TABU - 6

3.7K 378 7
                                    

"Mbak Ara pinter masak! Kuah supnya enak banget. Racikan bumbunya udah mirip koki restoran. Buburnya juga ada rasa-rasa gurih gitu. Aroma rempahnya sedap pula! Kamu nggak mau coba, Yang?"

Gibran malas kalau sudah diingatkan pada wanita itu. Kerja otaknya seolah diperintah untuk terus memikirkannya. Dan Gibran benci dengan kelemahannya yang baru ia sadari beberapa minggu terakhir ini. Bagaimana bisa ia memikirkan perempuan yang berstatus kakak iparnya? Dosa apa yang sudah Gibran perbuat selama ini sehingga begitu sial hidupnya?

"Aku baru ini loh lihat perempuan yang cantiknya natural banget. Cantik banget. Badannya bagus. Sejenis keistimewaan dari lahir nggak sih? Perempuan kebanyakan harus modal dulu biar jadi cantik kan? Banyak yang oplas bokong biar semok. Tapi Mbak Ara ini udah punya itu tanpa perlu repot-repot treatment dan ikut kelas pilates. Mas Bara emang pinter banget cari istri."

Terlebih, jika sudah membahas tentang fisik wanita itu, Demi Tuhan, Gibran bersumpah tidak akan lagi membagi sesuatu yang mengganggu pikirannya pada siapapun. Termasuk pada teman dekatnya sendiri. Sekarang saja Beno tak berhenti meledeknya. Sialan!

"Mbak Ara masih muda, nggak kepengin nikah lagi gitu?"

Dan kenapa perempuan satu ini harus terus-terusan membahasnya? Ya, mana ia tahu! Ngobrol saja tidak pernah!

"Mending kamu tidur aja, Babe. Baru minum obat lebih baik dipakai istirahat."

Lihat! Perempuan ini benar-benar lebih mirip baby sitternya ketimbang kekasih. Kadar kesabarannya juga patut diacungi jempol. Berkomunikasi dengan Gibran itu sudah mirip seperti sedang membaca artikel di ponsel, jarang sekali mendapatkan timbal balik. Tapi perempuan ini bisa betah bertahun-tahun berada di sisinya.

Hati nurani Gibran terkadang prihatin dengan kebaikan Dinda yang mungkin tidak akan pernah bisa dibalas olehnya. Sebagai seorang pablik figur, khususnya artis, Dinda termasuk gadis yang sangat polos. Cara Gibran memperlakukan Dinda pun tidak seperti saat berhubungan dengan perempuan sebelum-sebelumnya. Jauh dari kata neko-neko. Gibran yakin Dinda masih perawan, dan ia bukan laki-laki berengsek yang akan setega itu merusak anak orang. Gibran tidak pernah berniat serius dengan perempuan ini, sehingga saat nanti urusannya dengan perempuan ini kelar, maka Gibran akan melepaskan perempuan ini dalam kondisi utuh.

"Mas Beno biasanya kemana-mana nempelin Gibran, tapi kenapa pas kemarin ke Singapore Mas Beno nggak ikut? Untung pacar aku nggak kenapa-kenapa. Kalau terjadi apa-apa sama pacar aku gimana? Dia sakit, nggak ada yang urus."

Suara Dinda yang melengking kembali menyadarkan Gibran dari tidurnya yang baru beberapa menit yang lalu. Dua orang temannya, Beno dan Tristan rupanya sudah berada di ruangan ini.

"Gusti Pengeran! Cantikku Dinda Sudrajat si artis terkenal yang sebentar lagi go internasional, yang bucinnya kebangetan sama Gibran. Kan tadi Mas sudah bilang kalau Mas juga lagi ada urusan di luar kota, Sayangku Cintaku. Mas ini bukan pengangguran yang cuma ngintilin Gibran kemana-mana seperti yang kamu pikir, Cantik."

"Najis, jijik, ewwww! Aku ini lagi serius ya, Mas Benooooo!" Dinda kembali berteriak, kali ini jauh lebih histeris.

"Lah, gimana sih, Sayangku. Mas dua rius malah." Dengan santainya Beno terus menggoda.

"Nggak usah soyang sayang! Ewwwww!"

"Sayangk ...."

"Berisik banget sih, Ben!" Gibran memotong, sudah terlalu bosan melihat cara Beno saat menghadapi Dinda.

"Jangan manyun gitu dong, Dinda cantikku." Beno belum menyerah.

Dinda kembali menjerit. "Yaaaaaang! Usir aja Mas Beno deh! Bikin badan aku yang udah lelah urus kamu, jadi tambah pula migrain di kepalaku."

"Lo nggak tahu tempat banget sih, Ben!" Sebelum Beno kembali melontarkan candaan untuk perempuan yang jadi sasaran, Gibran lebih dulu menahannya.

