TABU - 16

3.4K 322 5
                                    

"Bu, ada Mas Gibran di ruang tamu."

Informasi dari ARTnya membuat Ara langsung waspada. Jujur sampai detik ini ia belum sanggup bertemu adik iparnya yang kurang ajar itu.

Beberapa hari ini Ara belajar untuk tetap waras. Harus lebih mengedepankan logika daripada perasaannya. Tetap tenang saat menghadapi manusia yang pernah melecehkanmu tentu tidak mudah. Sehingga Ara memutuskan menghindari lelaki itu untuk sementara waktu.

"Bilang saja kalau Saka sudah berangkat sendiri, Mbak." Ara mencoba berkeras. Menjadikan Saka sebagai alasan untuk tidak menemui lelaki itu.

"Katanya sih mau ketemu Ibu, bukan Saka."

Aduh! Ara menyesal karena terlalu menyepelekan musibah yang baru saja dialami. Kelakuan Gibran yang lancang mencium istri dari kakak kandungnya benar-benar fatal. Terbilang sudah masuk dalam undang-undang pelecehan seksual. Tindakan itu jelas bisa dikenakan pasal. Seharusnya Ara tidak lagi mentolerir dengan dalih 'masih saudara' dan segera melaporkan tindakan tidak terpuji yang dilakukan adik iparnya itu ke pihak berwajib, agar bisa menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Seharusnya lelaki itu sekarang berada di penjara, bukannya malah bebas mendatangi kediamannya seperti yang dilakukan sekarang.

Ara menarik napas dalam dan membuangnya pelan. Langkahnya terayun mantap menuju ruang tamu.

Lelaki itu langsung menegakkan badannya begitu Ara muncul. Benar-benar terlihat sedang menunggunya. Tak gentar Ara semakin mendekat sembari melempar tatapan tajam. Ara segera duduk di sofa yang kosong. Tatapan keduanya terkunci untuk beberapa saat.

"Mau ngapain kamu ke sini?!" Ternyata Ara benar-benar tidak bisa mengendalikan emosinya setelah berhadapan langsung.

Lelaki itu diam. Masih menatapnya lurus-lurus, begitu juga sebaliknya.

"Masih berani kamu datang ke sini setelah apa yang kamu lakukan kemarin?!"

Baru kali ini adik iparnya itu berdeham dan mengalihkan pandangannya sejenak sebelum mengeluarkan kalimat pelan. "Aku minta maaf. Aku nggak bermaksud. Aku siap mempertanggungjawabkan kelakuanku."

Ara mendengus. Lelaki ini sejenis buaya yang sudah terlatih menaklukkan mangsanya. "Sayangnya aku masih punya hati. Kalau bukan karena kamu adiknya Mas Bara, sekarang kamu pasti sudah dipenjara. Bahaya kalau orang seperti kamu dibiarin berkeliaran. Nasib gadis-gadis di dunia ini pasti nggak bakalan aman."

Lagi, lelaki itu diam. Hanya menatap Ara tanpa kedip.

"Selama ini aku paham banget gaya bergaul kamu yang terlalu bebas. Aku sangat tahu kelakuan adik suamiku yang bobrok, tukang main perempuan. Berkali-kali Mas Bara negur kamu. Tapi apakah pernah aku ikut menghakimi? Mau kamu jungkir balik, aku nggak pernah ikut campur kan? Karena aku pikir kamu masih perhatian sama Saka. Kamu masih punya sisi baik."

Kalimat menyakitkan itu keluar begitu saja tanpa bisa Ara cegah. Ara menggambarkan sosok di depannya layaknya predator yang harus dijauhi. Terserah bila setelah ini lelaki itu akan tersinggung. Yang penting Ara sudah mengeluarkan unek-uneknya yang terpendam.

"Sudahlah. Percuma kamu datang ke sini. Lebih baik kamu pulang saja! Aku masih emosi banget lihat kamu."

Saat lelaki itu akan bangkit dari tempat duduknya, seorang perempuan datang mengetuk pintu rumah Ara.

"Eh, ada Mas Gibran di sini." Perempuan yang menjadi perantara dalam memilih ruko untuk toko kuenya itu malah lebih dulu menyapa lelaki di depannya. "Bantuin Mbak Ara napa, Mas, nyumbang kakak ipar gitu. Mbak Ara kan mau buka toko kue di rukonya Ko Erik. Tapi Ko Erik ngasihnya dua tahun."

