini."

"Hah, berarti Mas Gibran yang salah! Yang mulai duluan! Jadi kepo sebenarnya mereka lagi ada masalah apa sih? Sampai bikin rusuh tempat orang gini!" Dari ekspresi dan cara bicaranya Rahmi ikutan geregetan.

"Gibran itu emang gila! Ugal-ugalan! Urakan! Sifatnya yang kayak gini ini yang bikin Mas Bara dulu angkat tangan. Punya adik satu saja kelakuannya kayak setan!" Sambar Ara tak kuasa menahan emosinya. Tatapannya benar-benar nanar pada perabotan yang selalu ia susun rapi menjadi tak berbentuk lagi. Bukan lagi emosi atas kelakuan sang adik ipar, tapi lebih kepada sesak yang terasa memenuhi dadanya.

Kenapa cobaan selalu ada saja saat Ara ingin menata hidupnya kembali? Pelecehan yang dialaminya kemarin bahkan sakitnya masih terasa membekas, menumbuhkan sikap waspada saat berhadapan dengan si pelaku. Dan sekarang adik iparnya itu kembali berbuat ulah. Nilai minus untuk lelaki itu semakin bertambah banyak di mata Ara.

"Kasian Mas Beno, kayak kewalahan gitu ngatasin teman-temannya."

Para karyawannya masih terus mengobrol saling bersahutan membahas peristiwa yang baru saja terjadi di tempat kerjanya. Sembari sibuk membenarkan letak kursi dan meja. Memungut beling yang berceceran. Sedangkan Rahmi membantu mengepel lantai.

"Mas Beno emang yang paling kalem diantara kedua temannya. Ramah pula dan suka bercanda. Nggak kayak Mas Gibran yang irit ngomong dan senyum. Kalau Mas Tristan sih masih supel, masih mau nyapa orang meskipun tingkatannya nggak seperti Mas Beno." Ujar Rahmi.

"Untungnya cepat nemu satpam pas lari keluar, kita yang ada di dalam sudah pada ketakutan. Heboh banget. Parah!"

"Masak nggak ada pengunjung cowok sama sekali? Yang bisa bantuin Mas Bedo melerai mereka?"

"Ada lumayan banyak. Tapi kan anak kuliahan semua. Nggak ada yg seusia Mas Gibran dkk, ya mana berani!"

"Coba saja Mas Bara masih ada. Sudah dipites itu anak satu! Ditutup saja, Mbak, sekarang. Besok juga kita libur sehari. Benerin yang kacau."

Kedua karyawannya itu mengangguk patuh.

***

"Beno, mana tuh anak?!"

Pagi harinya, Ara mendatangi kediaman adik iparnya. Seperti biasa ia langsung masuk bangunan yang dijadikan kantor lelaki itu. Bukan manusia yang ingin ia temui, justru orang lain yang ada di dalamnya.

"Eh, Mbak Ara." Sambut Beno kaget, karena lagi-lagi Ara masuk tanpa mengetuk pintu.

"Anak itu mana, Beno? Aku mau bikin perhitungan sama dia!" Ara melangkah mendekati makhluk adam yang tampak sibuk dengan kertas-kertas di kedua tangannya.

"Anak itu? Maksudnya, Mbak?" Tanya Beno, lantas meletakkan kertas-kertasnya di atas meja dan berfokus pada kehadiran Ara.

"Si Gibran. Dimana dia?!"

"Oalah, saya pikir siapa? Gibran laki-laki dewasa loh, Mbak! Bukan anak-anak lagi."

Ara mendengus, sudah tahu sekarang lagi emosi, tapi bocah satu ini malah mengajaknya bercanda.

"Dia lagi ada kerjaan di luar kota, Mbak. Sekitar dua harian. Baru saja loh berangkatnya. Silakan duduk, Mbak Ara."

Ara pun menurut. "Habis berulah semalem terus sekarang dia pergi gitu saja?! Bagus!"

Beno meringis mendapati gerutuan Ara pagi ini. Sikap tak tenang yang dari awal kedatangannya menunjukkan jika Ara tengah emosi. Beno terlihat berusaha meredam kemarahan Ara, tapi memang tidak semudah itu.

"Gibran sudah berpesan sama saya untuk mengurus semua kerusakan yang disebabkan sama kejadian semalam, Mbak. Saya baru saja menghubungi toko furnitur langganan. Nanti bakal diganti yang sama persis."

Ara tertawa sumbang. "Terus, nama baik tokoku yang sudah kalian cemarkan bagaimana? Kejadian semalam bakalan membekas di ingatan pelanggan. Bahkan ada beberapa orang yang sengaja mengambil gambar. Selamanya toko kue yang aku bangun baru sebulan sudah dicap sebagai tempat tongkrongan orang-orang nggak benar kayak kalian!"

Napas Ara terembus pendek-pendek. Emosi yang seharusnya ia keluarkan untuk si pelaku utama justru nyasar ke orang lain. Ekspresi lelaki di depannya semakin tampak kebingungan dan serba salah.

"Saya minta maaf, Mbak. Kejadian semalam benar-benar tidak terduga dan diluar kendali saya. Untuk lain kali tidak saya ulangi lagi kecerobohan ini."

Menarik napas, dan membuangnya pelan. Bukan salah Beno. Namun lelaki ini masuk di kesatuan sahabat terkutuk. Jika Ara tidak mengeluarkan unek-uneknya sekalian, pasti manusia-manusia seperti yang di hadapinya sekarang tak akan pernah paham kehancuran yang dirasakan Ara.

"Mbok ya kalian ini sedikit bersimpati sama perempuan. Apalagi aku ini istrinya Mas Bara. Kalian bisa menghormati Mas Bara, kenapa sama aku nggak? Kok kayak ngeremehin banget gitu. Apa karena aku ini single parent, jadi boleh diperlakukan semena-mena?"

Dalam keterpakuannya Beno menggeleng cepat-cepat, berusaha menyangkal.

Ara merasakan matanya memanas. "Nggak pernah loh sekalipun Gibran itu nunjukin sikap sopannya sama aku. Aku ini kakak iparnya loh. Aku bukannya gila hormat, tapi minimal mbok ya jangan kebangetan banget. Sampai rasanya ngadepin Gibran itu ngebatin aku."

"Mb-Mbak Ara ...."

"Temanmu yang satunya lagi itu. Pernah beberapa kali nelepon, kirim pesan, sudah nggak pernah aku gubris masih saja ngotot. Apa kamu nggak bisa nasihatin dia, Beno, agar menjaga sikapnya dengan kakak ipar sahabatnya sendiri? Cobalah kalau kamu memang orang baik nasihatin mereka. Aku lihat memang kamu beda sendiri ketimbang kedua temanmu itu."

TABU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang