TABU - 17

3.2K 311 12
                                    

"Kenapa dijual, Dek?"

Ara membawa nampan berisi secangkir kopi dan camilan, diletakkan di atas meja kecil yang tersedia di garasi rumahnya. Seseorang tengah mengecek kondisi motor suaminya yang rencananya akan Ara jual agar uangnya bisa digunakan untuk sewa ruko.

Melepas barang kenang-kenangan dari lelaki yang sangat berarti di hidupnya pasti tidak mudah. Maka dari itu, ia berniat akan membeli kembali Harley Davidson itu saat sudah kembali modal.

"Diminum dulu kopinya, Mas." Ujar Ara.

Lelaki yang usianya hampir separuh abad itu mengangguk, duduk di kursi dan segera menyuput kopi hitamnya. "Kenapa dijual, Dek?" tanya lelaki itu lagi sembari tatapannya tak lepas dari kendaraan mewah tersebut. "Kalau dijual di aku turunnya bakal banyak banget lo, Dek. Harus nyari untung untuk dijual lagi soalnya."

"Penginnya saya jual terus nanti saya beli lagi, Mas. Saya lagi butuh uang untuk sewa ruko. Untuk usaha saya berjualan kue."

"Kalau gitu coba tawarin saja ke Gibran. Adik ipar kamu itu kan doyan koleksi. Bisa laku mahal. Dia nggak bakalan mikir untung ruginya."

Ara menahan untuk tidak mendengus dan memutar bola mata. Gibran lagi, Gibran lagi! Seperti tidak ada manusia lain saja untuk disebutkan namanya! Jika orang tidak mengenal pribadi adik iparnya itu, semua pasti menganggap bak malaikat.

"Dijual di Mas Beni saja lah! Memang laku berapa sih? Turunnya banyak banget ya?" tanya Ara beruntun.

Lelaki di depannya tampak suka sekali dengan hidangan kue nastar yang tersedia di hadapannya. Sedari tadi tak berhenti mengunyah. "Ya, aku harus ambil untung juga dong. Ini kan bakal aku jual lagi, Dek."

"Jangan dijual, Mas. Soalnya nanti bakalan saya beli lagi. Saya itu sayang banget sama motornya. Ini peninggalan suami kan, Mas."

"Ya nggak bisa, Dek. Kalau sudah aku beli ya bakalan jadi dagangan. Uangku kan muter terus."

Ara merengut seketika. "Yah, terus gimana dong? Nggak bisa berarti ya, Mas?"

"Ditawarin ke orang yang butuh. Coba ke Gibran saja. Malah enak ke saudara sendiri toh? Transaksinya satset nggak pakai lama, karena sebelumnya sudah sama-sama tahu kondisi kendaraannya."

Yang jadi masalahnya, Ara tidak ingin melibatkan lelaki itu ke dalam urusannya lagi. "Selain Gibran, Mas? Kalau Mas Beni punya kenalan gitu?"

"Siapa ya?" Lelaki itu tampak berpikir sejenak. "Ada sih, temanku rumahnya Karawang. Tapi nanti kamu yang malah repot, Dek. Kan rencananya ini motor mau kamu ambil alih lagi."

"Repotnya kenapa? Kan Jakarta ke Kawarawang nggak ada satu setengah jam perjalanan, Mas. Gampang, nanti saya akan menggunakan sopir untuk menemani saya."

"Masalahnya ini orang nggak beres. Jualnya ke dia kamu gampang aja, Dek. Tapi ngedapetinnya lagi itu loh yang susah. Pasti dia nanti nyari kesempatan buat jual mahal. Karena kamu butuh. Sudah benar di Gibran saja. Gibran sudah kaya. Nggak akan mata duitan. Apalagi sama kakak ipar sendiri."

Hadeeeeh, ke situ lagi, ke situ lagi! Semua tikungan seakan berpihak kepada adik iparnya yang kurang ajar, mesum, arogan!

Ara menghembuskan napas pelan. Berbicara soal manusia satu itu Ara seperti kembali diingatkan tentang pertikaian yang terjadi diantara mereka berdua. Dua minggu sudah berlalu, dan hubungan keduanya belum juga mencair. Beberapa kali lelaki itu bertandang ke rumahnya, hanya sejenak menurunkan Saka sepulang latihan. Tidak berniat masuk ke dalam rumah seperti minggu-minggu sebelumnya.

"Selain itu, Mas? Barangkali Mas Beni ada kenalan lagi. Kan Mas sudah lama menggeluti ginian."

"Hem, ada sih, tapi orang Jawa. Kamu malah tambah repot, Dek. Jauh soalnya."

TABU (TAMAT)Where stories live. Discover now