TABU - 22

3.1K 331 13
                                    

"Kalau sudah sore gini yang menuhin orang berseragam, Guys!"

Kebanyakan pegawai kantoran yang baru pulang kerja di sore hari akan mampir membeli kue untuk dijadikan oleh-oleh. Namun ada juga yang memang bertujuan nongkrong dan menikmatinya di tempat. Termasuk manusia satu ini yang datang setelah kepergian Dinda dari Lentera Bakery.

"Aku mau dong nyobain menu baru, Mbak Ara."

Dalam satu minggu sekali, Ara selalu mengusahakan ada menu baru di toko kuenya. Seperti contohnya menu baru minggu ini ia membuat Portuguese Cheese Tart, dimana ia mendapatkan resepnya dari aplikasi video berbagi.

"Gilak loh, di sini rame banget. Itu anak dua memang harus dipekerjakan dengan benar." Santi mengarahkan pandangannya pada dua karyawan yang tidak berhenti melayani pelanggan.

"Barusan ada Dinda Sudrajad mampir." Beritahu Ara setelah meletakkan tiga potong kue menu baru di hadapan Santi. Tatapan Ara mengamati segerombolan mahasiswi yang mengambil gambar di salah satu spot terbaik.

"Eh, itu Dinda Sudrajad artis terkenal beneran pacarnya Gibran, Mbak?"

"Iya, bener. Kita lumayan dekat karena dia juga sering anterin Saka latihan."

"Terus kenapa kalau memang sudah dekat Mbak Ara nggak ngundang dia kemarin? Dia nggak bisa datang?"

"Bukan, aku memang nggak ngasih tahu dia."

"Ya ampun, Mbak Araaaa. Padahal kedatangan dia di sini bisa dimanfaatin banget, Mbak. Pertama dia punya pengikut Instagram yang bejibun. Lalu kalau dia mau datang ke sini, tempat ini bakalan dikenal banyak orang, Mbak." Perempuan di depannya ini tampak menggebu-gebu, menyalahkan Ara yang tidak bisa mengambil kesempatan untuk menggaet kenalannya yang seorang artis.

"Aku nggak mau memanfaatkan orang. Meskipun kita kenal dekat, aku maunya ngundang dia karena pengin berbagi hasil kue buatanku. Bukan ada maksud seperti itu."

"Mbak Ara benar-benar terlalu polos. Kan bisa diajak kerjasama kalau memang nggak mau ngedompleng nama doang. Feedbacknya bakalan bagus banget, Mbak. Kayak perusahaannya Gibran. Sudah berapa lama dia pakai Dinda Sudrajad sebagai brand ambassador? Apalagi Dinda Sudrajad ini gilak karirnya kayak nggak pernah mati."

Sebenarnya perkataan Santi ada benarnya juga. Bahkan tadi yang bersangkutan sendiri juga menyayangkan tindakan Ara. "Tadi Dinda juga sempat ngomel dan tersinggung gitu karena aku nggak ngasih tahu kalau mau buka toko kue."

"Tuh kaaaan! Ya namanya sudah dekat gimana nggak kesal. Apalagi profesi dia seorang artis dan influencer yang asam garamnya di dunia promosi. Jelas Dinda ngerasa nggak dibutuhin banget itu."

"Iya. Tadi dia juga bilang gitu."

"Kelihatan Mbak Ara dekat banget sama dia ih, gemes jadinya!"

"Tapi aku sudah bersyukur banget. Pengunjung yang datang melebihi ekspektasiku. Bahkan tiga kali lipat dari target. Insha Allah bulan depan aku sudah bisa mulai nyinyil ke Gibran. Kalau tetap ramai nggak sampai setahun bisa lunas ini uang sewa."

"Kalau gitu pepet terus si Dinda, Mbak. Bikin Instagram dan kirimin Dinda kue tiap hari. Pasti nanti sama dia bakalan diigs-in terus."

Ara berbinar. "Pinter kamu! Itu ide bagus."

"Iya doooong! Siapa dulu!"

***

Ara keluar dari masjid dekat Lentera Bakery usai melaksakan ibadah magrib. Ia sengaja untuk tidak pulang duluan ke rumah karena ia sengaja ingin menunggui karyawannya bekerja. Bukan tidak percaya, tapi Ara merasa perlu terjun sendiri sesekali. Kebetulan pesanan hajad-an hari ini juga tidak sebanyak biasanya dan semua sudah dipegang oleh Rahmi.

"Mbak Ara!"

