TABU - 2

4.2K 461 22
                                    

Senyum itu terlihat sangat lepas setelah nyaris tiga tahun lamanya direnggut paksa oleh takdir. Sepanjang aktifitasnya kali ini dalam membuat pesanan kue Ara tak berhenti bersenandung lirih. Melantunkan lirik bahasa kalbu dari diva Titi Dwi Jayanti.

Kemarin Ara mendapat surat dari sekolah Saka berisi pemberitahuan bahwa putra semata wayangnya itu terpilih untuk mewakili lomba bulu tangkis di Malaysia. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menjeritkan kalimat syukur berkali-kali.

Rasa bangga pada sang buah hati terasa menguasai benak Ara. Tidak sia-sia selama ini ia membesarkan Saka seorang diri. Jatuh bangun dan sangat tertatih. Buah hatinya bisa menjadi anak yang berprestasi dan pasti ayahnya akan sangat bangga di surga sana. Setiap suka pasti ada duka, tanpa terasa pipi Ara basah. Demi Tuhan, Ara sangat merindukan suaminya. Coba saja suaminya masih ada pasti akan dengan senang hati memboyong semua anggota keluarganya untuk menjadi supporter Saka di perlombaan nanti.

Sepertinya Ara harus segera menemui Gibran untuk membicarakan perihal lomba yang akan putranya ikuti pekan depan. Mengingat adik iparnya itu yang selalu mendampingi Saka dalam menyalurkan bakatnya. Di balik sifatnya yang tidak banyak bicara dan sedikit arogan, tapi Gibran sangat menyayangi Saka. Lelaki itu bahkan jauh lebih luwes pada Saka setelah kakaknya meninggal. Gibran seolah memiliki tanggung jawab atas diri Saka.

"Mbak Rahmi, aku mau keluar bentar ya. Mau ngomongin soal Saka sama Gibran. Bentar aja kok."

Partnernya dalam membuat pesanan kue itu mengangguk. "Iya, Bu. Lama juga nggak apa-apa. Serahkan semuanya sama kita-kita. Hehehehe."

Ara melepas celemeknya, lalu membasuh muka di wastafel. Dipandangi wajahnya di cermin. Sebenarnya masih terlihat cantik, tapi kesan kucel itu tidak bisa ditampik. Ara lupa sudah berapa lama ia tidak bersantai di gerai kecantikan melakukan serangkaian treatment wajah. Merasakan pijatan di seluruh tubuhnya yang dapat membuat matanya mudah terpejam.

Ara menggeleng, ini bukan saatnya meratap. Ia harus ingat masih ada hal penting yang perlu dipikirkan daripada sekedar memikirkan komedo yang menumpuk di hidungnya.

Rumah Gibran hanya berjarak 100 meter dari kediamannya. Seperti biasa tempat ini selalu ramai. Banyak orang keluar masuk, entah itu para pekerjanya maupun pengunjung yang ingin mengirim paket. Sudah menjadi rahasia umum jika adik iparnya ini merupakan seorang pengusaha sukses di usianya yang terbilang muda. Dia pemilik salah satu perusahaan ekspedisi yang paling dikenal dan sering di gunakan di Indonesia.

Ara memarkir motor maticnya di tempat parkir yang terletak di halaman rumah sebelah kanan di dekat pos satpam.

Tempat ini dulunya merupakan milik mertuanya sebelum segala isinya dirubah total oleh Gibran menjadi bangunan yang jauh lebih masa kini dan megah. Semenjak lelaki itu semakin sukses, Gibran memperluas tempat ini dengan membeli banyak pekarangan milik para tetangganya.

Ara masih harus berjalan melewati bangunan yang digunakan untuk kantor, lalu gudang, sesekali ia mengangguk saat ada yang ia kenali dari banyaknya orang di tempat ini. Ara masih harus melewati garasi yang berada tepat di depan rumah, dan kini ia telah sampai di teras.

