Chapter 3.13

63 9 10
                                    

Pintu akhirnya terbuka. Secepatnya para relawan masuk bersama prajurit penjaga, lantas membopong Leon yang semakin lemah kesadarannya karena darah kian berkuras. Di sampingnya pula, Vanessa yang belum menunjukkan tanda-tanda siuman.

Hendaknya salah seorang prajurit menghampiri sang Madam yang duduk berlawanan arah dengan pintu masuk, Leon segera melarang. Sama sekali ia tak berikan alasan meskipun ia paham dengan kondisi Kirika saat ini. Toh, prajurit berpangkat rendah selalu mematuhi perintah atasan. Maka tinggallah Kirika sendiri di ruangan itu.

... bersama android tercinta yang seolah tampak tertidur pulas di pangkuannya, tentu saja.

Kirika usapi pipinya tanpa henti. Bahunya terkulai bersama kepala yang terus tertunduk menujukan pandangan kepada wajah teduh si android, silih berganti ke dada yang baru saja ia lubangi. Lubang yang sangat besar, Kirika mengakuinya. Pun, ia tahu itu merupakan salah satu kerusakan fatal yang ia perbuat.

Sejauh ini tiada air mata darinya; tak lebih sekadar tatapan sendu yang dilontar si manik delima. Dia mengabaikan hawa dingin yang kian terasa membelai pipi kala ia pada akhirnya berdiam diri. Lantas tangannya berpindah menggenggam tangan Akira begitu erat, tatapannya masih belum lepas dari wajah si android.

Tiada lagi suara langkah kaki serta manusia yang tengah berinteraksi. Pintu tak ditutup, indra pendengaran bahkan mampu mendengarkan suara derap-derap sepatu bot yang semakin samar, benar-benar sampai jauh hingga menyisakan senyap. Kirika tak mengeluhkan itu. Justru inilah yang ia inginkan; berdua saja dengan kekasih tercinta, serupa sebagaimana waktu yang telah dihabiskan ketika masih bersama.

Demikian Kirika mengecup dahi, begitu lembut ia tetap mempertahankan bibirnya di sana sangat lama dengan mata terpejam. Hingga berakhir ia merasakan balasan genggaman tangannya yang begitu lemah, barulah ia bisa kembali tegak.

"Pangeran tidurnya sudah bangun." Begitu ucapnya kala mendapati sepasang lensa dengan dua warna bertolak belakang itu.

Namun, agaknya si android enggan menerima sambutannya dengan baik.

Dia seolah tampak sedang mengerang, pula ia sulit melampiaskan sakit dari kerusakan yang ia dapatkan. Lensanya berkedip-kedip dengan tempo abnormal. Pun, sulit baginya untuk mengangkat tangan agar ia dapat merengkuh pipi Kirika.

Dampak dari menghancurkan jantung imitasinya ternyata sangat besar. Akan tetapi, jauh di dalam memorinya, betapa ia mengerti apa yang sedang ia rasa kini tepat ia memandang keadaan sang Madam.

"Madam ...." Akhirnya, meski terdengar distorsi di antara suaranya, ia berujar. "Anda ... terluka lagi ... penuh darah."

"Bukankah katamu aku cocok dengan warna ini?"

Pelan gerakannya, tetapi Kirika yakin tangan Akira sedang berusaha mempererat genggamannya. Lantas, meski lamban, senyum tipis yang berujar sendu kini terukir di wajahnya.

Kembalilah tangan sang Madam mengusapi pipinya seolah paham bahwa si android tak senang gurauannya barusan.

Yah ... lagi pula, siapa yang ingin menghias dirinya dengan darah di tengah pesta normal?

Cukup lama mereka terdiam, tetapi manik mereka sama sekali belum lepas dari kegiatan saling pandang; seolah saling bertatapan saja sudah cukup melontarkan masing-masing segala rasa dan ucapan yang hendak disuarakan.

Tetap saja itu belum utuh untuk melampiaskan kerinduan kala berinteraksi bersama, bukan?

"Kulihat kau memotong rambutmu?"

Meski dimulai dengan topik yang terdengar membosankan, agaknya si android tak keberatan.

"Ya ... sebenarnya saya tak begitu ingat sebab saya jarang bercermin," tanggapnya. Lensanya lagi-lagi berkedip, kali ini silih berganti kanan dan kiri begitu cepat tepat ia mencoba mengubah ekspresi. "Anda tak suka?"

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Where stories live. Discover now