TABU - 12

3.5K 403 16
                                    

"Pasti itu gara-gara dia habis makan bareng sama perempuan yang pakai jilbab sampai viral di akun lambe-lambe kemarin, Mbak!"

Ara menjauhkan ponsel dari telinganya. Suara Dinda di seberang sana melengking marah pada lelaki yang tengah terbaring di ranjang sakit. Posisi perempuan itu sedang berada di luar kota sehingga tidak bisa menumpahkan emosinya secara langsung kepada sasarannya.

Kondisi Gibran sudah lebih baik setelah mendapatkan penanganan medis. Sekarang lelaki itu sedang terlelap.

"Aku pengin banget pulang, tapi masih ada jadwal syuting lagi nanti malam. Mbak Ara, aku titip Gibran ya. Tolong jangan dibolehin masuk kalau ada perempuan siapapun itu yang datang besuk dia. Terlebih kalau ada perempuan yang ciri-cirinya pakai jilbab. Jangan sampai itu!"

Lagi-lagi Ara meringis. Kalau saja Dinda tahu siapa perempuan yang dimaksudkan itu, pasti bakalan geger dunia persilatan. Ya ampun, jangan sampai. Ara tidak ingin hubungan baiknya dengan Dinda rusak hanya karena masalah sepele.

"Aku aja nggak pernah loh disuapin sama Gibran, Mbak. Serius. Selama jadi pacarnya enam bulan nggak pernah Gibran romantis. Makanya aku penasaran banget sehebat apa sih perempuan itu, sampai-sampai membuat Gibran rela ngelakuin hal yang nggak pernah dilakuin di depan umum."

Ara mencari cara untuk mengakhiri percapakannya dengan perempuan ini. Tidak baik jika tetap dilanjutkan. Ara berencana akan terus terang dengan Dinda nanti saat ia menemukan waktu dan cara yang tepat. Setelah emosi perempuan ini reda tentunya.

Ponsel Gibran yang diletakkan di meja samping ranjang bergetar sedari tadi. Sempat Ara mengeceknya meskipun tidak berniat menjawab. Panggilan dari beberapa nama berbeda.

Ara mendekat saat menangkap pergerakan dari lelaki yang ditungguinya. Lelaki itu sudah terjaga dari tidurnya yang nyaris dua jam lamanya.

"Mau minum?" Dengan cekatan Ara membantu adik iparnya untuk duduk dan bersandar di bantal yang sudah ia susun di belakang punggung, sebelum memberikan satu gelas air mineral dan sedotan.

"Kenapa kamu nggak bilang sama Mbak kalau kamu alergi sea food, Gibran? Malah diam saja pas kemarin Mbak ambilin udang.Hih, kamu ini emang. Bingung Mbak ngadepin kamu. Susah banget diajak komunikasi." Ara menggerutu sendiri. Sekarang ia tidak sungkan-sungkan lagi mengeluarkan semua unek-uneknya pada adik iparnya yang menyebalkan ini.

"Kamu mau makan? Laper nggak?" Ara mengecek jatah makan siang dari rumah sakit untuk lelaki itu. "Sup buntut deh ini kayaknya. Sama perkedel kentang. Nasinya bubur banget. Kelihatannya enak. Mau makan sekarang?" Ara menoleh, ternyata lelaki itu juga tengah menatapnya.

"Mau disuapin?" tanya Ara lagi saat lawan bicaranya tak kunjung merespon. Kebiasaan sekali!

Akhirnya Ara memutuskan untuk menggeser overbed table ke hadapan lelaki itu, lantas meletakkan baki makan siangnya. "Mau makan sendiri atau ...."

"Biar aku makan sendiri." Lelaki itu langsung mengambil sendok dan melahap hidangan tanpa memerdulikan reaksi Ara yang menatapnya kesal.

Ara menarik kursi dan duduk sembari terus mengamati aktivitas lelaki di depannya. Gibran ini memang sejenis makhluk adam yang menyebalkan. Parasnya tidak bisa dikatakan jelek, karena tidak mungkin akan ada banyak perempuan mengelilinginya jika bagian itu tidak mendukung.

