TABU - 24

2.9K 325 10
                                    

"Kakak ipar lo yang lo puja-puja setengah mati itu kalau lagi marah ngeri banget. Nggak usah lagi lo limpahin masalah lo sama dia ke gue. Gue nggak bisa ngadepin mood swingnya janda, Bro. Bisa kencing berdiri gue!"

Gibran tahu persis dan sudah merasakannya sendiri. Perempuan itu seperti sudah diberi keistimewaan sama Tuhan untuk membuat lawan adu mulutnya tak berkutik. Oleh sebab itu Gibran menjadikan Beno sebagai tumbal untuk menghadapi perempuan itu. Tidak sekarang, mungkin nanti Gibran akan menemuinya sendiri setelah kemarahan perempuan itu reda.

"Kalau lo beneran serius punya perasaan sama kakak ipar lo. Lo harus nyiapin mental lebih tebal. Gue nggak sanggup punya istri judgemental kayak dia. Sudah kita ini dianggap manusia paling bobrok sedunia. Ngeri, Njing!"

"Yang penting masalahnya sudah lo kelarin kan?"

"Gue beliin baru semua. Kualitas bagus, nggak seperti meja kursinya yang sebelumnya. Dia nggak ada bilang makasih sama sekali. Baru kali ini gue lihat cewek angkuh banget."

Gibran memilih tidak menanggapi. Posisinya sekarang sedang berada di apartemen. Belum berniat untuk kembali ke rumah orang tuanya.

Sedari tadi ia berkirim pesan dengan Saka. Keponakannya itu yang lebih sering mengutarakan pertanyaan mengenai dirinya yang tidak terlihat dalam seminggu ini. Biasanya memang Gibran hampir tidak pernah absen mendampingi bocah itu dalam kegiatannya berlatih basket dan bulu tangkis.

"Mending lo sama Dinda. Kalian itu pasangan serasi. Serius, lo sudah bagus sama Dinda. Jangan karena sama-sama ngebet sama janda, hubungan lo sama Tristan jadi kayak gini. Lo ikhlasin aja itu janda buat Tristan. Pantesnya Tristan itu dapetnya yang bekas ...."

"Lo bisa diem nggak? Mulai sekarang nggak usah lo ikut campur urusan pribadi gue. Dan gue nggak suka sama cara lo ngatain dia."

"Si Anjing! Gue bakalan masih menghormati kakak ipar lo kalau lo nggak nyuruh gue nampung emosinya kemarin. Lo pikir gue tebal mental sampai dikata-katain gue nggak sakit hati? Kita ini orang-orang yang berpendidikan, Bro. Berengsek! Nggak seperti yang dipikirkan dia. Sementara dia siapa? Apa karena dia cewek nggak pernah sekolah makanya otaknya cetek jadi gue harus maklum gitu? Justru adanya gue di sini karena gue peduli sama lo. Lo sudah jatuh cinta sama orang yang salah. Kalau lo sama Dinda, lo bisa ngembangin karir lo. Kalian sama-sama manusia unggul. Tapi kalau lo tetap ngejar-ngejar itu janda, bisa-bisa lo bangkrut karena kebanyakan ngasih dana gratisan buat toko kuenya yang butut itu. Najis!"

"Pergi lo dari sini!" Sedikit lagi emosi Gibran sudah tidak bisa ditahan.

"Dan kenapa gue bilang kalau kakak ipar lo itu terlalu angkuh? Terlalu sombong? Ada nggak dia berterimakasih padahal lo sudah bantuin dia selama ini? Hahahaha, sombong sekali! Merasa nggak butuh lagi sama laki-laki? Perlu dikasih sekali aja orgasme itu janda biar sedikit jinak."

"Pergi! Gue bunuh lo sekarang juga kalau nggak angkat kaki dari sini! Bangsat!"

Tawa si keparat itu menggelegar memenuhi ruang apartemen sebelum beranjak pergi dari hadapannya. Gibran melempar vas bunga ke dinding. Amarahnya tak lagi bisa dikendalikan.

Biasanya Beno selalu berpikir paling bijaksana diantara kedua kawannya yang lain, tapi mengingat cara perempuan itu mementahkan lawan bicaranya, tidak salah jika akhirnya Beno sakit hati. Lain halnya dengan Gibran yang memang melibatkan perasaan dalam menghadapi perempuan itu. Sehingga semua yang keluar dari mulut kakak iparnya yang seharusnya menyakiti hati justru membuatnya semakin sadar jika ia memang bukanlah orang baik-baik.

Direbahkan punggungnya di sandaran sofa, jujur saja perasaan ini sangat menyiksanya. Gila, Gibran merasa ia sudah gila beberapa bulan belakangan ini. Dan Gibran tidak bisa terus seperti ini. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus menemui perempuan itu secepatnya dan mengutarakan semua yang ia rasakan.

TABU (TAMAT)Where stories live. Discover now