Chapter 3.5

96 19 46
                                    

Hawa musim gugur semakin terasa. Temperatur menurun, bahkan masyarakat menyadari itu tanpa harus menunggu ramalan cuaca disiarkan seluruh kabar berita pagi. Di jalan, beberapa di antara mereka sudah ada yang mengenakan pakaian hangat, pun memperhatikan beberapa dedaunan yang sudah menguning.

Di dalam rumah, Meiko baru saja menggelung rambut panjangnya untuk memulai pembersihan intensif sebelum akhir pekan. Kemarin ia sudah menyaksikan banyak dedaunan kering yang telah menginap semalaman di pekarangan. Betapa risih dirinya akan pemandangan yang tampak berantakan di sekitar rumahnya.

Segera ia beranjak dari kamar untuk segera memulai pembersihan. Pastilah ia harus menyisihkan waktu untuk bersantai sebelum pergi bekerja kala petang tiba.

Hendaknya ia bergerak cepat menginjakkan kaki ke halaman belakang dan mempertemukan diri kepada pohon momiji yang beberapa daunnya telah memerah, langkahnya membatu tepat ujung matanya mendapati pemandangan ganjil di ruang tengah.

Dari sana, rin gong* dibunyikan oleh sesosok pria muda. Dia bersimpuh di hadapan altar, tampak begitu khidmat memulai doa.

Meiko bahkan tidak tahu kapan dia masuk, tetapi ia tertarik menghampirinya. Bau dupa yang baru dibakar kian kentara semakin ia mendekat. Begitu hati-hati ia ciptakan jejak, bermaksud tak ingin mengganggu. Lantas matanya berpindah dari punggung pria muda ke potret kakak kembarnya yang tersenyum simpul; tetap abadi di dalam bingkai di atas altar.

Keiko Oohara.

Di depan bingkai foto itu tersaji tiga buah momiji manju* utuh di piring kecil yang sukses menarik senyum tipis Meiko. Betapa pun Kenji tidak pernah melupakan apa yang sangat disukai mendiang ibunya.

Perbuatannya yang satu itu sudah lebih dari cukup menyenangkan hati Meiko. Kadangkala hatinya meracau, seandainya sang kakak melihat ini, pastilah senyumnya akan lebih lebar ketimbang yang terpampang di foto.

Manik hitamnya mengerjap tepat Kenji berbalik. Maka ia menarik kedua ujung bibirnya sembari merentangkan tangan.

Segera Kenji menyambarnya; memeluk sosok itu erat-erat. Sudah menjadi kebiasaannya menghirup dalam-dalam aroma yang menguar dari bahu orang yang menyambutnya dengan pelukan. Puas hatinya, maka ia akan menenggerkan dagunya di bahu tersebut agar ia bisa menikmati pelukan lebih lama.

"Kenapa kau tidak bilang ingin datang?" celetuk Meiko kala kemudian. Ya, ia pun masih ingin bertahan dengan posisi seperti ini. "Jika saja aku tahu, aku pasti akan menyiapkan sup ikan untukmu."

Sekadarnya Kenji mendengkus sembari melepas pelukan. Namun, ia tetap membiarkan tangannya bertahan di bahu si bibi. Maniknya bertemu dengan iris obsidian cemerlang tersebut. Pun, sempat ia menelusuri tiap lekuk wajah Meiko yang tak buang dengan paras mendiang sang ibunda; yang membedakan di antara keduanya ialah wajah Meiko bersih dari tahi lalat.

Tak hanya wajah, kadangkala Meiko dan Keiko memiliki kesamaan. Mereka bisa memasak dengan resep dan rasa yang benar-benar mirip. Hewan kesukaan si kembar ini juga sama, kucing putih bermanik beda warna. Keduanya juga sukses di masing-masing bidang yang mereka emban.

Meiko selalu memperlakukan Kenji sebagaimana Keiko merawatnya ketika kecil. Hitunglah itu juga bentuk keserupaan yang mereka punya.

Namun, apakah segala kesamaan yang dimiliki Meiko mampu mengobati rasa rindu di batin Kenji terhadap sang ibunda? Bahkan empunya benak sampai harus menurunkan pandangan kala mendapatkan jawabannya.

"Aku hanya datang memperingati hari kepergian beliau." Alih-alih menguasai suasana dengan kecanggungan yang ia bawa, Kenji mengulas senyum sekenanya. "Kebetulan aku melewati toko manju* yang sangat Ibu sukai, jadi ...."

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Where stories live. Discover now