TABU - 19

3.3K 369 11
                                    

"Ini punya gue! Mata lo sudah rabun?! Baru juga pakai sepatu bermerek sudah belagu lo!" Bocah dengan postur tubuh berisi itu berdiri sambil berterik-teriak di depan bocah yang berjongkok takut-takut.

"Emak lo kan cuma dagang kue, mana mungkin sih bisa beliin barang mahal." Bocah satunya yang termasuk dari gerombolan bocah bertubuh gemuk tadi ikut mengeluarkan hinaannya.

"Dagang kue pesanan hajatan pula! Beda sama Mama aku yang punya pabrik biskuit! Hahahaha."

"Nggak usah bawa-bawa Mamaku. Pekerjaan Mamaku bukan urusan kalian. Yang penting Mamaku kerja halal. Sekarang, balikin sepatu aku! Itu sepatu aku!" Bocah yang berjongkok takut-takut tadi seperti terpancing emosi saat nama Ibunya diikutsertakan ke dalam percakapan mereka.

"Budek ini bocah! Sudah gue bilang, ini punya gue! Itu punya lo, yang sudah lepek! Ini punya gue!" Bocah yang badannya gendut melempar sepatu yang sudah pudar ke arah bocah yang berjongkok.

"Kembalikan! Itu punya aku! Punya aku baru aku pakai hari ini, nggak mungkin rusak begini!"
Dari jarak beberapa meter Gibran mengamati segerombolan anak tengah mengeroyok keponakannya. Tampak anak-anak itu usianya jauh di atas Saka. Posisi Gibran sekarang berada di gedung olah raga tempat Saka berlatih.

"Kembalikan, Kak. Itu punya aku." Bocah yang berjongkok berdiri, berusaha mengambil alih barang miliknya yang disabotase oleh segerombolan geng seniornya.

"Kaki lo kan masih kecil. Ngapain sih lo pakai sepatu sebesar ini? Mending buat gue."

Tidak tahan, Gibran pun mendekat. Reflek segerombolan bocah itu langsung mundur saat melirik tato Gibran di pundak kiri hingga lengan.

"Ada apa ini?" Tanya Gibran garang.

Sekumpulan geng yang berniat mengeroyok keponakannya itu serempak menjawab, "Ng-nggak ada ap-apa, Om. Cuma pengin ngobrol sama Saka. Tadi dia diangkat jadi kapten sama coach."

"Saya melihat apa yang sudah kalian lakukan pada Saka. Kalian pikir saya nggak tahu?"

Keempat bocah di hadapannya langsung pucat pasi mendapati intimidasi dari badan tegap besar tersebut. "Kalian akan tahu akibatnya jika masih berani mengganggu Saka."

Bocah-bocah itu mengangguk dan berlari terbirit-birit menjauh. Gibran membuang napas kesal. Seperti mengulang masa lalu. Dulu ia yang selalu menjadi kakak kelas yang menjajah junior, tapi sekarang ia malah melihat keponakannya sendiri diperlakukan semena-mena, membuat Gibran rasanya ingin marah.

"Kamu kan ikut ekstra bela diri, langsung hajar saja kalau ada anak yang berani macam-macam sama kamu." Gibran menoleh sekilas pada bocah yang duduk di sebelahnya.

"Bela diri nggak untuk menghajar, Om. Kata Mama kalau ada yang usil mending dibiarin saja, nggak usah ditanggepin. Kecuali kalau mereka sudah main tangan, baru ditangkis dengan bela diri. Kata Papa juga lebih baik ngalah daripada berkelahi. Tapi tadi dia mau ambil sepatu baruku yang dibeliin sama Om Gibran. Jadi mau nggak mau aku harus berurusan sama mereka."

Gibran langsung kaget dan emosi mendengar alasan bocah ini. "Kamu itu jangan semua nasihat orang tua didengarkan, Saka! Kalau tadi kamu hajar mereka nggak apa-apa! Supaya mereka dapat pelajaran! Yang penting kan bukan kamu yang mulai!"

"Nggak, Om. Kata Papa nggak boleh berkelahi sama teman. Lebih baik mengalah dan mengendalikan emosi. Kata Papa orang kuat itu bukan orang yang bisanya mengandalkan otot, tapi orang yang bisa mengendalikan marah."

Bocah ini! Bisa-bisanya malah berkata seperti itu!

Akhirnya Gibran memilih diam. Emosi yang awalnya masih membumbung tinggi pada segerombolan geng tadi jadi berpindah pada bocah di sampingnya. Mendengar cara Saka berbicara bijak mengingatkan Gibran dengan Bara. Meski beberapa orang menganggap Saka adalah anaknya, karena gen mereka sama, namun kelakukan bocah ini benar-benar bertolak belakang dengannya.

Umur Saka memang masih sembilan tahun, tapi sudah tampak postur tubuh bocah ini akan menurun Gibran, maksudnya Bara. Kedua bersaudara yang memiliki bentuk tubuh tinggi dengan tulang besar. Tapi mungkin sifat Saka yang cenderung mengikuti Bara, kalem, tidak gampang marah, intinya semua sifat positif yang membuat Ara sembrono membanding-bandingkan kakak-beradik ini. Gibran tidak tahu harus sedih atau marah, yang jelas cara perempuan itu menggambarkan dirinya sangat menyakitkan. Gibran sampai sesak napas dibuatnya.

"Kalau masih kebesaran kenapa dipakai, Ka?" Tanya Gibran kembali ke topik awal. Keduanya sudah berpindah posisi di restoran cepat saji melakukan santap siang.

"Pengin aja, Om. Masa punya sepatu baru nggak dipakai-pakai." Jawab bocah itu. Mulutnya terisi penuh oleh burger.

"Sepatu basketnya enak nggak?"

"Enak banget, Om. Kapan hari sudah mau dipalakin seniorku juga, tapi nggak jadi karena sizenya kecil."

"Jadi bukan yang pertama kali kamu digangguin mereka?!" Suara Gibran langsung meninggi.

"Sudah sering, Om. Tas aku yang Gucci juga tiba-tiba nggak ada di loker, dicolong sama mereka. Tapi langsung aku laporin Coach terus dibalikin."

"Nggak ditindak tegas sama Coach kamu?" Gibran berusaha keras mengendalikan diri agar tidak marah-marah di depan umum.

"Cuma ditegur saja sih, Om. Mereka yang gangguin aku kebanyakan anak orang berada. Terus Coach juga mungkin nggak mau terlalu tegas. Takut pada mogok latihan."

Ini tidak bisa dibiarkan. Besok Gibran harus menemui langsung pemilik GOR jika benar pelatih di tempat itu tidak bisa mengendalikan kelakuan murid-muridnya yang nakal. Anak baik, tekun, dan berprestasi seperti Saka selamanya pasti akan tetap dijajah. Terlebih saat bocah ini memiliki prinsip seperti Bara yang tidak boleh melawan musuh.

"Buruan kentangnya dihabisin! Burgernya mau nambah?"

"Bungkus saja boleh?" Bocah itu menyengir.

Senyum Gibran terbit karena tingkah bocah di depannya. "Mau berapa? Seratus bungkus?"

"Satu saja, Om. Banyak banget seratus, emang siapa yang mau habisin?"

Mereka tertawa.

TABU (TAMAT)Where stories live. Discover now