Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]

45 11 17
                                    

Seharusnya menjelang musim dingin merupakan waktu yang tepat untuk menikmati pemandian air panas. Namun, sepertinya pesan imbauan Perdana Menteri yang ditujukan kepada masyarakat cukup mengalihkan pikiran mereka hingga tak perlu pusing-pusing berpikir soal liburan.

Pemandian air panas yang mereka datangi memang terlihat sepi. Konon lokasinya tak begitu jauh dari kantor. Pengunjungnya bahkan bisa dihitung dengan jari. Meski demikian, bagi Aoi itu merupakan waktu yang tepat sebab Kirika tak menyukai tempat yang ramai.

Lagi, dengan begini, kupon yang ia menangkan dari lotre kala berbelanja bahan makanan bersama Nina di supermarket tidak terbuang sia-sia. Maka mereka benar-benar pergi demi merayakan kesuksesan operasi pemasangan tangan prostetik Kirika.

Usailah mereka mengurus pemesanan tempat dan sebagainya, mereka lekas mengenakan handuk di ruang ganti dan beralih ke tempat basuh sembari berbincang persoalan kecil.

Pemandian air panas seolah milik mereka saja sekarang. Tempat basuh pun tanpa disangka-sangka tak berpenghuni. Konon suara tapak-tapak sandal kayu bertamu berkuasa barang sejenak kala mereka masuk. Sekadar uap-uap hangat yang menguasai tempat ini, berikut senyap bahkan mudah terasa di kala mereka tak lagi saling berbicara.

Keduanya duduk berdampingan di ujung deretan bangku yang persis menghadap ember kayu. Ya, mereka berdua memang lebih senang menyiram tubuh dengan gayung ketimbang pancuran kamar mandi, jadi mereka tak perlu membasahi rambut mereka pula.

Aoi sempat melirik Kirika yang entah kapan terakhir kali ia menyanggul rambutnya. Kesekian kalinya Aoi melihat luka bakar yang mengukir mawar di leher jenjang itu; salah satu bagian tubuh yang Madam sendiri tak segan memperlihatkannya kepada Aoi, justru kini telah lama tak dibahas orang-orang.

"Kira-kira ... kapan kali terakhir kita pergi ke pemandian air panas bersama-sama?" Tak lama dengan suara kecilnya, Madam berujar lembut seolah secara tak langsung menegur Aoi agar tak berlama-lama memandangi bagian leher tersebut.

Kalau saja dinding tak memantulkan suaranya sejelas itu di tengah bisingnya air yang terjun bebas dari tubuh Kirika, barangkali Aoi tak akan bergerak kikuk. Lekaslah ia mengambil air. Demikian ia menyiram tubuhnya, barulah ia tertawa ringan.

"Sudah lama sekali, bukan? Bahkan kukira itu kali pertama dan terakhir bagi kita," tuturnya. "Waktu itu kita melarikan diri ke Osaka, tiba-tiba saja kau ingin pergi ke pemandian air panas bersamaku."

"Namun, kau sempat menolak dengan alasan uang sakumu ternyata tidak cukup," imbuh Kirika. "Padahal kau tak perlu khawatir selama ada aku."

"Tukang pamer!"

Lawan bicaranya hanya tertawa kecil. "Tapi aku benar, bukan?"

Demikian mereka mengakhiri kegiatan membasuh. Maka mereka bersama-sama memasuki kolam pemandian sembari membawa handuk-handuk kecil. Uap-uap dari air panasnya kian pekat di dalam, tetapi pemandangan sekitar masih tampak jelas dan sekitarnya bersih.

Sama sekali tiada orang selain mereka. Maka secepatnya mereka mengganti handuk dan masuk.

Sengaja Aoi membiarkan Kirika berendam lebih dulu. Dia memang senang merendamkan kakinya lebih lama agar ia dapat menyaksikan pemandangan yang tersuguh di jendela. Namun, sepertinya ia harus mengurungkan niat itu sebab perhatiannya utuh dicuri oleh punggung Kirika yang penuh dengan bekas luka.

Sesungguhnya penyembuhan Kirika memang terbilang cukup mengesankan. Beberapa hari usai mengalami koma saja ia sudah berdiri tegak dan menjalani sidang. Konon menginjak hampir dua minggu seusai insiden, kebanyakan luka-lukanya telah menciptakan bekas dan di antaranya masih menyisakan kulit mati dari luka yang mengering.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant