Chapter 1.7.5

200 53 65
                                    

Enggan rasanya ia bangkit meski kedua manik obsidiannya sudah terbuka lebar. Pandangannya jatuh kepada tablet yang tergeletak di samping, menampilkan desain perancangan semalaman. Nina yang menemani Aoi tidur tadi malam pun sudah lenyap dari pandangan.

Tampaknya anak itu sudah cukup puas setelah mendengar banyak cerita mengenai masa lalunya.

Lantas Aoi mendesah berat. Belum juga mau bergerak dari posisi, si manik obsidian kini jatuh ke jam digital. Memang, masih terlalu pagi untuk beraktivitas. Kecuali, juga memang Adam yang terbangun saat ini mengingat ia harus menjalankan ibadah.

Hendaklah manik Aoi terpejam memikirkan segala hal singkat yang terjadi kemarin. Pun masih melekat pikirannya terhadap ucapan Nina. Memang, Aoi mengaku, kadang-kadang Nina bisa lebih dewasa sebab ia mampu berpetuah.

Lagipula, ucapan Nina kemarin malam mungkin saja ada benarnya.

Namun ... entah kenapa saat ini gengsi lebih mendominasi harga diri Aoi.

Ada baiknya ia mulai berpikir sekarang.

Aoi terkesiap kala ia mendapati suara benda yang terjatuh ke lantai. Spontan Aoi bangkit sembari menoleh ke sumber suara. Ponsel tergeletak di sana kontan membuatnya beranjak. Ketika ia berhasil mendapatkan ponselnya, segera ia dialihkan dengan pemandangan kafe.

Lantas Aoi langsung menemukan sosok Kirika di hadapannya.

"Lama tak berjumpa, ya."

Tepatnya saat ini mereka tengah duduk berhadapan. Sembari demikian, Aoi mendapati suara langkah kaki samar-samar bersahutan di samping. Namun pandangannya enggan mengindahkan mereka yang berlalu lalang bersama mobil yang berpapasan di jalan.

Masih saja Aoi tertegun, bungkam seribu bahasa. Aoi memang ingat. Kirika berinisiatif untuk menemuinya tepat seusai dia mengajar kala itu. Meski sama sekali ia tidak tahu pasti dari mana Kirika mendapatkan informasi, setidaknya ia bisa bernapas lega melihat si senior yang baik-baik saja.

Tapi ....

Tentu saja pertemuan ini hanya karena ia membutuhkannya, bukan?

Mengingatnya saja sudah cukup membuat bahu Aoi melemas. Pandangannya pula sukses jatuh ke es yang mencair, menyatu utuh bersama jus limun yang ia pesan beberapa menit lalu.

Meski demikian, banyak pertanyaan yang menyerang kepalanya. Sebisa mungkin mereka seolah tengah mendobrak keras-keras agar mulut itu berbicara. Sayang, sang empunya masih berpegang teguh untuk menahan diri.

Masih tenggelam ia di dalam pikirannya. Bahkan Aoi tak sadar Kirika sudah memangku dagu sembari mendengkus halus.

"Aoi," panggilnya kemudian, sukses mengundang lawan bicaranya mengangkat pandangan. "Tak perlu berpikir keras mengenai tawaran itu sekarang."

Napas Aoi lantas tertahan sebelum Kirika melanjutkan lebih jauh.

"Tugasku sudah selesai. Aku hanya datang untuk melihatmu."

Aoi mengerjap.

"Mari berbicara seperti dahulu kala."

Suara Kirika yang menggema, samar menghilang bersama dengan sosoknya yang memudar. Lalu ... ia mendapatkan pemandangan seisi bus yang nyaris penuh sesak.

Puas mengedarkan pandangan, ia menoleh ke luar kaca bus. Hari nyaris utuh berganti malam. Trotoar mulai lenggang penghuni. Kala pandangan kosong ia patri, lampu jalanan terlihat seperti kunang-kunang berbaris.

Tersadar ia akan earphone yang menyumbat kedua telinganya. Mereka melantunkan musik samar-samar membuat lamunannya buyar. Lantas ia mengalihkan pandangan kepada ponsel selagi bus berhenti di sebuah halte. Senyum tipis tersungging di wajah bulat itu, merasa beruntung Ballade no. 1 in G minor akan menjadi teman seperjalanan.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Where stories live. Discover now