Chapter 1.8

200 49 82
                                    

Jalanan masih begitu sepi kala menjelang fajar. Adam baru saja menuntaskan ibadah selagi kakak-kakaknya menyiapkan segala perlengkapan yang dibutuhkan. Dia segera berbenah diri dan keluar, mendapati Aoi dan Hikari yang tengah bercakap-cakap di ruang tamu.

"Ah, Adam sudah selesai beribadah," celetuk Aoi sembari ia menoleh padanya. "Sebaiknya kau sarapan terlebih dahulu. Kita akan berada di dalam kereta selama dua jam nanti."

Pemuda itu menurut dan bergegas menuju meja makanan. Dia disambut dengan Nina yang kemudian melahap rotinya seperti burung kelaparan.

Sementara Aoi kembali tertuju pada Hikari.

"Maaf ya, Bu ... sepertinya kami terpaksa harus meninggalkan Ibu beberapa bulan," kata Aoi kemudian.

"Tidak apa-apa, sayang. Kau tidak perlu khawatir. Sebab penghuni apartemen ini, untung saja masih sama seperti ketika kita terakhir kali tinggal di sini," balas Hikari. Berakhir maniknya turun kepada kedua tangan yang tengah dibelai lembut punggungnya oleh Aoi. "Tenanglah. Pikirkan saja pekerjaan kalian."

Aoi merengut. Pada akhirnya ia hanya tersenyum tanggung di kala mengangguk.

Sesungguhnya ia tak rela. Mengingat biaya hidup di Tokyo begitu mahal, sebelum berpulang kembali ke Jepang, Aoi segera menyewa apartemen di Nagano, bertepatan di Disrik Ueda. Lagipula Hikari bersikeras untuk menetap di sini.

Mereka tidak punya pilihan lain.

"Ketika ada waktu luang, pulanglah. Ibu akan tetap menunggu kalian di sini."

Aoi mengangguk. Setidaknya mereka masih bisa berkomunikasi dengan panggilan video dan barangkali itu sudah cukup.

Akhirnya ia melepas kedua tangan ibunya, lantas menyambar Hikari dengan pelukan erat. Lantas indera penciumannya langsung peka dengan aroma tubuh Hikari. Ah, sungguh ia akan benar-benar merindukan aroma Hikari.

"KAK AOI, AIRNYA TERLALU PANAS! A-APA BEDANYA KANJI DINGIN DAN PANAS?! T-TOLONG! AKU TIDAK MENGERTI KANJI!"

Segera Aoi mendengkus kasar penuh keluh.

"Edward ... kita sudah tiga hari di sini dan kau belum hafal juga?" Daniel berceletuk.

"Astaga, Dan ... kau tidak mengerti! Bagaimana mungkin aku bisa cepat hafal? Seharusnya tombol-tombol ini dipakaikan warna saja."

Aoi memutar bola mata. Ya, suara Edward nyaris mengagetkan seisi apartemen. Bahkan Nina seketika membatu. Kunyahannya terhenti dan dia nyaris tersedak. Kenapa selalu saja ada saja yang merusak momen menenangkan seperti ini? Cepat-cepat Adam menyodorkan airnya pada si kakak yang kemudian disambar dengan tergesa.

Aoi lantas berdiri dan bergegas menuju kamar mandi. "Kau tidak perlu berteriak! Ini masih pagi, bodoh!"

"AH, CABUL! JANGAN MENGINTIP!"

"TIDAK ADA YANG MENYURUHMU MANDI DI PAGI HARI!"

Sementara Hikari tertawa kecil seraya menggeleng.

"Setidaknya aku punya kenangan kecil untuk diingat sebelum mereka berangkat," gumamnya. "Aku akan jarang mendengar suara berisik nanti."

Tak lama Hikari menoleh pada Adam yang menghampirinya. Pemuda itu bertekuk lutut tepat di hadapannya dan tersenyum. Dia kemudian meletakkan kedua tangan tepat di atas pangkuan Hikari. Lantas Adam mencium tangan Hikari sebelum mengangkat pandangan kembali.

"Aku akan merindukan Ibu! Nanti kami akan menghubungi Ibu untuk memberikan kabar," katanya.

Hikari tersenyum lebar. Anak ini mempelajari bahasa Jepang begitu cepat demi mengakrabkan diri dengan Hikari. Tak mau ketinggalan dengan anggota termuda, Edward dan yang lainnya berakhir ikut belajar.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Where stories live. Discover now