TABU - 11

3.1K 385 9
                                    

"Bagaimana, Mbak Ara?" tanya seorang perempuan yang menjadi perantara Ara dalam memilih tempat untuk niatnya membuka toko kue. "Kalau menurut saya ini cocok banget, Mbak. Tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar. Jadi pas gitu. Terus juga masih ada space untuk mini cafe, kalau ada orang yang pengin menikmati kue sambil ngopi. Nanti di situ kita bakal bikin spot yang unik gitu, ala-ala instagramable."

Ara masih belum menanggapi. Bangunan dua lantai ini letaknya nyaris di jantung kota. Pemilik sebelumnya mengalami kendala keuangan, terpaksa harus menutup salah satu bisnisnya untuk disewakan.

"Yang paling penting harga sewa rendah banget, orangnya lagi BU. Kemarin sudah ada tiga orang yang mengontak saya, tapi saya utamain Mbak Ara loh."

Memang menggiurkan. Ara mendesah, perempuan yang berjalan di sampingnya sambil terus mengoceh ini memang pinter membuat sasarannya terlena.

"Tapi kalau dua tahun aku belum berani, San. Aku kan baru mulai rintis, takutnya nanti ada kendala. Yang nggak laku lah. Atau apalah itu, yang namanya ujian hidup kita kan nggak pernah tahu. Dan selain itu uangnya juga nggak ada. Aku menghindari hutang."

"Di sini ini rame, Mbak Ara. Ya pasti laku lah! Kue-kue Mbak Ara kan enak-enak."

Di samping tempat yang rencananya akan Ara sewa ini ada butik yang menjual baju muslim, dan sampingnya lagi menjual benda-benda elektronik, dan yang pojok berdasarkan informasi Santi, dulunya menjadi salah satu cabang ekspedisi Gibran. Namun karena masa kontrak dua tahun sudah selesai dan butuh tempat yang lebih luas jadi tidak diperpanjang lagi. Sekarang dijadikan sebagai kantor notaris.

"Dulu di sini jualan kuenya juga laku banget, Mbak Ar. Tapi jualan kue kering kan. Terus orangnya lagi BU, dan yang paling cepet diputer buat dijadiin duit di sini. Sementara dagangan kue keringnya dipasarin online. Sambil nunggu keuangan membaik dan nyewa tempat lain."

Sebenarnya uang peninggalan suaminya juga tidak sedikit, bahkan jika Ara mau menggunakannya untuk modal usaha dan menyewa ruko, Ara pastinya masih tersisa cukup untuk menghidupi Saka. Tapi dari dulu Ara selalu menekankan pada dirinya sendiri bahwa harta suaminya adalah milik Saka karena kelak putra semata wayangnya akan lebih membutukan.

"Coba kamu tanyakan kalau misalkan aku nyewa satu tahun bisa nggak? Aku perlu lihat dulu gimana pasar di sini. Kalau memang bagus nanti pasti bakal lanjut dua tahun. Nggak usah nunggu setahun aja deh, misal sebulan dua bulan ternyata oke, aku sudah berani nentuin."

"Yaudah coba nanti aku obrolin sama orangnya ya, Mbak. Tapi Mbak Ara udah cocok ya sama tempatnya?"

Ara mengangguk. "Cocok insha Allah. Butik di samping juga kelihatan laris. Dari tadi ada aja yang mampir."

"Iya memang di sini ini kan lokasinya dekat kampus, Mbak. Mahasiswa sudah pasti ke sini tiap hari. Dan sudah aku atur banget nih, dalam satu lokasi nggak ada yang boleh sama tuh. Siapa tahu nanti selain kue Mbak Ara bisa jual makanan berat kan?"

"Maksud kamu jadi warung kuliner gitu?"

"Ya semacam itu, nanti mbak Ara kalau udah jalan dan sukses bisa nambah tuh yang dipojok. Sebenarnya itu kurang cocok dipakai kantor notaris. Mau dipakai tempat fotocopy tapi di seberang udah banyak banget."

Ara berdecak. "Kamu ini, satu aja belum kelar urusan."

"Loh, ya nggak apa-apa toh, cita-cita harus setinggi langit."

"Duitnya itu loh, San. Ini aja kalau misal boleh satu tahun, mau nggak mau aku harus jual sepeda motor dua plus perhiasanku buat nambahin."

"Mbak Ara ini kok kayak orang susah aja ngomongnya. Suami dulu kepala bank. Nggak kurang-kurang lah duit. Punya adik ipar juga yang paling mentereng sekampung. Kalau pun benar Mbak Ara nggak ada tabungan, ya pinjamlah ke adik ipar. Sewa ruko tiga ratus juta dua tahun mah bagi Gibran itu keciiiiiiil."

"Aduh, Saaaan ... nggak punya hutang aja hidupku udah ribet, apalagi punya hutang. Ratusan juta pula, tambah nggak bisa tidur aku nanti."

