Chapter 3.14.5 [EX]

52 10 1
                                    

"Tenanglah. Sejak awal aku tidak menciptakan senjata itu semata-mata membalaskan dendam. Lagi pula, peperangan ini pecah karena kesalahpahaman darinya."

Ingatan akan percakapannya dengan Kirika kembali berputar di dalam kepalanya. Demikian seisi pikiran juga mengundangnya untuk berkali-kali ia mondar-mandir menoleh kepada lorong yang mengarahkan mereka masuk gedung lebih jauh, konon hanya menambah kerisaukan soal keponakan yang tak kunjung menampakkan batang hidung.

Ya ... padahal waktu yang dijanjikannya untuk kembali telah tiba, tetapi barang setitik saja sosoknya tak terlihat dari sudut mana pun.

Tidak ada pilihan selain menjemputnya sekarang.

"Kau terlalu bermurah hati. Tampaknya dia masihlah seorang adik kecil yang berarti bagimu?"

"Sudah seharusnya begitu, bukan? Ah, tidak ... akan selamanya begitu." balas Kirika sembari menoleh kepada Silvis bersama senyum samar. "Kalau kesalahpahaman ini tak pernah terjadi, kita semua masih sering bertemu dan membicarakan hal yang membosankan sembari meminum teh buatan Nyonya Keiko yang ia bawakan dari rumahnya ...."

Rasanya mengingat dan membicarakan masa lampau hanya akan mengulur waktu lebih lama, lagi percuma. Berakhir ia berpaling dan mengembuskan napas. Senyumnya tidak ragu menyurutkan diri pula.

"Lagi pula sejak awal misi kita hanya akan menangkapnya."

"... Dan membunuhnya adalah opsi paling akhir." Bisikan yang Silvis lantunkan kepada dirinya sendiri kembali membuyarkan ingatannya. "Itulah yang membuatmu tak kunjung kembali, bukan?"

Entah kali berapa ia menelan ludah seiring degup jantungnya kian terasa kencang. Pandangan sekitarnya beberapa kali memburam akibat mata yang memerah. Bahkan belum seperempat jalan, ia sudah terengah lebih dulu akibat menahan diri untuk tidak meledak-ledak.

Betapa ia menyesali ia utuh patuh kepada Kirika yang memintanya agar tetap berada di sini. Tak perlu menunggu pengakuannya, dia sendiri bisa menyadari bahwa untuk sekarang pun ia hanya akan menjadi beban dalam pertarungan.

Akan tetapi memikul keresahan yang sulit dibendung, siapa yang sanggup?

Adrenalin kian meninggi di kala tatapan menangkap tiga sosok infanteri yang semula menjadi pengawal Kirika. Sementara mendapati Silvis yang mulai mempercepat langkah, para prajurit yang mengawalnya pula ikut tergesa-gesa. Pun, tak lama terdengar di antara satunya menghubungi salah seorang dari tiga infanteri Pasukan Bela Diri Negara itu, menitahkan agar mereka membukakan pintu.

Dirasa sekitar aman, segera prajurit di posisi paling depan memberikan celah agar Silvis melangkah lebih dulu. Siap atau tidak, seluruh empunya mata di balik pelindung kepala itu tetap bergerak mengamankan seisi ruangan.

Silvis?

Belum juga mencapai ambang pintu, lebih dulu ia menghentikan gerak kakinya. Betapa berat ia menginjakkan kaki ke dalam ruangan usai menyaksikan segala hal yang tersuguh di hadapannya.

Keadaan ruangan yang semula sudah porak-poranda akibat demonstrasi masyarakat kepada perusahaan diperparah. Dinding hancur bersama lantai dihias bercak-bercak merah yang mengering, terciprat asal di mana-mana. Langit-langit yang dibangun dengan kaca juga hampir seutuhnya runtuh, lubang yang tercipta di sana pula menyambut rintik salju yang telanjur ikut mengotori ruangan.

Silvis mengindahkan semuanya. Netra biru langit tersebut lebih tertarik kepada sosok yang menjadi pusat perhatian ... dan pandangannya tak akan pernah bisa luput dari sosok tersebut.

"Baik. Lalu, kau tetap tak akan memberitahukanku soal senjata itu?"

Segera bujukannya dijawab dengan gelengan serta senyum samar. Astaga, agaknya memelas sejelek apapun, Silvis tak pernah bisa mengalahkan pendirian Kirika.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang