TABU - 10

3.6K 358 8
                                    

Gibran memutuskan untuk menghentikan kendaraannya di salah satu warung prasmanan yang menjual nasi pecel beserta aneka masakan rumahan. Sebenarnya Ara kurang setuju, badannya sudah bau asem karena semalaman bekerja, dan kepalanya juga terasa berat oleh kantuk. Jika ia masih harus mampir-mampir seperti ini, maka harapan untuk merebahkan diri di kasur akan semakin lama tertunta.

Dan Ara juga tidak terbiasa sarapan pagi buta seperti ini. Ia memang rutin memasak untuk Saka dan menemani putranya sarapan sebelum berangkat sekolah. Biasanya selera makan Ara akan bangkit setelah ia membereskan pekerjaan rumah dan merasa perlu amunisi untuk tubuhnya.

"Mbak temani kamu saja ya, Gibran. Mbak nggak perlu pesan juga. Soalnya Mbak nggak terbiasa sarapan."

Lelaki itu yang sekarang sedang memegang piring dan siap untuk memilih menu di depannya menoleh pada Ara. Terlihat sekali dari ekspresi wajahnya yang tidak setuju dengan keputusan Ara yang menolak sarapan.

Ara mencoba membalas tatapan itu dengan senyum kalem, tempramen sekali bocah ini!

"Mending kamu duduk, biar Mbak ambilin makanannya. Kamu pengin makan sama apa?"

Lelaki itu tidak keberatan saat Ara mengambil alih piring dari tangannya dan mulai menuangkan nasi dan beberapa lauk sesuai pilihan Ara sendiri. Bocah itu tadi bilang terserah. Dulu Bara suka sekali dengan udang, mereka saudara kandung, pasti yang jadi favoritnya tidak akan jauh berbeda.

Ara meletakkan piring yang sudah diisi lengkap di hadapan adik iparnya. Ia masih harus berbalik untuk mengambil dua gelas teh, satu untuk lelaki itu dan satunya lagi untuk dirinya sendiri.

Lelaki itu bahkan belum menyentuh makanannya sama sekali. Ara sempat berpikir salah menu.

"Kenapa nggak dimakan, Gibran? Mbak salah ambil menu ya? Kamu tadi bilang terserah." Mungkin kesabaran Ara untuk menghadapi Gibran sudah menipis.

Gibran baru mulai menyuap saat Ara sudah duduk dan menikmati teh hangatnya. Ara melempar tatapannya ke keramaian pengunjung. Ternyata memang orang Indonesia lebih suka mengkonsumi makanan berat di pagi hari ketimbang roti dan susu. Ini kali pertama Ara bertandang ke warung yang menyediakan masakan prasmanan tradisional dengan tampilan rumah makan yang modern.

Ara kaget saat ada sendok berisi nasi dan lauk berada tepat di depan wajahnya. Ara reflek mundur dan menatap adik iparnya. Lelaki itu bukannya menurunkan tangan tapi justru semakin mendorong sendoknya ke mulut Ara. Mau tidak mau Ara menerima suapan itu. Daripada semakin malu karena sudah menjadi tontonan pengunjung lain.

"Gibran apaan sih? Malu dilihatin orang-orang tuh!" Gerutunya sambil menatap kesal paras adik iparnya yang datar tanpa dosa.

Lagian kenapa jadi begini sih? Bukannya selama ini mereka tidak dekat? Kenapa sekalinya makan bareng adik iparnya ini langsung mengajaknya suap-suapan? Yang bahkan tidak pernah ia lakukan dengan suaminya sendiri.

Ara langsung terpekur dengan peristiwa dadakan yang baru saja dia alami. Saat motornya bocor dan membutuhkan bantuan, tiba-tiba Gibran muncul. Tingkah Gibran juga terlihat normal dan perhatian meski sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang adik pada kakak iparnya.

Bukannya selama ini Gibran selalu menjaga jarak dengannya? Selalu tidak banyak omong dan sering mengabaikannya. Tapi kenapa tiba-tiba mengajaknya sarapan bersama dan yang baru saja terjadi, benar-benar membuat Ara terdiam lama. Seseorang melakukan hal seperti ini pasti karena sebelumnya mereka sudah dekat. Tapi antara dirinya dan Gibran, meski sudah satu dekade saling mengenal, tapi mereka hampir tidak pernah terlibat komunikasi yang berarti.

Lagi-lagi Ara tidak menolak saat lelaki itu menyodorkan satu suapan lagi ke hadapannya. Sekarang mereka sudah mirip seperti pasangan baru yang sedang melakukan sarapan sepiring berdua. Pasti itu yang ada di pikiran para pengunjung yang menyaksikannya sekarang.