"Halah, Gibran orangnya royal. Dia sering bagi-bagiin sembako ke orang-orang. Sama kakak ipar sendiri masak berani nagih kalau Mbak Ara belum siap ngembaliin."

Ara melangkah menuju teras depan. Sebenarnya tempat ini sudah siap pakai. Pengguna sebelumnya sudah mendesain tempat ini sedemikian rupa. Tidak banyak yang harus Ara perbaiki, mungkin ada beberapa spot saja yang perlu ia tambahkan sesuai tema dagangannya.

Area halaman juga lumayan luas. Bisa dipakai untuk memarkir beberapa kendaraan roda empat.

"Yaudah, San, segitu dulu. Tolong coba kamu omongin ke orangnya ya. Aku suka banget sama tempat ini, tapi ya itu, kalau dua tahun aku belum berani."

Perempuan yang juga berstatus tetangga dekat Ara itu mengangguk. "Siap, Mbak Ar. Coba nanti aku bicarakan sama Ko Erik. Kalau orangnya susah nanti aku ngomong juga sama Ci Melia. Eh, disogok kue bisa tuh, Mbak Ar. Hahahaha."

Ara ikut tertawa. "Boleh. Kamu datang ke rumahku dulu sebelum ke rumah Ci Melia. Kabarin, nanti aku siapin."

"Hahahaha, coba-coba berhadiah ya, Mbak Ar."

"Sudah ya, aku balik duluan."

Perempuan dengan setelan kaos lengan panjang polos dipadu bawahan rok plisket itu segera memacu motor maticnya keluar dari area ruko. Laju kendaraan sedang, namun membuat rambutnya yang tidak dikuncir bergerak-gerak acak tertiup angin. Ara sengaja melewati jalan pintas, gang-gang sempit untuk menghindari patroli lalu lintas karena ia tidak mengenakan helm saat berkendara.

Ia berbelok ke pasar tradisional untuk berbelanja terlebih dahulu. Setengah jam ia disibukkan dengan memilih sayur mayur, daging, ikan serta bumbu-bumbu. Diletakkan barang belanjaannya di dalam jok dan kembali menjalankan motornya.

Melewati rumah adik iparnya yang selalu ramai pengunjung Ara mengurangi laju kecepatannya. Lalu berhenti. Mata Ara melolot, berjarak beberapa meter dari tempatnya berada Ara melihat Gibran tengah dibopong oleh dua laki-laki yang Ara ketahui sebagai sopir dan Satpamnya untuk memasuki mobil.

Tampak Saka ikut mengiringi langkah lelaki itu di belakangnya. Ara buru-buru menepikan motornya, dan lekas menghampiri objek yang membuatnya penasaran.

"Saka, ada apa?" Ara menahan putranya yang hendak memasuki bangku penumpang belakang kemudi. Sempat ia melirik adik iparnya yang terkulai lemas sambil memejamkan mata. Kulit lengan dan wajahnya memerah. Ara bertanya-tanya dalam hati.

"Om Gibran kambuh alergi, Ma. Ini mau ke rumah sakit."

Ara kaget bukan main. Sejak kapan adik iparnya punya alergi, atau memang dirinya yang tidak mengetahui riwayat kesehatan lelaki ini. Tanpa pikir panjang, Ara langsung merangsek ke dalam, menempati bangku persis di sebelah Gibran. Dan Saka duduk di samping sopir.

"Ya ampun, panas banget!" gumam Ara usai menyentuh kening lelaki di sampingnya. Gibran benar-benar terlihat lemah. Tidak membuka matanya sedikitpun. Lengan, wajah, leher, semua memerah. Sesekali lelaki itu menggosok bagian kemerahan itu. Ara benar-benar prihatin dibuatnya.

"Gimana ceritanya sih, Ka? Kamu hari ini harusnya latihan kan?"

"Iya tadi aku ke rumah Om Gibran minta anter kan, Ma. Terus aku lihat Om Gibran di kamar tiduran sudah kayak gitu. Mbak yang di rumah nggak berani bangunin sejak kemarin."

"Ya ampun, jadi kayak gini udah dari kemarin?" Kembali Ara mengarahkan atensi pada lelaki di sampingnya. Jemarinya pelan membelai rambut sang adik ipar. Ara meringis. Ikut merasakan tidak enaknya kondisi yang dirasakan.

Gibran juga terlihat kesulitan bernapas. Dan bibirnya sedikit bengkak. Ya Allah ....

"Pasti Om Gibran baru aja makan sea food sama Kak Dinda lagi deh." Celetuk Saka.

"Lah, memangnya kenapa kalau makan sea food?!" tanya Ara spontan.

"Ya kan Om Gibran nggak bisa sea food, Ma. Om Gibran kan alergi semua sea food."

AP ... APAAAAA?!

TABU (TAMAT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt