TABU - 7

3.5K 383 8
                                    

Kehadiran PalingKilat benar-benar bisa menciptakan persaingan, apalagi menggaet Dinda Sudrajad sebagai brand iklannya. PalingKilat berhasil mendapatkan respon positif dari konsumen sehingga berkembang dan paling banyak digunakan.

Sejak berdiri tahun 2017, PalingKilat terus memperluas jaringannya agar bisa menyaingi perusahaan jasa ekspedisi yang sudah lama berdiri. PalingKilat mampu menjadi perusahaan ekspedisi yang mengalami perkembangan sangat pesat. Bahkan dalam waktu yang cukup singkat sudah memiliki banyak cabang di berbagai daerah.

Tak banyak orang yang tahu, di awal pendiriannya, PalingKilat hanya memiliki 8 orang karyawan dengan modal 100 juta. Kegiatannya juga masih terpusat untuk urusan kegiatan kepabeanan, impor kiriman barang dan pengirimannya dari luar ke dalam negeri (Indonesia).

Sesuai dengan namanya PalingKilat, perusahaan telah mengklaim bahwa layanannya selalu mencapai target yakni di angka 95%.

"PalingKilat lagi ada promo menarik, Bestie! Kirim tiga paket ke Luar Negeri, dapat potongan 2% per paket. Haduh, Kakak! Ini namanya manjain owner online shop nggak sih? Yuk, yuk! Langsung ke kantor ekspedisi terdekat kalian. Kirim ke mana saja? PalingKilat solusinya!"

Gibran tengah menekuri layar Macbook yang menampilkan tayangan Dinda sedang melakukan promosi perusahaan ekspedisinya, di salah satu cabang di daerah Bekasi. Beberapa hal perlu ia koreksi dengan tim kreatornya sebelum video tersebut ditayangkan.

"Masih lama ya? Kamu udah dari tadi loh sibuk nggak kelar-kelar. Aku nunggunya udah mulai bosan nih." Suara manja itu lagi-lagi mengisi pendengarannya. Gibran merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang. Jari jemari perempuan itu yang lentik dilarikan ke bagian tertentu di tubuh Gibran.

"Clara, sebentar ya? Saya mau konsentrasi. Jangan ganggu dulu." Gibran menyingkirkan jari-jari itu dari tubuhnya.

Perempuan yang biasa diundang saat Gibran butuh dihibur mendengus kesal. Tapi tidak kuasa protes, karena posisinya di sini hanya wanita panggilan. Sehingga yang dilakukan perempuan itu hanya kembali ke tempat duduknya semula, di sofa pojok kamar hotel yang menjadi basecamp keduanya bertemu.

"Yang perlu dihapus dan ditambah sudah saya rincikan di email." Gibran memberikan pesan voice note tersebut pada salah seorang karyawannya, sebelum mematikan ponselnya dan menutup laptop.

Gibran melangkah mendekati perempuan yang duduk dengan pose menggoda. Tidak banyak kata lelaki itu langsung mencumbu tubuh ramping Clara seolah menjadi santapan paling lezat malam ini. Gibran terlalu bersemangat, terlalu terburu-buru, layaknya binatang buas yang tengah menerjang mangsanya.

Biasanya ia akan senang bermain-main dulu sebelum melahap menu pokoknya. Tapi kali ini Gibran tidak membiarkan itu terjadi.

"Oh! Slowly Babe!" Perempuan di bawahnya tampak kewalahan tapi Gibran tidak perduli.

Mata Gibran terpejam, berkonsentrasi membayangkan sosok yang belakangan ini mengisi pikirannya. Sosok itu bagai candu, dan Gibran tidak mau bayangan itu tergantikan oleh ekspresi perempuan yang sedang ia gagahi saat ini.

Gibran menggeram, hentakannya kian cepat. Napasnya semakin memburu. Ia lantas mendongak, puncak itu datang dan ia tidak ingin menahannya.

"Kamu kasar!" Protes perempuan yang tengah mengenakan pakaiannya kembali. Seperti biasa, Gibran segera memberi uang bayaran dan menyuruh perempuan itu langsung pulang begitu urusan mereka selesai. "Biasanya kamu nggak kayak gini. Lain kali aku nggak mau kayak gini ya? Bukannya ngerasain enak malah akunya sakit."

Gibran tidak perduli. Nominal yang ia berikan pada perempuan itu tidak sedikit. Terserah jika nanti perempuan itu akan menolaknya saat ia butuh. Masih banyak perempuan-perempuan lain yang bisa ia gunakan di luar sana.

Setelah perempuan itu pergi, Gibran mulai memejamkan matanya untuk tidur.

***

"Kok kamu pagi-pagi udah nyampe sini aja?"

