TABU - 25

3.1K 324 9
                                    

"Kok wajahnya ditekuk gitu sih? Kenapa, Saka?"

Paras murung putra semata wayangnya menarik perhatian Ara. Setelah melepas sepatu dan meletakkan tas di sisi tempat duduknya, bocah itu tampak termenung. Ara mendekat, ikut duduk di sebelahnya. Mengusap surai tebal sang buah hati dengan sayang. Bocah ini baru saja sampai dari berlatih bulu tangkis.

"Om Gibran sudah dua kali nggak temani aku latihan. Tadi aku telepon katanya masih sibuk, belum bisa pulang. Sekarang Om Gibran lebih nyaman tinggal di apartemen. Aku tadi minta Pak Rahmat buat anterin ke tempat Om Gibran tapi katanya suruh izin dulu ke Mama."

Kerutan di kening Saka kentara sekali. Menunjukkan bawah bocah ini sedang banyak pikiran yang disebabkan oleh keabsenan pamannya.

Ara membuang napas cepat dan lekas menjawab, "Jadwal Om Gibran itu padat juga, Saka. Om kamu itu orang sibuk. Dia punya banyak bisnis yang harus diurusi. Jangan terlalu bergantung sama Om Gibran. Kan tadi kamu sudah diantar jemput Pak Rahmat."

Sebenarnya rasa kesal Ara pada adik iparnya itu belum hilang, tapi apa daya jika Saka memang membutuhkan lelaki itu. Ia tidak mungkin menghasut anaknya sendiri untuk menjauhi pamannya, sementara selama ini Gibran yang memang aktif mendampingi Saka berlatih.

"Eh, tadi gimana latihannya? Lancar?" Ara mencoba mengalihkan kesedihan bocah ini dengan membicarakan hal lain.

Saka hanya menanggapinya dengan anggukan lemas.

"Kamu hanya perlu latihan yang rajin. Tadi Mama sudah membayar lunas mentor kamu."

Lagi, bocah itu mengangguk tapi kali ini sambil berucap, "Terimakasih banyak, Ma."

Ara tersenyum. "Sama-sama, Sayang. Eh, soal senior yang waktu itu ganggu kamu gimana? Dia sudah nggak berani ganggu-ganggu lagi kan?"

Lagi-lagi Saka mengangguk. "Kan sudah ditegur sama Om Gibran. Mana berani ganggu kalau Om Gibran yang ngomong. Pasti mereka takut semua."

Aduh, Gibran lagi Gibran lagi. Melihat dari ekspresi Saka yang kembali murung saat menyebutkan nama pamannya.

"Katanya minggu ini mau ngajakin aku ke Dufan. Biasanya Om Gibran nggak pernah ingkar janji." Gumam Saka lirih.

"Ke Dufan sama Mama deh. Besok akhir pekan." Sambar Ara. Sudah lama juga ia tidak mengajak Saka berlibur.

"Aku nggak mau! Kalau sama Mama nggak seru. Mama kan nggak berani naik wahana. Kalau sama Om Gibran bebas naik apa aja. Kayak waktu di Singapore kemarin. Seru lah sama Om Gibran."

Sekarang gantian Ara yang merengut. "Nggak usah naik wahana, Saka, bahaya! Kamu pernah lihat berita kan banyak kejadian orang jatuh pas naik wahana. Mau kamu kayak gitu?"

Bukan Saka jika tidak bisa membantah perkataan Ibunya. "Terus ngapain ke Dufan kalau nggak naik wahana, Mama?"

"Berenang saja. Nanti Mama temani."

Bocah itu mendengus. "Kalau berenang mending di rumah Om Gibran. Sepi, nyaman, bersih."

Lama-lama telinga Ara bisa keriting mendengar nama adik iparnya disebut terus menerus. "Yaudah kita jalan-jalan saja, Saka."

"Mama saja deh, aku sudah capek disuruh jalan. Mending tidur di rumah."

Ara menatap pergerakan Saka yang beranjak dari sofa dan masuk kamar dengan perasaan prihatin. Saka masih sepuluh tahun, maklum jika kadang bocah itu rewel, sedangkan Ara terlalu sibuk mencari uang. Tapi mau bagaimana lagi? Ia harus menghidupi Saka seorang diri.

Alasan itu tidak sepenuhnya benar. Belakangan ini Ara terlalu bersemangat dengan bisnis barunya yang mau tidak mau menyita waktu kebersamaannya dengan Saka. Bisnis yang dijalaninya ini baru saja dimulai, dengan modal yang tidak sedikit, Ara tidak bisa membiarkan bisnisnya ini berjalan tanpa pantauannya.