Seorang perempuan yang dulu pernah Ara temui di rumah Gibran tiba-tiba saja menerobos masuk tanpa mengetuk pintu. Tentu saja tindakan itu membuat Ara kaget dan sontak berdiri. Perempuan itu langsung mendekati Gibran. Memeluk Gibran manja layaknya orang yang sangat mengkhawatirkan kondisi kekasihnya.

"Sisil, kok kamu ada di sini?" Dari reaksinya, Ara menduga adik iparnya itu kurang nyaman dengan kedatangan perempuan ini di sini.

"Aku baru aja nengok sepupu lahiran. Terus di parkiran aku ketemu sopir kamu. Katanya kamu dirawat di sini. Babe, kamu sakit apa sih?!"

Gibran mencegah perempuan itu yang hendak kembali menerjangnya.

"Kenapa sih?" Perempuan itu tampak tidak terima.

"Kamu nggak malu sama dia?"

Ara mengerutkan kening, Gibran mengulurkan tangan ke arahnya. Sejurus kemudian perempuan di sebelah Gibran menoleh. Baru menyadari keberadaan Ara di ruangan ini.

"Siapa dia?" tanya perempuan itu pada Gibran.

"Istri aku."

Jawaban ngawur itu membuat Ara ingin sekali menimpuk kepala Gibran dengan sendok di depannya.

"Bohong! Siapaaa diaaa?!" Sementara perempuan itu sudah histeris seolah baru saja mendapat bocoran akan adanya kiamat sebentar lagi.

"Istri aku. Sini, Sayang!" Gila, Gibran benar-benar sudah gila. Berani-beraninya Gibran menjadikan Ara sebagai umpan untuk bisa terbebas dari perempuan berpakaian kurang bahan itu.

Rupanya cara itu berhasil, perempuan yang bernama Sisi itu menghentakkan kakinya dua kali sebelum melangkah pergi meninggalkan ruangan.

"Kamu ini emang nakal, Gibran. Anak orang kamu jadiin mainan. Awas kualat tahu rasa!" Ara mengomeli adik iparnya persis seperti yang dilakukannya pada Saka.

Lelaki itu mengambil ponselnya yang bergetar dan terlibat perbincangan serius dengan si penelepon. Sementara Ara sibuk beberes, mengembalikan overbed table di tempat semula, dan peralatan makan yang kotor ia letakkan di dekat pintu masuk, untuk memudahkan petugas rumah sakit yang akan mengambilnya.

Ara sudah sangat akrab dengan suasana rumah sakit. Dulu hingga berbulan-bulan lamanya ia pernah merawat ayahnya yang mengidap diabetes. Membuat ayahnya harus keluar masuk rumah sakit. Disusul Ibunya yang juga memiliki penyakit yang sama. Banyak pelajaran yang Ara ambil dari perjuangan orang tuanya melawan penyakit. Yakni Ara harus bisa mengatur pola makan yang sehat dan selektif agar penyakit itu tidak berlanjut pada dirinya dan anaknya. Dan terakhir Bara. Namun suaminya hanya bertahan satu hari di rumah sakit sebelum pergi untuk selama-lamanya.

"Sekarang kamu minum obat dulu." Kata Ara begitu melihat Gibran mengakhiri sambungan teleponnya. Lelaki itu menerima beberapa tablet obat yang ia sodorkan dan segera ditenggaknya dengan air putih.

"Mending kamu tidur aja lagi deh. Biar nanti bangun-bangun udah sehat. Syukur-syukur sama dokter dibolehin pulang. Mbak nggak bisa nungguin kamu terus, Gibran. Banyak kerjaan Mbak di rumah."

Ara tidak sempat menghindar saat lelaki itu merengkuh pinggangnya dengan satu tangannya yang bebas infus. Semua terjadi sangat cepat hingga tubuh Ara terhuyung dan mendarat di pangkuan sang adik ipar. Ara syok bukan main.

"Gibran, apa yang kamu lakukan?!"

TABU (TAMAT)Where stories live. Discover now