Ara kaget mendapati Dinda Sudrajad berdiri di depan pintu rumahnya nyaris saat ayam baru saja berkokok. Keadaannya tampak kacau. Make up yang biasanya menghiasi parasnya tidak terlihat lagi.

"Semalam Gibran nggak bisa dihubungi, Mbak. Ponselnya mati. Sampai pagi ini belum juga aktif. Bikin aku khawatir sampai nggak bisa tidur."

"Kita masuk yuk. Duduk dulu. Bentar, aku bikinin susu ya biar kamu lebih segar." Ara buru-buru ke belakang, mengambil cangkir dan menuangkan bubuk susu instan, lalu diletakkan cangkir itu untuk isi air dari dispenser sebelum ia aduk sampai rata.

"Diminum gih, mumpung masih hangat."

Perempuan yang duduk di sebelahnya itu menurut dan menyisakan isinya tinggal separuh. Ara mengamati wajah Dinda yang meskipun tanpa make up tapi tetap cantik. Kulit wajahnya mulus, tanpa jerawat, komedo, flek, apapun itu yang mengganggu pandangan.

"Sudah sering Gibran kayak gini." Suara pelan Dinda mengalihkan kegiatan Ara dari mengagumi kemulusan pipi seorang artis terkenal. "Ngilang tanpa kabar. Ya, memang cuma sehari-dua hari. Tapi itu bikin khawatir kan, Mbak? Aku ini kan pasangannya. Dianggap apa aku selama ini sampai aku harus nyariin dia kemana-mana karena ponselnya yang nggak bisa dihubungi."

Ara mengerjap. Perempuan yang menjadi idolanya dari dua tahun yang lalu itu tiba-tiba saja menangis.

"Ada seseorang yang kirimin aku foto Gibran lagi jalan bareng cewek. Aku masih berusaha untuk positive thinking. Karena sebelum aku sama dia memutuskan untuk berkomitmen, aku tahu kenalan ceweknya lumayan banyak."

"Kamu udah coba tanya langsung ke dia?" Ara bertanya pelan. "Supaya kamu nggak berasumsi sendiri?"

"Aku nggak berani, Mbak. Aku takut Gibran bilang, iya itu aku trus kamu mau apa? Putus? Oke. Trus gimana kalau Gibran malah bilang gitu? Aku nggak mau putus sama dia."

Ara meringis. Jujur seumur hidup ia baru merasakan patah hati saat ditinggal Bara. Beberapa kali Ara menjalin hubungan dengan laki-laki sebelum bertemu Bara, tidak ada mantan-mantannya yang bisa membuatnya patah hati. Pernah dulu ada satu laki-laki yang dengan sembrono berselingkuh di belakangnya, tapi bukannya patah hati, Ara justru marah dan benci setengah mati.

Sementara perempuan di sebelahnya ini? Dia adalah seorang artis papan atas. Karirnya bagus. Kenapa dia harus menyia-nyiakan waktunya untuk laki-laki yang jelas-jelas berkelakuan tidak baik?

"Kenapa nggak mau putus? Memangnya kamu mau punya cowok tukang selingkuh?" Tekan Ara tak habis pikir.

"Gibran nggak selingkuh, Mbak! Ini kan belum pasti kebenarannya. Hem, bukan belum pasti, tapi aku emang takut buat mastiin."

"Cowok di dunia ini masih banyak, Dinda. Kamu cantik. Karir kamu bagus. Masih banyak yang mengantri buat jadi pacar kamu."

"Tapi aku maunya cuma Gibran, Mbak. Bukan yang lain."

"Kalau Gibran nggak sebaik itu, masak tetap kamu pertahanin?" Kali ini Ara sudah lumayan geregetan.

"Aku yakin Gibran yang terbaik buat aku. Dia itu cowok paling sopan dan ngelindungi aku banget."

"Kalau dia baik nggak mungkin dia giniin kamu kan? Sering ngilang tanpa kabar?"

"Kenapa Mbak malah bilang begitu? Mbak kan kakak iparnya."

Ara buru-buru menjelaskan. "Karena aku kenal Gibran sudah 10 tahun, Dinda. Dia udah gonta-ganti pacar berkali-kali. Ya, tentu saja dia masih punya sisi baik. Dia seorang Om yang perhatian sama Saka. Dia mungkin juga seorang Bos yang bijaksana dengan para karyawannya. Tapi aku nggak yakin, melihat track record dia sama cewek, dia bisa berkomitmen sama kamu itu mustahil. Bisa aja kamu hanya dimanfaatin, secara posisi kamu lagi naik banget. Sementara dia butuh orang seperti kamu buat promosi bisnisnya. Masuk akal nggak?"

TABU (TAMAT)Where stories live. Discover now