Ara melotot. Ini perempuan benar-benar lancang sekali. "Kamu ngomong apa sih, San! Gibran, kamu nggak usah dengerin Santi. Mending kamu pulang saja."

"Eh, Mbak Ar. Mumpung Mas Gibran di sini ngomong sekalian. Ko Erik nggak bisa kalau satu tahun, Mbak."

"Ngomong apaan sih? Ini urusanku jangan bawa-bawa orang lain kamu ini, San! Sudah, Gibran, mending kamu pulang!"

Untung saja adik iparnya itu menurut. Kini tinggallah Ara dan perempuan cablak ini berada di ruang tamu.

"San, lancang banget loh kamu. Ngapain ngomong kayak gitu ke Gibran?"

"Ya ampun, Mbak Ara ... santai saja kali! Kan sama adik ipar sendiri. Kayak gitu itu biasa."

Biasa gundulmu! Tidak tahu saja jika hubungannya dengan manusia satu itu sedang bersitegang.

"Jangan diulangi lagi lah. Ini urusanku, San. Jangan bawa-bawa Gibran. Aku nggak suka."

"Iya, iya, Mbak Ar, soriiiii."

Keduanya lantas sama-sama duduk berdampingan. Ara membuka toples di atas meja yang sempat dicampakkan saat Gibran yang menjadi tamunya. Dan mengambil botol minuman kemasan ditaruh di hadapan tamunya.

"Enak banget sih nastarnya, Mbak. Bisa lembut gitu. Langsung ketelen loh. Selai nanas juga kerasa banget enaknya. Nanti bakalan diisi kue kering juga dong tokonya?"

"Jadi bisa setahun nggak? Kalau nggak ya berarti aku cari tempat lain."

"Mbak Ara sih nggak mau minta tolong Gibran. Kalau mau dan nggak enak biar aku deh yang ngomong ke orangnya. Gimana?"

Ara mendengus. "Nggak, San. Kalau kamu ngotot mending kita nggak usah ada kerja sama."

"Eh, eh, eh, iya deeeeh. Kalau aku punya saudara kaya raya aku manfaatin, Mbak."

"Itu kamu! Aku nggak gitu!"

"Iya, iya, soriiiii. Ngeri ih kalau Mbak Ara ngambek. Duit ratusan juta bisa ilang. Hehehehe."

"Jadi gimana?" Ara mengembalikan topik tujuan perempuan ini bertandang ke rumahnya.

"Ya itu tadi. Ko Erik nggak mau."

Ara mencoba berpikir keras. Sejujurnya ia ingin mengembangkan sayap usahanya. Tapi modal untuk menyewa ruko saja belum terpenuhi. Bisa saja jika Ara nekat, suaminya memiliki motor mewah Harley Davidson yang sudah tidak pernah dipakai setelah suaminya meninggal. Jika dijual nilainya bisa hampir satu miliyar. Tapi kendaraan itu merupakan kesayangan suaminya, Ara berencana menjadikan benda itu kenang-kenangan, dan bukan untuk dijual.

Tapi apa boleh buat saat ia sedang membutuhkan dana seperti sekarang? Siapa tahu nanti Ara bisa membelinya kembali motor itu saat sudah kembali modal. Dulu kendaraan itu dibeli dari teman dekat suaminya. Pasti akan mudah mendapatkannya kembali.

"Yaudah coba aku usahain ya?"

"Serius, Mbak Ar?" Perempuan di depannya langsung berbinar. "Tadi ada yang nanyain tapi belum aku jawab. Aku utamain Mbak Ara banget. Itu ruko bawa hoki banget, aku nggak bohong, Mbak."

"Iya. Aku percaya kok. Makanya aku usahain besok buat dananya ya. Doain lancar."

"Aku tahu kok pasti Mbak Ara ada duwit. Kendaraan banyak. Mobil ada dua. Mobil mewah semua. Suami Mbak Ara juga punya Harley kan? Siapa sekarang yang pakai, Mbak?"

"Nggak ada, San. Makanya itu, apa dijual aja ya?"

"Serius, Mbak? Nggak sayang? Tapi, ya nggak kepakai sayang juga sih kalau nggak dimanfaatin ya?"

"Iya. Nanti kalau sudah kembali modal kan bisa aku beli lagi. Itu motor belinya di temannya Mas Bara."

Santi mengangguk setuju.

TABU (TAMAT)Where stories live. Discover now