"Bu, ada Ci Melia di dapur." Rahmi muncul dari arah dapur menghampirinya.

Ara buru-buru berdiri. "Aduh, dapurnya berantakan kenapa nggak disuruh ke ruang tamu, Mbak Rahmi?"

"Nggak tahu, Bu, tiba-tiba aja Cicinya nongol."

"Mbak Araaaa, maaf aku mendadak banget. Tadi aku ke toko Mbak Ara kata karyawannya disuruh langsung ke rumah. Suamiku baru ngasih tahu kalau besok Mama Mertuaku ulang tahun. Aku mau bikin tumpengan sama ngundang anak yatim rencananya, Mbak."

"Duduk, Ci. Berantakan banget dapurku. Kita ngobrolnya di ruang tamu saja yuk?"

"Halah, di sini aja, Mbak Ar. Aku suka sama bau kue. Enak."

"Yaudah kalau gitu." Ara menggiring tamunya untuk duduk di stool. Meletakkan sepiring kudapan dan teh kotak di meja.

"Aku mau pesan kue lemper sama sus basah masing-masing dua ratus biji."

"Buat kapan itu, Ci? Silakan, Ci, sambil dicicipi ini buatan Mbak-Mbak."

"Buat besok pagi."

"Allahu Akbar!" Sambil tergelak Ara kaget. Pesanan buat besok sudah full dan sekarang ada orang yang memintanya membuat kue sebanyak ratusan dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam.

"Mbak Ara pegawenya banyak begini. Ayolah! Pasti bisa kelar."

"Ini sudah pegang tugasnya sendiri-sendiri loh, Ci. Mbak Kanti bikin brownies. Mbak Rahmi bikin kue bolen. Temannya yang lain bagian ngadon sama nyiapin bahan. Ada bagian belanja juga sekarang belum pulang."

"Cici kalau pesan lain kali jangan mendadak." Suara Rahmi ikut nimbrung.

"Jadi kalau besok nggak bisa ya?"

"Lusa bisa, insha Allah."

"Yaudah kalau gitu lusa nggak apa-apa."

Ara mengeluarkan buku kecil dari laci yang biasa ia gunakan untuk mencatat pesanan.

"Lemper, sus, tambah satu lagi lumpia. Kalau lumpia isi apa ya?" Tanya Ci Melia.

"Terserah maunya isi apa? Kalau biasanya sih isi rebung sama ayam suwir." Jawab Ara.

"Nah, iya, itu saja."

"Oke. Diantar jam?"

"Pagi jam sepuluh."

"Oke sip."

Lalu, Ci Melia pamit usai Ara mencatat semua pesanannya.

"Bu, bisa tidak kalau risolesnya diambil besok pagi?"

"Risoles yang mau diambil lusa?" tanya Ara bingung dengan maksud pertanyaan Rahmi. Seingatnya ia tidak memiliki pesanan kue basah berisi mayones tersebut.

"Bukan, Bu. Ini Bu Lurah mau pesan risoles tapi mau dipakai besok pagi buat acara reoni keluarga." Jawab Rahmi.

"O ya nggak bisa, Mbak. Baru aja nolak Ci Melia ada-ada saja deh. Yang besok pagi aja sudah tiga orang. Itu aja aku sudah was-was takut nggak kelar loh."

"Iya, makanya itu, Bu. Tadi Bu Lurah bilang kalau sudah ditolak dimana-mana. Tapi Ibu saja yang ngomong ke Bu Lurah ya? Saya sungkan e mau nolak."

"Aduh, Mbak Rahmi, tinggal dichat aja kalau pesanan sudah full. Nggak bisa mendadak. Bu Laila pasti ngerti lah. Ini aku mau nyari dua orang lagi buat menemani kita begadang."

Ara mengambil ponselnya yang diletakkan di laci. Mau menghubungi beberapa tetangganya yang biasa membantu saat Ara membutuhkan tenaga tambahan dalam membuat pesanan. Tapi belum juga ia sempat menekan nomor orang yang akan menjadi tujuannya, nama Gibran muncul di layar.

Tumben adik iparnya yang sudah satu minggu menghilang ini meneleponnya. Ara menimbang haruskah ia mengangkatnya atau membiarkannya begitu saja? Ara tidak ingin kelepasan mengamuk. Akan lebih baik ia mengungkapkan kekecewaannya secara langsung dan bukan di sambungan telepon. Tapi mungkin ini sangat penting, mengingat jarangnya lelaki itu melakukan panggilan ke nomornya.

TABU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang