TABU - 8

3.2K 387 7
                                    

"Yeah, goooool!"

"Goooool!"

"Goooool!

Terdengar dari dapur suara Saka yang meneriakkan kemenangan kubunya. Dalam menonton pertandingan sepak bola kali ini Saka tidak sendiri, ada seseorang yang Ara tidak sangka-sangka akan mau menemani bocah itu.

Sesekali Ara juga menangkap suara khas lelaki dewasa di dalam ruang keluarga itu meski suara Saka lebih mendominasi. Suara itu hanya menanggapi respon Saka atas apa yang mereka berdua tonton.

Ara sedang menyiapkan makan malam di sela-sela aktivitasnya mengadon kue. Tiga orang yang menjadi temannya membuat pesanan malam ini tak berhenti membicarakan keberadaan Gibran yang tidak biasa di rumahnya.

"Tumben loh Mas Gibran betah di sini, biasanya cuma mampir doang nganterin Saka terus pulang." Ujar Rahmi yang selalu aktif mengomentari apapun yang menurutnya janggal.

Ara juga berpikir begitu. Tidak biasanya Gibran betah berlama-lama berada di rumahnya, nyaris dua jam. Sekarang bahkan sudah masuk jam makan malam. Jika adik iparnya itu belum angkat kaki juga dari rumahnya, mau tidak mau Ara harus mengundangnya untuk makan malam bersama. Tapi apakah lelaki sombong dan arogan seperti dia akan mau menerima tawaran tersebut? Secara, selama Bara masa ada saja, hanya hitungan jari adik iparnya itu mau bergabung untuk makan bersama di rumahnya. Itupun atas tawaran Bara sendiri, dan bukan sebaliknya.

"Mungkin Mas Gibran mau makan malam di sini, Bu." Tambah salah satu pekerjanya yang lain.

"Iya, ini aku masakin agak banyak menunya. Siapa tahu dia beneran mau makan di sini. Dulu waktu Mas Bara masih ada dia lebih sering nolak. Aku nggak yakin aja dia mau nerima tawaran makan di sini."

"Eh, Ibu tahu nggak sih, kemarin Si Dinda diundang di podcast terus dia nangis-nangis? Potongan videonya pas nangis itu viral di tiktok loh. Terus gambar mobil Mas Gibran yang masuk parkiran hotel ada di akun lambe-lambe. Netizen pada ngehubung-hubungi nangisnya Dinda sama postingan akun gosip. Insagramnya Mas Gibran diserbu bala-bala Dinda. Gila, fansnya ngeri-ngeri."

Itu kejadian sudah dari dua hari yang lalu. Ara bahkan mendengar sendiri kronologis ceritanya dari yang bersangkutan. Jadi Ara tidak kaget. Sementara paginya si Dinda menangis darah, siangnya Ara malah melihat Gibran bermain bulu tangkis dengan Saka di pekarangan belakang rumahnya. Beberapa hari ini adik iparnya itu memang rutin bertandang ke kediamannya.

Gelagat lelaki itu seperti tidak memiliki beban masalah, bahkan sempat Ara menangkap tawa ringannya saat Saka melontarkan guyonan. Huh, dasar laki-laki tidak berperasaan!

"Kamu kurang kerjaan banget sih, Rahmi, mantengin akun gosip. Aku kalau udah kelar kerja, nyampe rumah mending dipakai buat urus rumah dan tidur. Nggak ada waktu aku main sosmed." Perempuan empat puluh tahunan yang tengah memasukkan adonan ke cetakan itu menimpali informasi yang dilontarkan Rahmi.

"Main sosmed itu hiburan, Lin. Aku udah kerja seharian. Nyampe rumah aku juga masih sempat bersih-bersih kok. Setelah itu baru mandi terus nonton tiktok sambil rebahan. Kegiatanku di rumah memang nggak banyak. Soal masak kan sudah diurus suamiku."

"Enak kamu punya suami pengertian, bisa diajak kerjasama."

"Ya tapi kan suamimu kerja di luar juga. Kalau suamiku kan kerjanya di rumah."

Ara menyimak obrolan para pekerjanya tanpa berniat ikut gabung.

Setengah jam berlalu akhirnya masakan siap dihidangkan. Kali ini Ara memiliki enam menu masakan pada makan malamnya. Sayur lodeh nangka, capcay, tumis kangkung, ikan gurami bakar, dendeng sapi, ayam goreng serta dayang-dayangnya berupa tiga macam kerupuk, rasa bawang, udang dan tengiri. Ara juga menghidangkan dua dessert hasil olahannya sendiri yaitu puding durian dan cake tape.

Sepertinya acara sepak bola yang mereka tonton sudah selesai, tampak kedua lelaki itu sekarang tengah bermain game. Ara mendekat dan memberitahu jika makan malam sudah siap.

"Saka, makan malam sudah siap. Ajak Om Gibran makan sekalian." Jika Saka yang meminta, adik iparnya itu pasti tidak akan menolak. Ara memang sudah merencanakan ide itu.

"Makan dulu yuk, Om?!"

Terdengar lelaki itu mengiyakan ajakan Saka. Ara buru-buru menuangkan nasi di dua piring lalu ia letakkan di masing-masing pemiliknya. "Lauknya ambil sendiri ya?" katanya seraya membukakan satu persatu penutup hidangan di depannya.

Suasananya jujur sedikit membuat Ara tak nyaman. Adik iparnya yang tidak banyak bicara itu benar-benar tidak berniat basa-basi sama sekali. Ara juga tak perlu repot-repot mengeluarkan pertanyaan atau pernyataan untuk lelaki itu. Harusnya Gibran bisa sedikit menghargai hasil masakannya, seperti yang dulu Bara sering lakukan. Suaminya tak akan berhenti memuji sembari menikmati semua hidangan yang sudah Ara sediakan.

"Mama nggak makan sekalian?" Suara Saka akhirnya memecah sunyi di ruang makan sederhana ini.

"Mama kan nggak pernah makan malam. Kamu tahu itu."

"Badan Mama kan nggak gendut, kenapa diet-diet segala sih?"

"Mama nggak diet. Pekerjaan Mama itu kan bikin kue, Saka. Seringnya icip-icip terus, kalau Mama nggak ngurangin makan, bisa lebar cepet badan Mama."

Ara melirik lelaki yang sedari tadi fokus dengan piringnya. Benar-benar tidak terpengaruh dan berniat gabung pada topik obrolannya dengan Saka.

Akhirnya Ara memilih enyah dari hadapan kedua lelaki itu. Supaya mereka juga bisa leluasa untuk mengobrol.

"Bikin pie susu vla buah nggak mudah ya, Bu." Rahmi langsung berseloroh begitu Ara muncul di dapur.

"Namanya juga lagi belajar. Kalau bikinnya yang gampang-gampang semua nggak ada tantangannya, Mbak."

"Hehehehe, masalahnya pesanannya 500 biji, dan besok pagi harus sudah diantar. Belum lagi kue yang lain."

"Ya, memang untuk malam ini kita bakal begadang, Mbak. Ini aku coba cari tenaga tambahan. Aku coba telepon Siska ya, siapa tahu suaminya lagi jaga malam jadi dia bisa bantuin kita."

"Nggak apa-apa, Bu. Saya tetap semangat kok."

"Harus semangat dong!" Ara menyambar. "Kalian aja yang punya suami semangat apalagi aku!"

TABU (TAMAT)Where stories live. Discover now