"Gibran, sudah ya?! Malu ih dilihatin orang." Ara mencondongkan diri ke arah lelaki itu.

Seperti biasa, lelaki itu tidak menurut dan terus menyuapinya hingga isi piring tandas.

***

Ara sudah kembali segar setelah beristirahat kurang lebih dua jam lamanya. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Segera ia menuju dapur untuk menyiapkan makan siang Saka yang sebentar lagi pulang sekolah.

Hari ini memang bebas pesanan, jadi Ara sedikit lebih santai. Sore nanti agendanya berbelanja untuk membuat pesanan berikutnya yang akan dikirim lusa.

Kebersamaannya dengan Gibran tadi pagi sukses menyita atensi Ara. Hampir saja tadi Ara tidak bisa tidur karena terus memikirkan kejadian tak terduga itu.

"Kok Ibu sudah bangun? Nggak istirahat sama sekali, Bu?"

Di sini para pekerjanya memang sudah terbiasa keluar masuk rumah Ara. Lewat samping kiri rumah yang tertuju langsung ke dapur, bukan merupakan rumah utama.

"Baru aja bangun. Rada nggak bisa nyenyak, Mbak."

"Pasti kepikiran gambar Ibu yang lagi disuapin Mas Gibran masuk di akun lambe-lambe kan?"

Ara melotot kaget. "Apa? Masuk akun lambe-lambe?"

"Ibu belum tahu? Heboh, Bu, di kolom komentar. Mas Gibran lagi jalan sama perempuan berjilbab. Untungnya mereka ngambil fotonya dari belakang, jadi yang jelas cuma wajahnya Mas Gibran."

Informasi tersebut membuat Ara langsung lemas. Buru-buru ia mengambil ponselnya dan mengecek sendiri akun lambe-lambe yang sudah menayangkan berita tentang dirinya. Benar, itu foto Ara dan Gibran tadi pagi. Gambarnya diambil tepat saat Gibran mengulurkan sendok padanya. Ya Tuhan, apa-apaan ini?!

"Ibu, ini beneran, Bu? Kok so sweet ya?" Rahmi mengulangi pertanyaannya yang belum Ara jawab.

"Ya fotonya memang benar. Tapi nggak seperti yang dipikirkan netizen. Mereka semua salah paham. Komentarnya pada ngawur semua ya?!"

"Lha ini kenapa Mas Gibran suapin Ibu? Kan so sweet, Bu."

Sweet lagi, sweet lagi?! Emosi Ara mendengarnya.

"Kenapa Mas Gibran bisa ngelakuin ini gitu loh, Bu? Wajar kalau netizen heboh. Saya aja yang mengenal Ibu langsung juga sempat mikir yang nggak-nggak."

"Ya aku nggak tahu kalau ternyata dia anaknya usil juga!" teriak Ara. Jangan sampai Rahmi berasumsi keluar jalur antara dirinya dengan adik iparnya itu.

"Ini mah bukan usil lagi, Bu. Ini namanya kurang ajar yang manis. Adik ipar kayak gini mah namanya demen. Yang sudah-sudah seorang adik itu sopan sama kakak iparnya. Bukannya ngajak sarapan berdua terus ada adegan suap-suapan juga."

"Mbak Rahmi nggak tahu kejadiannya. Ini aku nolak makan. Dia mungkin kesel, makanya dia bertingkah kayak gitu." Alasan Ara sedikit tidak masuk akal tapi akan sangat tidak benar jika Ara tidak mengklarifikasi.

Ya Tuhan, kenapa kejadian seperti ini harus ia alami?!

"Kalau memang nggak mau makan yaudah dong nggak usah dipaksa, bukannya malah maksa nyuapin, ya nggak, Bu? Eh, Ibu nggak nolak juga pas disuapin? Berarti nggak dipaksa juga dong."

Tuh khaaaaan, Rahmi saja yang notabene lulusan SMP bisa berpikiran waras. Tindakan Gibran yang menyuapinya di tempat umum memang tidak wajar.

"Ini jangan-jangan Mas Gibran suka sama Ibu. Kelihatan loh. Apalagi beberapa minggu terakhir dia sering main di sini sampai berjam-jam. Ikut makan malam pula kemarin. Ya wajar sih kalau Mas Gibran suka. Ibu masih muda. Seumuran juga kan sama Mas Gibran. Laki-laki mana sih yang nggak suka sama Ibu. Ibu kan cantik banget."

Tuhan, tolong, Tuhan ... Rahmi dan segala asumsinya benar-benar tidak tertolong lagi!

Di Karyakarsa sudah sampai bab 20 🌹

Di Karyakarsa sudah sampai bab 20 🌹

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
TABU (TAMAT)Where stories live. Discover now