TABU - 4

3.6K 404 5
                                    

Ara kaget saat mendapat kabar dari putranya jika adik iparnya yang sangat menyebalkan itu masuk rumah sakit, dengan diagnosa tipes. Instingnya sebagai seorang Ibu langsung khawatir mendengar kabar tersebut, terlepas sifat Gibran yang tak pernah hangat padanya.

"Ya Allah, kasian Gibran. Aku dapat kabar dari Saka kalau dia masuk rumah sakit, katanya tipes." Ara bergumam, membagi info tentang kondisi Gibran pada karyawan kuenya.

"Loh, Mas Gibran badannya gedhe gitu bisa sakit juga ya? Tipes itu kan penyakitnya orang kurus dan lemah doang, Bu." Salah satu dari karyawannya merespon.

"Anakku yang bungsu gendut, makannya seneng, tapi kena tipes juga dan diopname waktu itu. Sementara Kakaknya kurus, makan susah tapi malah sehat, nggak sakit-sakitan kayak adeknya." Kali ini Rahmi membantah perkara penyakit yang bisa memilih saat hinggap di tubuh sasarannya. "Jadi, bisa aja Mas Gibran sakit tipes karena kecapekan. Dia kan bos. Kurang tidur sama istirahat karena kegiatannya banyak."

Omongan Rahmi kali ini terdengar pintar di telinga Ara. "Ya Allah, gitu ya, Mbak? Apa gara-gara nganterin Saka kemarin dia jadi sakit gini?" Ara menjadi semakin khawatir.

"Bisa jadi, Bu. Atau ya karena sebelum-sebelumnya Mas Gibran kurang istirahat terus puncak dropnya pas lagi antar Saka. Secara dia gila-gilaan, kemarin perusahaannya masuk muri. Kirim ke Luar Negerinya terunggul gitu."

"Serius?" Ara melotot, dia lama tidak menonton berita.

"Ada di on the spot, Bu."

"Keren ya, Mas Gibran. Sayangnya nggak nikah-nikah. Hahahaha."

Di sela-sela aktivitasnya mengobrol, Ara berinisitif untuk membuatkan bubur buat Gibran. Sesuai pengalaman Ara saat mengurus Saka yang sedang sakit, nafsu makan orang sakit akan cenderung menurun, dan bubur adalah solusinya karena mudah untuk dicerna.

"Yaudah aku mau siap-siap dulu ke rumah sakit. Tolong Mbak Rahmi handel dulu ya? aku usahain nggak lama. Nanti yang hampersnya nunggu aku aja, kita bungkus bareng-bareng."

Para pekerjanya itu serempak mengangguk. Ara lantas bergegas masuk kamar mandi untuk membersihkan diri.

****

"Mama ke sini?"

"Saka, kenapa kamu di luar?" Ara baru aja menemukan kamar inap Gibran saat melihat Saka duduk di kursi yang terletak di depan ruangannya.

"Aku pengin telepon Mama tapi di dalam nggak ada sinyal." Saka menggerak-geraknya ponselnya.

"Lah, kok bisa nggak ada sinyal?" Ara mengulurkan tangan kanan untuk putranya sungkem.

Saka langsung menyambut uluran tangan Ibunya. "Nggak tahu. Mungkin karena di dalam beton tebal kali ya."

"Ah, masak karena itu?"

"Ya mana ku tahu, kan aku bilangnya mungkin, Ma."

Ara ikut duduk di sebelah putranya sembari membenarkan letak rok plisket yang dikenakan ke bawah untuk menutupi betisnya. Lalu diletakkan barang bawaannya di samping tempatnya duduk. "Eh, gimana ceritanya Om Gibran kok bisa sakit tipes?" tanyanya kemudian pada sang putra.

"Om Gibran itu udah nggak enak badan sejak masih belum berangkat ke Singapore, Ma. Tapi aku waktu itu nggak ngeh. Om Gibran nggak bilang-bilang sih, mana aku ngerti kalau lagi sakit. Aku cuma mikir kok tumben di pesawat tidur terus, biasanya kan kerja mulu depan iPad."

Ana mendesah. Menjadi semakin merasa bersalah. "Mama juga nggak tahu. Kok ya nggak bilang-bilang Om Gibranmu itu. Kalau Mama tahu dia sakit, nggak bakal Mama minta tolong dia antar kamu."

"Itu apa, Ma?" Saka menunjuk kantong kertas di sebelahnya.

"Bubur sama sup daging. Kamu udah makan belum?"

"Udah kok tadi dibeliin Kak Dinda."

"Kak Dinda di dalam?"

"Iya, ada Kak Dinda. Lagi nyuapin Om Gibran susah makan. Yaudah Mama masuk aja! Itu bubur buat Om Gibran kan?"

Waduh, hem ... Ara sedikit menimbang. Karena tiba-tiba saja ia berubah pikiran. Sikap Gibran yang tidak pernah welcome itu bisa menurunkan reputasi Ara di mata Dinda. Secara, di sini posisi Ara adalah seorang kakak ipar. Sangat menyebalkan jika Gibran tidak mengacuhkannya di depan idolanya.

Jadi, gimana kalau Ara tidak perlu masuk dan meminta Saka menjadi kurir barang bawaannya ini? Ide yang bagus bukan?

"Mama nggak bisa lama loh, Nak. Pesanan kuenya banyak banget. Hampers harus dikelarin ...."

"... hari ini juga. Kalau nggak selesai, bisa-bisa nanti pelanggan nggak repeat order." Saka melanjutkan kalimat Ibunya yang sudah sangat hafal di luar kepala. "Iya, oke. Sini biar aku yang bawa masuk. Tapi tungguin ya, aku mau ikutan pulang. Nanti malam aja aku ke sini lagi."

Ara mengangguk-angguk senang.

Yes! Bahagianya punya anak cowok yang sudah ganteng, pintar, pengertian pula!

TABU (TAMAT)Where stories live. Discover now