TABU - 21

3.2K 337 6
                                    

"Mbak Ara kenapa nggak bilang sih kalau mau buka toko kue? Kalau Mbak Ara ngabarin aku, siapa tahu aku bisa bantuin igs-in pembukaan toko kue biar semakinb membeludak pengunjungnya."

Ara seperti melihat hantu berwujud paling cantik saat mendapati Dinda Sudrajad tiba-tiba muncul di Lentera Bakery. Dengan gayanya yang ramai seperti biasanya perempuan itu langsung menghampirinya, Ara sempat linglung dibuatnya. Kejadian beberapa jam lalu saat melihat dengan jelas seorang artis terkenal yang ia agung-agungkan sejak lama, yang anggapan para fan adalah makhluk suci tanpa cela, ternyata bisa berbuat hal yang menurut Ara sangat tidak pantas.

Dari kejadian itu Ara membenarkan pernyataan Rahmi jika ia tidak boleh berekspektasi terlalu tinggi pada idolanya. Yang ia idolakan juga cuma manusia biasa yang bisa khilaf. Tapi, apa karena Ara memang terlalu polos? Sekarang banyak berita yang menyuguhkan seorang pelajar hamil diluar nikah bersama pacarnya. Sementara saat Ara menjalin hubungan dengan mantan-mantannya dulu, tidak pernah lebih dari pegangan tangan.

"Mbak Ara, kok malah melamun?"

Lambaian jemari berkutek cantik itu menyentak kesadaran Ara. "Maaf, maaf, efek capek ini, Dinda. Semaleman nggak tidur urus pesanan."

"Mbak, aku itu ngomong, kenapa Mbak Ara nggak ngasih tahu aku kalau mau buka toko kue? Kan aku bisa bantuin promosi di igs-ku."

"Aduuuuh, sungkan dong aku, Dinda."

"Mbak Ara ini kesannya kayak sama siapa aja deh! Berarti cuma aku doang yang anggap Mbak Ara bestie dong? Duh, sedihnya."

"Eh, bukan gitu. Kamu itu artis papan atas loh. Kalau mau pakai artis otomatis harus keluar anggaran ...."

"Ealah, malah pikirin itu!" Dinda memotong kalimat Ara. "Mbak Ara yang cantik dan seksi sekali, aku suka banget sama pantatnya Mbak Ara ih. Hahahaha."

Ara melotot. Bisa-bisanya artis satu ini bicara seperti itu. Tapi benarkan ia masih terlihat cantik dan seksi di mata seorang artis pula?!

"Nggak usah mikir budget, Mbak Ar. Kita ini kan nanti bakalan jadi saudara. Aku bakalan jadi rich auntie-nya Saka. Kue bolennya Mbak Ara juara banget loh. Sumpaaaah. Bentar, aku mau igs-in ya? Ini sudah ada ig-nya belum?"

Ara menggeleng. "Belum aku buatin. Kemarin kepikiran juga mau bikin tapi belum sempat."

"Yaudah kalau gitu langsung aku kasih alamat tokonya aja. Sambil aku tag ig-nya Mbak Ara ya."

Ara mengangguk girang. Beberapa bulan yang lalu betapa sangat bahagianya saat media sosial yang jarang ia pegang itu diikuti kembali oleh idolanya. "Makasih, Dindaaaa, makasih banyak."

Gadis itu meletakkan benda pipihnya di atas meja dan kembali menikmati hidangan kue basah. "Selama ini Mbak Ara sudah baik banget sama aku. Aku bahkan anggap Mbak Ara bestie karena sudah mau nampung semua curahan hatiku tentang Gibran."

"Sudah baikan sama dia?" Ara memancing lirih.

"Ya, dia datengin apartemenku terus minta maaf. Hahahaha, tahu nggak awalannya gara-gara apa?"

Ara menggeleng, tatapannya fokus menyimak.

"Gara-gara aku mangkir dari grand opening cabang ekspedisinya. Dia tahu sendiri bakalan kena denda kalau ngebiarin brand ambassadornya teledor."

Antuasias Ara berubah prihatin saat mendengar cerita dari perempuan ini. Bukankah itu sudah jelas bahkan Dinda hanya dimanfaatkan saja oleh Gibran? Tapi kenapa perempuan sekelas Dinda Sudrajad artis terkenal yang sudah banyak karya tidak bisa meraba maksud tersebut?