Beno nyegir. "Hehehehe, lo beneran sakit?" tanyanya pura-pura polos.

"Urusan kemarin gimana?" Gibran bertanya perihal salah satu kurir yang kabur membawa uang cod.

"Sudah ketemu. Kelar di urus Asep." Jawab Beno yang diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah tersebut.

"Yang lo rasain sekarang apa, Bro?" Tristan mendekat dan duduk di sampingnya.

"Yang gue rasain sekarang gue pengin nimpuk kepala lo pakai sendal." Jawab Gibran sekenanya.

Orang yang menjadi teman dekat Gibran dari sejak SMA itu merespon dengan ekspresi hiperbolis. "Boleh, mau sekarang? Asal habis itu gue dikasih satu unit jaguar, gue ikhlasin kepala gue lo timpuk sampai benjol."

"Ayang! Aku tinggal keluar bentar ya? Mumpung ada Mas Beno dan Mas Tristan di sini. Ini aku pikir Lila bisa kosongin semua jadwalku hari ini ternyata cuma sebagian doang yang bisa ditunda."

Gibran mengangguk dan memberinya pesan hati-hati seiring langkah Dinda yang menghilang di balik pintu ruangan rawat inap vvip.

"Totalitas banget Dinda jadi cewek lo, eh malah lo nya selingkuh mata hati dan pikiran." Beno tergelak melihat ekspresi Gibran yang kesal setelah dia melontarkan kalimat barusan.

"Lah, bener kan? Apa coba kalau bukan selingkuh? Yang jadi pacar lo si Dinda, tapi yang ada di otak lo Mbak Ara."

"Anjing!" Tristan mengumpat sambil ikut tergelak meledek. "Lo kepikiran sama apanya, Njing? Genjot bokongnya yang semok atau nyedot dadanya yang montok?"

"Lo, apaan sih?" Gibran merasakan darahnya mendidih seketika saat temannya yang satu ini mendeskripsikan Ara dengan cara frontal.

Tristan mengendik santai. "Gue cuman ngelanjutin omongan Beno, salahnya di mana?"

"Sori, sori, sori ... nggak gitu juga kali, Bro!" Beno menepuk pundak Tristan. "Lo nggak sopan, Mbak Ara itu kan kakak ...."

"Lebih nggak sopan mana sama dia yang pernah flirting sama kakak iparnya sendiri? Gue mah orang luar, bebas gue mau tertarik sama perempuan manapun." Tristan menjegal perkataan Beno yang belum selesai diucapkan.

Ketiga lelaki dewasa itu sama-sama terdiam setelahnya. Gibran berusaha mengendalikan diri karena kondisinya belum memungkinkan untuk beradu urat. Sementara Beno memilih duduk diam di sofa pojok ruangan sambil memainkan ponsel.

Usia pertemanan yang nyaris seumur hidup bohong bila mereka bertiga tak pernah ada konflik. Gibran dan Tristan bahkan pernah baku hantam hanya karena beda pendapat, dan selalu Beno yang jadi penengahnya. Sifat Beno memang cenderung mengalah dan dituakan, sehingga lebih jarang terlibat konflik.

"Ara itu tipe gue banget. Bukan cuma gue, bahkan gue yakin dia tipe semua laki-laki di dunia ini. Ara itu ciri-ciri perempuan yang cocok dijadiin istri. Semua yang ada di diri dia, gue suka. Gue yakin, nggak ada laki-laki yang selingkuh kalau di rumahnya ada istri seperti dia." Dengan sangat percaya diri Tristan mengatakannya di hadapan Gibran. "Gue sudah tertarik sama dia dari Bara masih ada. Mungkin gue akan mundur kalau lo ngakuin perasaan lo. Daripada harus kehilangan teman lebih baik gue ngalah. Tapi kalau perasaan lo sebaliknya, maka gue akan maju. Statusnya dia aman buat dideketin kan? Dan kita bisa bersaing secara fair."

Setelah menuntaskan kalimatnya yang panjang lebar, Tristan beranjak dari tempat duduknya dan memilih pergi. Kedua tinju Gibran sudah mengepal di sisi tubuhnya. Teman sialannya itu memang paling hobi menarik ulur emosi.

"Sudah nggak usah diambil hati omongan Si Kunyuk. Kayak lo nggak tahu sifat dia aja." Beno mendekat seakan ingin menenangkan Gibran.

"Lo juga ngapain pakai bahas itu depan dia? Gue cerita ke lo bukan buat lo jadiin bahan guyonan. Sekarang lihat kelakuan Si Berengsek itu!"

"Iya, sori. Gue kelepasan tadi." Beno terlihat menyesal.

Gibran membuang napas kasar. Kali ini emosinya benar-benar terasa di ujung kepala.

TABU (TAMAT)Where stories live. Discover now