Chapter 3.5.5 [EX]

72 19 55
                                    

Para ketua kelompok dari masing-masing agen berkumpul di bar Emily untuk melaksanakan rapat. Kala itu, mereka berunding mengenai rencana pengetatan pengawasan tiap-tiap distrik yang memiliki jumlah korban yang lebih banyak di tiga kota target pelaku. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk membagi kelompok usai mereka mendapatkan beberapa infanteri yang diutus sebagai bala bantuan.

Mereka tetap menjalankan peran sebagai masyarakat, menumpang lewat dan berbaur dengan sekitar sesuai karakter yang mereka emban di antara khalayak; pekerja toko serba ada, pekerja kantoran, hingga pasangan bahagia dilakoni teramat sempurna. Namun, kali ini mereka memilih menjaga jarak terhadap titik-titik tertentu.

... Hanya saja rencana tersebut tak membuahkan sedikit pun hasil yang Leona prediksikan. Satu minggu terasa bergulir sia-sia. Baik dari kelompok agen, pihak kepolisian, hingga detektif, laporan observasi masyarakat juga nyaris serupa. Tidak ada yang mencurigakan. Ditambah lagi, baik pelaku pembunuhan atau penculikan tak lagi memberikan petunjuk.

Kabar baiknya, tidak ada peningkatan korban.

Tetap saja itu tidak membantu Leona mengenyahkan kumpulan spekulasi tak jelas dalam kepalanya. Siang hingga malam sembari ia berperan sebagai pegawai baru di bar Emily, dia terus memikirkan segala kemungkinan; mencoba menjawab sejumlah pertanyaan 'bagaimana' dari pandangannya.

Beruntunglah dia tidak gila karena terlampau sering menyibukkan otaknya dengan bayangan-bayangan yang belum mungkin terjadi.

Emily pernah menerangkan bahwa tidak semua orang yang berkunjung ke bar ini merupakan pelanggan sesungguhnya. Kebanyakan pelanggan tetap merupakan agen yang menyamar, datang kemari hanya sekadar mengantarkan sebuah surat. Barangkali mereka sewaktu-waktu akan sengaja meninggalkan koran, atau menyelipkan lembaran kertas dan sedotan ke sofa dan kursi.

Mereka menutup bar tepat setelah pelanggan terakhir minggat seusai ia menghabiskan cocktail-nya. Dia meninggalkan koran di sudut sofa, lantas melangkah santai sembari telinga bekerja mendengarkan seruan terima kasih dari Emily.

Mulailah mereka berbenah; memungut semua informasi yang ditinggalkan para agen dan membacanya di balik bar tepat sepi mengerubungi seisi tempat ini.

Leona mengabaikan lembaran dan sedotan. Dia sudah hafal, tidak banyak yang akan dia dapat dari sana. Jadi ia membiarkan Emily membaca potongan-potongan tersebut sementara ia akan berpaku kepada koran.

Ya, mereka jarang mendapatkan informasi atau laporan dari koran. Selain sudah jarang digunakan di masa kini, koran hanya akan menyuguhkan banyak dokumen yang terkait dengan tugas.

Sebuah amplop usang jatuh ke pangkuan Leona tepat ia membuka halaman tengah koran. Dari luar terlihat sama sekali tak berisi, tetapi Leona mendapatkan dua lembar kertas. Satunya adalah sebuah foto, sementara yang menjadi teman satu amplop berisikan sebuah surat yang ditulis dengan kode morse.

Emily lebih dulu mencomot foto di pangkuan Leona. Binar mulai tampak di maniknya, tampak terpukau oleh seseorang yang terpampang di dalam foto.

"Aku tidak ingat Kirika memiliki seorang adik," celetuk Emily. "Tidakkah kau merasa dia sangat mirip dengan Madam, Kapten?"

Pertanyaan itu sukses mengalihkan perhatian Leona yang sedang malas menerjemahkan kode morse. Emily menyerahkan foto di tangannya, lantas merebut lembaran di tangan Leona pelan-pelan agar ia bisa menerjemahkan kode morse dengan cepat. Sementara ia akan membiarkan mitranya meneliti gadis yang terpampang di dalam foto.

Hanya ada foto seorang gadis dengan mata sebesar kacang kenari, bermanik senada buah ceri. Wajahnya terlihat sedikit sayu, jika saja tak tersenyum, orang-orang yang melihatnya pasti akan mengira bahwa ia selalu bersusah hati. Lalu ia memiliki rambut ikal legam bagai arang.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Where stories live. Discover now