Merasa namanya dipanggil Ara langsung menoleh dan mendapati Beno bersama satu orang temannya duduk di dekat pintu masuk Lentera Bakery. Sama sekali Ara tidak menduga akan kedatangan pengunjung teman-teman adik iparnya. Ia sangat paham seperti apa tongkrongan yang biasa mereka kunjungi bukanlah restoran kue seperti miliknya.

"Kamu di sini?" Sambut Ara seraya mendekat.

"Iya. Kebetulan banget ownernya juga lagi di sini ternyata. Baru dari masjid, Mbak?"

"Iya nih. Pesan apa itu?" Ara mengamati hidangan yang tersaji di hadapan mereka. Lumayan banyak.

"Enak-enak, Mbak. Ini Tristan saja sampai mau bungkus nanti."

"Ohyaaaa?" Ara menoleh pada lelaki yang disebutkan namanya. Yang sejak kedatangannya tadi tak melepaskan tatapannya pada Ara. Risi, lelaki itu menaikkan kedua sudut bibir, Ara buru-buru memalingkan wajah. "Yaudah kalau gitu selamat menikmati. Aku tinggal masuk dulu ya."

"Kalau nggak sibuk boleh dong temani kita ngobrol?"

Dasar sinting! Ara mengabaikan kalimat kurang sopan yang dilontarkan oleh teman Beno. Sebenarnya kelakukan lelaki itu tidak jauh beda dengan adik iparnya. Sama-sama kurang ajar. Cara menatap Ara pun tidak seperti Beno yang sopan dan menganggapnya perempuan yang sudah bersuami dan memiliki anak. Yang berarti secara aturan harus dihormati meski usianya tidak jauh berbeda.

Belum pernah sekalipun Ara mendengar adik iparnya itu memanggilnya dengan sebutan yang benar. Bahkan hingga detik ini saat komunikasi mereka sudah ada kemajuan.

Ara duduk di belakang kasir sambil membolak-balikkan buku catatan pesanan. Sesekali juga mengamati para pengunjung yang belum juga surut meski jam dinding sudah menunjukkan pukul 19:30. Sampai ada sosok yang sangat ia kenal menguak pintu dan langsung menghampiri dua lelaki yang masih asik mengobrol.

"Ngapain kalian di sini?!"

Meskipun tidak terlalu keras tapi Ara bisa membedakan nada pertanyaan yang dikeluarkan Gibran pada kedua temannya itu, terlihat penuh emosi.

"Nongkrong lah! Ngapain lagi? Sini, duduk!" Beno menarik kursi untuk Gibran duduk. Tapi adik iparnya tampak tidak tertarik.

"Di sini bukan tempat tongkrongan kalian. Buruan cabut!"

"Bro, sekali-kali nongkrong di sini nggak apalah!" Sambar Tristan.

"Gue nggak ngomong sama lo!"

Loh? Loh? Ara yang mengamati dari jauh seketika was-was. Kenapa mereka jadi ribut-ribut di sini? Lagian Gibran apa-apaan sih? Tidak suka teman-temannya berada di sini, maksudnya apa?

"Buruan cabut nggak?!" Suara Gibran kini sedikit meninggi. Beno berdiri memegang pundak Gibran seperti berusaha menenangkan tapi adik iparnya yang bodoh dan arogan itu menepis tangan Beno dan malah bertambah marah.

"Ayok, Tris, cabut!" Ujar Beno.

Lelaki yang disebutkan namanya pura-pura tidak peduli. Masih tetap duduk di tempatnya dan dengan santainya mengangkat cangkir. "Gue mau di sini." Katanya singkat sebelum menyesap kopinya pelan-pelan.

Reaksi itu rupanya memantik emosi Gibran semakin naik. Ara sampai berdiri saking kagetnya saat cangkir yang tadinya di genggaman Tristan sudah berpindah ke lantai. Bunyinya menarik perhatian pengunjung lain. Ara melangkah mendekat, tidak ingin tinggal diam.

"Lo emang berengsek! Anjing!"

Suara gedebuk dan jeritan pengunjung terasa memekakkan telinga Ara. Beno meminta Ara untuk tidak mendekat. Kedua lelaki itu terlibat baku hantam yang mengerikan. Semua terjadi begitu cepat saat dua orang Satpam datang membantu Beno untuk melerai.

Tatapan Ara terpaku pada kursi-kursi dan meja-meja yang tadinya tertata tapi menjadi tak berbentuk lagi. Ia masih tidak percaya dengan insiden yang terjadi di depan matanya. Saat pada akhirnya Beno dan kedua satpam berhasil membawa dua manusia rusuh tadi keluar dari tempat ini. Pandangan Ara terasa buram dan ia tidak lagi bisa menopang kakinya.

TABU (TAMAT)Where stories live. Discover now