Chapter 1.12.5

136 37 62
                                    

Dua hari berlalu. Rapat yang berlangsung pada selumbari sama sekali tak menghasilkan apa pun. Berakhirlah Eleonor memutuskan agar semua pekerja kembali datang dalam tiga hari. Barangkali dengan pikiran jernih akan mendatangkan ide baru.

Pasalnya, Eleonor dipanggil oleh Kirika untuk mendiskusikan android mereka. Atas permintaan Aoi, Eleonor membujuk sang atasan agar ia mau berpikir untuk mengubah rupa AK-25. Tentu saja, dalam arti perombakan penuh.

Namun, Kirika menolak dengan alasan waktu yang tersisa tidaklah banyak. Malah mereka diminta untuk berfokus terhadap apa yang harus dilengkapi saja.

Tentu hal itu sukses membuat Aoi semakin muram. Lagipula, memang ucapan Kirika ada benarnya. Tapi rasa bersalah terus saja mengerubungi diri Aoi.

Di laboratorium, tepat di ruang tes, Aoi berkutat kepada hasil pencocokan wajah si android dengan Akira Kurihara. Menyangkal bahwa android ciptaan mereka begitu mirip dengan mantan figure skating asal Australia itu sudah tampak percuma.

Mereka pula sudah melakukan pencocokan wajah. Hasilnya benar-benar mencapai delapan puluh persen. Memikirkannya saja sudah cukup untuk membuat bahu Aoi merosot lesu.

Lantas sedikit ia menoleh kepada Akira—begitu Aoi lebih senang memanggil AK-25—yang tengah duduk persis di sampingnya. Terus saja sepasang lensa biru milik Akira tertuju pada Aoi, sedari tadi memperhatikan segala tingkah si profesor muda. Walau begitu, dia sama sekali belum buka suara soal apa pun.

"Kau ... memang mirip Akira Kurihara, ya," celetuk Aoi kemudian.

Mengerti terhadap orang yang dimaksud, segera isi kepala Akira melacak seputar informasi dalam diam selagi Aoi kembali memerhatikan tablet. Bibir Aoi yang mengerut bergerak gelisah karena rahang yang ia geser beberapa kali sembari berpikir. Kembalilah ia berkeliling di dalam pikiran.

Dalam hati Aoi pula bertanya-tanya mengenai kabar telapak tangan Kirika yang sengaja ia sayat di depan banyak pasang mata dua hari silam. Tangan kirinya yang tengah memegang tablet langsung saja bergidik mengingat trauma yang membekas atas kejadian tersebut.

Memang, Aoi juga mengaku bahwa itu adalah kelakuan paling nekat yang pernah ia lihat secara langsung. Benar-benar tepat di depan mata kepalanya sendiri.

Sekali lagi hendak berjelajah dalam pikiran, Akira di sampingnya masih menunggu. Beberapa kali ia mengedipkan mata sembari membaca di bagian internal. Puas mendapatkan informasi, ia kembali berfokus kepada Aoi yang sudah menjatuhkan dahinya ke permukaan meja.

"Apa yang harus aku lakukan, Akira?" Begitu Aoi berkeluh kesah.

Yang ditanya masih diam seribu bahasa. Sampai pada akhirnya Aoi menoleh dengan posisi kepala masih berada di titik yang sama, ia mulai bersuara. "Apakah saya harus menjadi Akira Kurihara, Profesor?"

Aoi terkesiap, terang-terangan langsung melotot pada Akira. Lantas tergerak ia untuk kembali duduk tegak sembari menggeleng keras-keras.

"Jangan berpikir begitu. Kau tidak diciptakan bukan untuk menjadi orang lain," tegas Aoi. Sejenak air muka Aoi berakhir melunak di kala ia sedikit menunduk. "Kalian ... orang yang berbeda, tahu."

"Dimengerti."

Ucapan Akira sukses mengundang Aoi menoleh. Pun si profesor muda segera menghinggapi tangannya di bahu Akira. Sementara empunya hanya diam menerima helaan napas dari Aoi. Kala demikian, lensa sebiru langit itu tak lama menangkap senyum tipis yang tersungging di wajah profesornya.

Meski tengah mengenakan sweater pinjaman Edward, bahu Akira tetap terasa hangat. Aoi berpikir merupakan hal yang wajar jika demikian, mengingat Akira memiliki pengatur suhu tubuh yang menyesuaikan diri dengan suhu ruangan.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Where stories live. Discover now