PROLOG

11.3K 660 14
                                    

"Perasaan AC nyala, kenapa lo keringetan gini?"

Belum sempat Gibran menanggapi, seseorang yang baru saja datang di kediamannya ini kembali berseru. "Eh, Si Anjing! Celana lo basah, lo abis col ...."

"Berisik lo!" potong Gibran seraya beranjak dari tempat duduknya dan melangkah ke kamar mandi. Tak lama lelaki itu keluar hanya mengenakan bokser dengan rambut basah. Gibran segera mengambil setelan polonya di dalam lemari dan memakainya cepat.

"Ngenes banget sih lo! Ada Dinda kenapa lo anggurin? Malah main sendiri."

"Bacot!"

"Hahahaha."

Gibran menjatuhkan tubuh di sofa sembari menyulut rokok dan menghisapnya pelan. "Ada yang pengin gue tanyain ke lo." Tuturnya setelah menghembuskan satu kali kepulan asap.

Lelaki yang bernama Beno itu mengernyit. Pandangannya langsung berfokus pada Gibran sepenuhnya.

"Gue cuma tanya pendapat, jangan mikir yang nggak-nggak dulu." Tambah Gibran.

Beno memutar bola mata bosan sembari menjangkau korek api di atas meja.

"Menurut lo istrinya Bara itu gimana?"

Beno mengernyit, menjentikkan abu rokoknya di atas asbak. Sementara tatapannya tetap tertuju pada lelaki di depannya. "Maksud lo istrinya Bara? Mbak Ara? Baik. Kenapa lo tanya gitu?"

"Bukan itu, maksud gue, duh ... kayaknya ada yang salah sama gue." Gibran menggeram. Frustasi kembali melanda.

"Kenapa sih? Konslet lo?" cecar Beno penasaran.

"Selain baik? Kalau baik ya jelas dia baik!" Gibran merasa kesal sendiri, saat mati-matian ia menjaga gengsi untuk pertanyaannya malah dianggap main-main oleh lawan bicaranya.

"Ya, Mbak Ara cantik." Mulai Beno sambil menerawang membayangkan sosok yang disebutkan namanya. "Kalau kata Tristan yang mesum, pinggulnya Mbak Ara itu seksi. Si Tristan kan emang suka lirik-lirik."

Gibran malah semakin gusar setelah mendengar cara Beno menggambarkan sosok sang kakak ipar. Lelaki itu segera menarik diri dan menekan rokoknya pada asbak, lalu menatap Beno tajam. "Gila, Ben ... nggak ada angin, nggak ada hujan, semalem gue mimpi main sama dia."

"Apa?!" teriak Beno dengan mata membulat. "Main sama siapa?"

"Lo denger, Njing!" sentak Gibran kembali menyandarkan punggung di sofa. Kepalanya menengadah, menatapi langit-langit kamar. "Dan mimpi itu pengaruhnya dahsyat banget. Tadi siang gue ke rumahnya mau nganterin Saka latihan basket. Gue lihat dia pake daster. Daster, Man! Nggak ada seksi-seksinya kan? Tapi bisa bikin badan gue panas dingin."

Beno melotot, jijik. "Lo pernah flirting sama kakak ipar lo?"

"Kagak, Anjing!" Gibran yang merasa tertuduh seketika melempar bantalan sofa pada sang sahabat sialan tersebut. "Nggak tahu aja kenapa tiba-tiba gue mimpi kayak gitu. Selama ini kita nggak pernah ngobrol. Tiap kali gue ke rumahnya, habis anter Saka, gue langsung pulang. Ngelirik dia aja gue nggak pernah. Lagian, gue nggak segila itu, dia istrinya Bara, abang gue sendiri."

Gibran menegakkan tubuh dan menatap Beno tak berdaya. "Tapi setelah semalem, jantung gue ini ...." Tunjuknya pada alat vital di bawah dada. "Rasanya akan copot tiap berhadapan sama dia. Celana gue sesak, Njing! Nggak pernah gue kayak gini sebelumnya. Apa yang harus gue lakuin? Ini gila kan?"

Beno semakin menatapnya jijik. "Kagak percaya gue! Ya kali lo bisa terangsang kalau selama ini dia nggak jadi objek fantasi lo?!"

"Demi Tuhan nggak pernah! Gue bisa milih cewek manapun yang gue mau. Tapi sekali aja gue nggak pernah kepikiran nidurin kakak ipar gue sendiri."

"Itu buktinya sampe kebawa mimpi."

Gibran mengumpat. Berkeluh kesah dengan Beno sama sekali tak membantu.

TABU (TAMAT)Where stories live. Discover now