Ara juga tidak ingin merusak euforia yang sedang dirasakan perempuan yang duduk di depannya ini. Sebelum kejadian di rumah sakit mungkin Ara masih enggan membuka banyak suara dengan adik iparnya itu. Tapi setelahnya, rasa segan untuk adik iparnya yang urakan itu seakan hilang musnah. Ara akan membuat perhitungan jika lelaki itu berani menyakiti Dinda sang idola.

"Mbak Ara tahu nggak cewek yang datang ke rumah sakit waktu itu?"

"Loh, kok kamu tahu?" Waktu itu Ara tidak menjawab pesan Dinda terkait perempuan lain adik iparnya. Ia hanya ingin mencegah konflik berkepanjangan yang sedang dihadapi oleh pasangan ini. Meskipun sangat tipis sekali respek Ara untuk Gibran, tapi jika sudah menyangkut sang artis idola, maka Ara akan jadi garda terdepan untuk membela.

"Kenapa Mbak Ara nggak balas pesanku waktu itu? Kadang aku mikir loh, Mbak Ara ini beneran idolaku apa bukan sih? Kok justru aku yang sering chat Mbak Ara duluan."

"Bukan bermaksud begituuuu!" Ara buru-buru menjelaskan. "Aku cuman nggak pengin aja hubungan kalian semakin rumit. Terus kan posisi kamu lagi shooting di luar kota. Takutnya kalau aku jujur nanti kamu malah nggak konsen."

"Beneran? Bukan karena Mbak Ara memang sudah males tanggepin curhatan aku?"

Ara menggeleng sambil senyum. "Aku justru senang karena sudah dipercaya menampung isi hati kamu."

"Ya ampuuuun, aku kadang mikir kenapa Mbak Ara nggak jadi artis aja sih? Cantik gini. Seksi pula."

Ara melolot. Banyak kejutan yang dilontarkan Dinda tentang dirinya sore hari ini.

"Selain itu Mbak Ara juga wanita kuat banget. Salut aku sama Mbak Ara. Di usia yang masih sangat muda bisa kuat menghadapi cobaan yang berat loh. Kehilangan suami. Baru ngeh aku kalau Gibran itu mirip banget sama Mas Bara. Beda penampilan doang. Hahahaha."

No! Untuk yang satu itu Ara tidak setuju. Bara tidak boleh dimirip-miripkan dengan adik iparnya yang ugal-ugalan, kurang ajar, dan tidak tahu sopan santun itu.

"Kalau Mas Bara gimana, Mbak? Orangnya cuek-cuek gemes gitu kah?"

Paras Ara seketika berseri-seri saat nama suaminya disebut. Gairahnya untuk menceritakan perjalanan cintanya dengan sang suami menyeruak. "Nggak sama sekali. Kalau sama aku Mas Bara itu perhatian banget, Dinda."

"Ya ampun, beda ya sama adeknya ...."

"Beda banget. Dia itu kalem, nggak pernah neko-neko. Jadi ceritanya, aku dulu kan kerja di Minimarket. Terus Mas Bara jadi pelanggan di situ. Dia lihat aku. Dia tertarik."

"Hiiiih, sweet banget sih, Mbak Araaaa. Bikin iri saja deh."

Ara mengangguk setuju. "Memang Mas Bara itu sweet banget. Dia yang seorang bankir tertarik sama perempuan desa. Kuliah pun nggak."

"Itu namanya cinta, Mbak Ar."

"Sebenarnya berulang kali Mas Bara nyuruh aku lanjutin kuliah. Tapi aku sudah bahagia banget jadi istrinya. Aku pengin mengabdikan hidup aku sama dia. Terus nggak lama setelah nikah alhamdulillah aku langsung hamil."

"Iya, Mbak. Kalau bukan karena Mamaku yang maksa aku juga mending kerja ketimbang kuliah."

"Nah, hahahaha, aku mikirnya juga gitu. Waktu itu kan aku sudah nggak ada orang tua. Dan karena sudah jadi seorang istri juga."

"Selisih berapa tahun sih, Mbak Ara dengan Mas Bara?" Tanya Dinda tampak nyaman sekali membahas topik ini.

"Sembilan tahun." Jawab Ara.

"Lah, Mbak Ara seumuran sama Gibran?"

"Iya. Sama-sama kelahitan tahun sembilan puluh."

"Ya ampun, awet muda banget Mbak Ara. Keren. Memang ada kok orang yang dikasih kesempurnaan tanpa perlu susah-susah melakukan operasi plastik."

Baiklah, Ara mulai terbiasa dengan penilaian Dinda yang terang-terangan mengenai fisiknya.

TABU (TAMAT)Where stories live. Discover now