"Nyari Pak Gibran, Bu?" Seorang ART yang tampak sedang mengepel lantai segera mendekatinya. "Bapak ada di kantor, Bu."

Ara mendesah, tadi ia sudah melewati bangunan yang disebut kantor, tapi Ara tidak tahu jika Gibran berada di sana.

"Eh, maaf udah ngagetin." Salah Ara sendiri saat masuk tadi ia lupa mengetuk pintu, membuat laki-laki dengan jarak beberapa meter darinya kaget dengan kemunculan Ara. Lelaki itu mengambil beberapa lembar kertas yang terjatuh lalu diletakkan di atas meja.

Ara berdiri kikuk. Dari sejak pertama kenal, adik iparnya ini memang tidak terlalu menyukainya. Nyaris tidak pernah lelaki ini menegurnya lebih dulu. Padahal status Ara sudah 10 tahun menjadi istri kakaknya. Gibran selama ini terkesan menjaga jarak. Baiklah, Ara bukan perempuan yang gampang tersinggung, ia sadar dan sangat tahu diri bahwa ia bukan ciri-ciri perempuan yang setiap keluar rumah harus mewarnai bibirnya dengan lipstik. Mungkin itu salah satu yang tidak Gibran sukai darinya. Gibran kecewa dengan pilihan kakaknya yang seorang bankir namun seleranya gadis desa, kumel, tanpa gelar yang jelas pula.

Hampir lima menit Ara diabaikan. Lelaki itu masih saja sibuk menekuri kertas-kertas. Ara akhirnya memutuskan untuk duduk di sofa tanpa dipersilakan terlebih dahulu oleh pemiliknya

"Gibran, maaf ganggu waktu kamu bentar aja. Ada yang mau Mbak omongin." Meskipun seumuran, tapi di sini posisi Ara adalah istri Bara, kakaknya Gibran. Jadi sudah semestinya Gibran memanggilnya dengan embel-embel yang baru saja Ara sebutkan.

Lelaki itu masih belum merespon. Sikap Gibran yang seperti inilah benar-benar sangat menguji kesabarannya. Jika bukan karena Saka, tidak akan sudi Ara terlibat komunikasi dengan adik iparnya yang menyebalkan ini. Terkadang Ara heran, bagaimana bisa antara Bara dan Gibran memiliki sifat yang bertolak belakang, sementara keduanya adalah saudara kandung?

"Kemarin Mbak dapat surat dari sekolahnya Saka. Saka terpilih lomba ngewakilin sekolah. Minggu depan. Di hari yang sama dengan Mbak nerima pesanan kue buat acara tabligh akbar di alun-alun."

Ara langsung mengutarakan niatnya menyambangi tempat ini. Meski fokus Gibran tidak secara langsung terarah padanya, tapi Ara yakin telinga lelaki itu masih sehat untuk mendengarkan. Huh, seharusnya tadi Ara mengganti pakaiannya terlebih dahulu, dan bukannya terus mengenakan daster yang umurnya hampir menyamai Saka. Ara yakin, Gibran pasti jijik melihat penampilannya sekarang. Mengingat lelaki ini tipikal metroseksual, dan sangat menjaga penampilan. Gadis-gadis yang mengelilinginya saja sekelas Dinda Sudrajad, artis papan atas yang sedang naik daun.

"Kira-kira minggu depan kamu sibuk nggak? Bisa menemani Saka nggak?"

Kali ini lelaki itu menjawab, meski tetap tidak berniat menatapnya. "Iya. Biar aku yang urus."

Kalimat singkat itu tak urung membuat Ara lega. Satu masalah selesai, dan seburuk apapun adik iparnya ini, Ara tetap harus berterima kasih. "Makasih banyak, Gibran. Maaf Mbak udah ngerepotin banget. Kalau gitu Mbak pulang dulu ya. Assalamualaikum."

TABU (TAMAT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora