TABU - 20

3.6K 338 11
                                    

Persiapan pembukaan toko kue Lentera Bakery sudah hampir finishing. Selama satu minggu ini Ara harus menolak beberapa pesanan hajatan karena ingin fokus pada pembukaan kios kue basah aneka rasa miliknya.

"Alhamdulillaaaah, akhirnya terealisasi juga ya, Mbak Ar?!" Santi yang turut serta membantunya mengangkut barang dagangan ke kios sedari tadi tak berhenti berceloteh di sela-sela kegiatannya meletakkan bolen pisang ke dalam kardus yang berlabel Lentera Bakery.

"Benar kata saya, punya adik ipar kaya raya itu harus dimanfaatin." Dan terus memasukkan nama Gibran di dalam topik obrolan mereka. Mendengarnya saja Ara sampai enek.

"Ini aku anggap hutang ya, San. Kamu ngomong gitu kesannya aku orang yang materialistis. Aku tahu diri banget soal ginian. Semoga kembali modal cepat biar bisa bayar hutang."

"Iya, Mbak Ar, iyaaaa. Maksud aku itu, ketimbang susah-susah jual motor yang katanya barang berharga kan mending pinjam uang di Gibran. Orang buka usaha butuh modal itu wajar kok punya hutang. Nah, beruntungnya Mbak Ara punya adik ipar yang sudah sangat mapan banget. Makanya harus dimanfaatin, daripada hutang di Bank ada bunganya. Kalau di Gibran kan nggak pakai bunga, bisa dicicil pula."

Jadi perempuan ini menganggap dirinya beruntung karena ada Gibran? EW!

Meski insiden di dalam ruang rawat inap itu masti terasa membebani pikirannya, tapi Ara mencoba untuk menempatkan diri di posisi Gibran. Adik iparnya itu tampak sungguh-sungguh meminta maaf padanya. Dan mungkin benar yang dikatakan, jika saat itu sedang khilaf. Alasan yang tidak masuk akal tapi selalu Ara coba maklumi. Mengingat sifat adik iparnya selama ini, bukankah mengakui kesalahan itu butuh keberanian? Itu adalah sifat pemberani sejati.

"Desain interiornya bagus banget ya, Mbak Ar? Memanjakan para foodie. Hehehehe."

"Ya harus bagus lah! Mahal banget! Awas kalau nggak balik modal!"

Santri tergelak. "Ya gimana, adanya itu kenalanku. Aku lihat instagramnya kok bagus-bagus. Dia nggak naruh tarif di captionnya. Aku pikir harganya juga masih terjangkau. Eh, ternyata gila-gilan. Ampun deh. Tapi puas kan, Mbak Ar? Bagus begini."

"Iya, bagus. Tapi aku masih syok ini, San. Kebutuhan kan masih banyak. Masa urusan desain interior aja ngabisin hampir lima puluh juta. Mateeek aku!"

"Hahahaha. Aku kemarin requestnya memang yang paling bagus sih. Nggak tahunya berpengaruh juga sama harganya."

"Sudah terlanjur juga. Pokoknya besok opening harus ramai. Rugi kalau nggak!"

"Amin, bismillah!"

Karyawannya yang lain seperti Rahmi dan Kanti tampak keluar dari kendaraan yang dikemudikan oleh Pak Rahmat. Kedua perempuan itu menenteng box besar berisi kue yang akan diletakkan di etalase yang masih kosong. Si sopir langganan ikut membantunya.

"Bu, tadi dicariin Saka. Terus saya bilang kalau Mama di toko. Saya tawarin ikut ke sini tapi anaknya nggak mau. Katanya capek mau tidur saja gitu."

Ara yang sibuk menempelkan stiker di kardus yang sudah terisi kue menganggukkan kepala menanggapi informasi Rahmi. "Iya, Mbak Rahmi. Biar dia istirahat saja. Sepulang latihan gitu pasti langsung tepar."

"Saka itu emang sering banget ya pergi sama Gibran, Mbak Ar? Beberapa kali loh aku lihat mereka makan bersama di restoran."

"Memang mereka dekat banget. Sudah kayak bapak dan anak." Sahut Rahmi yang menggagalkan niat Ara untuk menjawab. "Yang selalu anterin Saka latihan itu Mas Gibran. Kemarin aja sakit dibela-belain berangkat ke Singapore. Sampai pulangnya Mas Gibran masuk rumah sakit karena tipes."

Rahmi ini memang luar biasa totalitas jika menyangkut urusan orang.

"Tipes? Badan gedhe gitu bisa kena tipes? Malu sama tato!"

"Mas Gibran kan sibuk banget, Mbak San."

"Iya sih. Berarti Gibran itu emang sayang banget sama keponakannya. Saka yang sudah nggak memiliki figur ayah, ada Gibran di sampingnya. Sudah cocok dianggap ayah sendiri. Gibran kan mirip banget sama ayahnya. Bedanya Gibran sedikit terlihat garang karena tatonya."

Ara tidak pernah setuju dengan penilaian Santi yang mengatakan suaminya mirip dengan adik iparnya yang urakan, tidak punya sopan satun, dan kurang ajar tingkat dewa itu. Tapi Ara memilih diam, tidak berminat ikut dalam percakapan yang membahas tentang orang yang tidak ia sukai.

"Betul sekali!" Seru Rahmi. "Kalau tatonya diilangin, terus pakai kemeja dan celana bahan gitu pasti dikira Pak Bara. Lah, Mas Gibran seringnya pakai celana jin dan kaos. Ada yang bolong-bolong pula kaosnya."

"Hahahaha, bolong-bolong gitu tapi jutaan harganya. Sembarangan, Mbak Rahmi! Hahahaha."

"Ya gimana, kalau orang kayak aku lihatnya itu baju nggak layak pakai. Wong bolong-bolong."

"Itu kalau dilihat dari kaca mata orang yang nggak paham fashion!"

Ara hanya menyimak sahut-sahutan para karyawannya tanpa berniat ikut nimbrung. Meski sambil ngobrol, tangan mereka terus bergerak menyelesaikan pekerjaannya masing-masing.

"Karyawan yang nunggu toko nggak dipanggil suruh bantuin, Mbak San?" Tanya Rahmi pada Santi.

"Mulai kerjanya waktu opening toko, Mbak." Jawab Santi.

"Cepat banget loh Mbak Santi nyarinya."

"Iya dong! Kenalanku banyak. Dua anak yang mau kerja di sini harus sudah punya pengalaman di toko kue juga. Jadi kalau merekrut pegawai harus yang punya pengalaman. Lulusan SMK yang di sekolah ada pelajaran penataan display. Cara dia melayani pelanggan juga harus ngerti."

"Nah, iya, bener banget. Jangan asal terima anak yang saat melayani pelanggan senyum saja nggak mau."

"Jangan sampai! Sudah aku teliti betul-betul, nggak bakalan salah."

"Aku percaya sih kalau yang cari Mbak Santi."

***

Sebagai rasa syukur karena pembukaan toko kuenya berjalan lacar dengan antusias pengunjung yang melebihi ekspektasi, Ara berniat membagi-bagikan kue ke para tetangga. Termasuk di kediaman tempat Ara menapakkan kakinya, yaitu rumah sang adik ipar.

Tadi ia melihat ada mobil terparkir di halaman dengan plat B 3131 DS yang berarti Bebi Dinda Sudrajad. Ara terkikik dalam hati, orang kaya akan selalu aneh-aneh.

Karena Ara sudah terlanjur berada di sini, jadi ia tetap melanjutkan langkahnya ke teras rumah dan masuk ke dalam ruang tamu.

"Mencari Bapak, Bu? Beliau sedang berenang di belakang, Bu. Ada Mbak Dinda juga di sana." Asisten rumah tangga langsung menyambutnya begitu melihat kedatangannya.

Ara tidak tertarik dengan informasi barusan. "Iya, Mbak. Saya titip saja ya? Kue bolen."

"Nggak dikasihkan sendiri, Bu?"

Ara menggeleng sambil melangkah masuk menuju belakang rumah. Si ART mengekor di belakangnya. Tiba-tiba saja rasa ingin tahunya hadir untuk melihat apa yang dilakukan adik iparnya itu di kolam renang bersama pacarnya.

"Sana, Mbak, kuenya ditaruh aja di kulkas ya. Mbak nggak usah ikut aku. Aku cuma mau ngintip sebentar saja kok."'

Si ART itu pun menurut dan lekas berbalik.

Dan seketika Ara menyesal dengan keputusannya yang konyol ini. Dua insan itu tengah berbuat tak senonoh di area terbuka. Gibran yang hanya mengenakan bokser duduk di sofa sementara Dinda Sudrajad masih berpakaian lengkap berada di atas pangkuan. Mereka berdua sedang memadu kasih, bersilat lidah. Hal yang paling menyebalkan sepanjang hidup yaitu harus menyaksikan adegan yang seharusnya ia tonton di film tapi nyata di depan matanya.

Ara buru-buru mengayun langkahnya meninggalkan rumah besar ini. Bersumpah tidak akan mampir lagi saat ada Dinda di dalamnya. Jantungnya bisa-bisa berhenti berdetak jika harus menyaksikan hal-hal yang tidak pada tempatnya.

TABU (TAMAT)Where stories live. Discover now