Chapter 3.12

43 12 21
                                    

Silvis mungkin bisa mengerti maksud Kirika ketika keponakannya itu hendak merekrut 'paksa' Cyclone Team setahun silam; untuk mendapatkan keuntungan besar, terkadang mereka harus merugi.

Dia memberikan mereka apartemen lama Aoi, membayar biaya operasi dan perawatan Hikari, hingga menawarkan tempat tinggal dan kehidupan yang lebih layak.

Penerapan dari ucapannya kala itu berlanjut dalam peperangan. Kirika menyerahkan pasukannya kepada Leon, pula memercayakan sebagian rencananya kepada sang Letnan Jenderal. Ya, tanpa Silvis tahu, rencana terus menerobos hingga setengah jalan menuju gedung Oohara Corp. juga merupakan buah otaknya. Leon sekadar melengkapi taktiknya.

Mereka berhasil dengan segala rencana itu ....

Namun, sungguhkah pengorbanan ini benar-benar sepadan?

Banyak prajurit yang gugur dalam strategi itu. Nyaris setengah yang sedari pagi tiba telah dihabisi. Agaknya memang beruntung dalam peperangan ini tiada sedikit pun terjadi percikan perang di laut. Kalau tidak, akan lebih banyak korban melayangkan nyawa.

Maka mau tak mau kini Pasukan Bela Diri juga harus ikut turun. Seperempat pasukan dari Tokyo dan Kawasaki diberangkatkan ke Yokohama demi mendorong mundur pasukan musuh. Mereka pula menurunkan kendaraan tempur.

Pesawat tempur menurunkan bom yang meledak hingga sekelompok prajurit musuh terpental. Segeralah pasukan mengambil kesempatan menyerbu mereka yang sekarat; pula yang terlewat. Para prajurit menembakkan sekian peluru ke sekujur tubuh dan bagian vital. Maka kembalilah mereka bergerak maju.

Tak jarang rudal menghancurkan puing-puing bangunan, memaksa agar musuh-musuh yang bersembunyi di sana segera keluar dan melawan. Alih-alih melangsungkan rencana demikian, mereka melemparkan bom asap dan melakukan pengamatan singkat pasukan yang mereka hadapi sebelum bergerak maju.

Enggan cepat tumbang dan kalah, beberapa dari mereka yang masih tinggal di puncak gedung, membalas serangan kepada helikopter serta pesawat tempur dengan rudal pula. Meski begitu, tetap saja masih terdapat beberapa prajurit yang selamat dengan roket dari punggung mereka. Maka tugas menghabisi prajurit dialihkan kepada penembak jitu yang bersembunyi di balik gedung-gedung gelap gulita.

Apalah daya mereka yang ternyata sekadar membuang-buang tenaga dalam membidik. Roket yang prajurit-prajurit gunakan bahkan melesat lebih cepat daripada kecepatan mata mereka sendiri. Pun, serupa seperti drone, roket-roket juga memiliki kemampuan memancarkan energi guna melindungi penggunanya.

Sebagai contoh milik Vanessa. Ya, baru saja ia menerima peluru yang ditahan oleh tameng energi, lantas menoleh ke muasalnya. Kacamatanya dengan cepat mendeteksi keberadaan para penembak jitu dan pengguna rudal.

"Musuh terdeteksi. Mengirimkan koordinat kepada tim angkatan udara," lapornya. Kemudian ia meluncur berfokus pada sebuah mobil pengangkut personel sembari ia mengganti sambungan. "Regu delapan Shibuya, berkumpul dalam titik yang ditentukan; seratus meter ke utara!"

Demikian Vanessa melandas, disusul dengan beberapa prajurit.

Sementara sebuah mobil pengangkut personel lain melintas melewati helikopter yang menghancurkan sebuah ruko, meledak nyaris membuat Edward yang menggantung di sisi mobil pengangkut sempat meleng.

Prajurit musuh menyerangnya, hampir berhasil peluru mengenai bagian telinga. Segeralah ia mengabaikan sisa-sisa hawa panas yang sekilas menggerahkan, lantas menoleh ke sumbernya.

Di posisi yang tidak menguntungkan ini, peluangnya sedikit untuk menembak bagian vital musuh. Sebisanya ia membidik bersama mobil yang kian melaju menuju medan yang lebih ramai.

Hanya beberapa peluru yang mampu Edward tembakkan. Meski juga meleset setidaknya ia puas membalas.

Pada akhirnya mobil yang ditumpanginya berhenti persis beberapa meter dari halaman bangkai gedung Oohara Corp. Demikian ia bisa turun dan mulai mengobservasi.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Where stories live. Discover now