TABU - 5

4.1K 354 3
                                    

"Om Beno sama Om Tristan tuh!" Tunjuk Saka pada dua lelaki yang berjalan dari arah berlawanan dengannya. Ara lumayan mengenal kedua lelaki itu yang merupakan teman dekat Gibran. Jarak mereka sudah semakin dekat dan kedua lelaki itu menghentikan langkah, menyapanya.

"Mbak Ara!" Sapa salah satu dari mereka yang bernama Beno.

"Hai, Beno. Mau nengok Gibran?" Ya iyalah. Mau ngapain lagi mereka kemari kalau bukan untuk menemui adik iparnya itu?!

"Iya, Mbak. Kondisi Gibran gimana, Mbak?" tanya Beno.

Waduh!

"Sudah lebih baik kok, Om. Tadi sudah mau makan sedikit-sedikit." Terdengar Saka menjawab pertanyaan yang tidak bisa Ibunya jawab.

"Eh, Boy! Kamu keren banget!" Beno seperti tersadar dengan keberadaan Saka. Lelaki itu merangkul bahu Saka dan mengucapkan selamat atas lomba yang baru saja dijalani.

"Terimakasih, Om." Sambut Saka seraya tersenyum.

Mereka akhirnya berpisah setelah melakukan basi-basi singkat. Sebenarnya Ara sedikit risi dengan salah satu teman Gibran yang bernama Tristan. Dari awal kenal lelaki itu, Ara merasa Tristan sejenis lelaki mesum yang kurang ajar saat menatap perempuan. Dan lelaki itu berhasil membuat Ana tidak nyaman. Selain itu, Tristan juga terlalu lancang. Sebulan setelah kepergian Bara, beberapa kali Ara mendapat telepon dari nomor tak dikenal. Dan yang membuat Ara kaget, penelepon misterius itu ternyata salah satu teman adik iparnya, yaitu Tristan.

Maksud lelaki itu semakin jelas setelah hampir setiap saat dia mengirimi Ara pesan remeh, sekedar untuk menanyakan kabarnya, menanyakan apakah Ara sudah makan apa belum. Itu tak benar, batin Ara kala itu. Dan saat itulah Ara memutuskan untuk membatasi nomor Tristan dari kontak aplikasi pesan miliknya.

"Kamu bawa apaan aja sih, Ka?" Ara meneliti barang bawaan Saka yang begitu banyak di bagasi Grab yang menjemput mereka.

"Dibeliin Om Gibran." Jawab Saka singkat.

Tangan Ara bergerak lincah mengoreksi isi kantong besar. "Ya ampun segini banyak. Sepatu berapa kotak ini? Tas juga? Bukannya bulan lalu kamu baru dibeliin tas?"

"Ma, Sudah! Lihatnya nanti aja. Udah ditungguin bapaknya tuh!" Remaja itu menuntun Ibunya untuk memasuki bangku belakang pengemudi.

"Jangan ngerepotin Om kamu, Saka. Sudah dianterin kemarin cukup. Sampai bikin Om kamu masuk rumah sakit. Mama yang nggak enak, Saka! Kita ini udah banyak ngerepotin Om kamu."

"Kenapa harus nggak enak sih, Ma? Om Gibran ngelakuinnya ikhlas kok. Lagian, bukan aku yang minta kan? Om Gibran juga sekalian belanja. Katanya di Indonesia nggak ada sepatu ukuran kakinya. Jadi belinya harus di toko luar negeri. Gitu katanya!"

Gibran memang suka barang bermerek. Iya, Ara tahu itu.

"Harusnya kamu belum waktunya dibeliin yang mahal-mahal gitu. Itu sepatu pasti sebiji doang harganya puluhan juta kan?" Ara mengingat logo merek sepatunya. Persis yang biasa digunakan artis-artis.

"Duit Om Gibran kan banyak." Cetus Saka asal.

"Tetap saja kamu harus berusaha nolak. Baru saja bulan lalu kamu dibeliin tas loh! Kamu sama sekali nggak nolak gitu kemarin? Jangan bikin malu Mama, Saka!"

Remaja itu lebih memilih bermain ponsel ketimbang menanggapi ceramah Ibunya yang tiada ujung.

"Mama harus bikin roti berapa bulan supaya bisa beliin kamu sepatu harga segitu, Saka? Gimana Mama bisa mencukupi kebutuhanmu nantinya kalau kamunya sudah terbiasa pakai barang mahal? Mana mau kamu pakai barang pemberian Mama? Secara mampunya cuma ratusan ribu. Selain itu, Om Gibran juga punya kebutuhan sendiri loh, Saka. Dia juga punya pacar. Harusnya yang dibeli-beliin itu pacarnya, bukan kamu."

"Ma, ini kok kesannya jadi aku yang nodong Om Gibran buat beli-beliin sih? Ini kan maunya Om Gibran sendiri."

"Ya, maksud Mama kamu berusaha nolak gitu. Mama nggak enak. Gara-gara Mama Om kamu jadi masuk rumah sakit. Harusnya kemarin yang antar kamu itu Mama. Tapi Mama malah mentingin kerjaan." Jujur kali ini Ara benar-benar menyesal. Lomba yang Saka jalani perdana di luar negeri harusnya mendapat dukungan langsung dari Ibunya. Tapi Ara malah melewatkan momen tersebut.

"Ya, nggak bisa dong, Ma. Masak rezeki ditolak. Kan sayang banget. Lagian aku takut Om Gibran kecewa kalau aku tolak."

Kendaraan yang mereka tumpangi sampai tepat di depan pagar rumah Ara. Diulurkan dua lembar uang kertas berwarna biru pada sang sopir sebelum turun disusul oleh Saka dan mengambil barang bawaannya.

Setelah berganti pakaian dengan daster rumahan, Ara kembali bergabung dengan para pekerjanya yang kini tengah menyiapkan peralatan dan bahan membuat hampers.

"Cepat sekali, Bu?" tanya Rahmi begitu Ara sudah berada di dapur.

"Aku nggak masuk. Di sana lagi ada Dinda." Terang Ana, tiba-tiba sadar ia baru saja kelepasan bicara. Setelah ini pasti Rahmi akan menanyakan alasannya menghindari Dinda.

"Loh, kenapa nggak masuk? Kan di dalam ada Dinda? Harusnya masuk, biar bisa ngobrol sama idola, Bu."

Tuh, kaaaaaan.

TABU (TAMAT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt