Chapter 3.14 [1/2]

29 9 0
                                    

Di sepanjang padang rumput yang luas, bunga-bunga berjajar rapi tumbuh menyambut musim semi. Matahari bersinar, tak begitu terik hingga membuat hari lebih enak dinikmati di luar. Angin yang berembus santai juga mendukung suasana.

Gadis kecil berambut kepirangan tergopoh-gopoh memasuki taman. Wajah pucatnya utuh memerah sementara sepasang mata menyipit melawan semua yang tampak menyilaukan baginya. Betapa pun lelah yang tergambar jelas dari segala engah yang ia embuskan, tetap saja ia tak melepas genggaman eratnya dari tangan mungil yang tengah berlari mengekorinya.

Mimiknya tampak bahagia tepat mereka hampir sampai ke tujuan. Ya, pohon rindang bersama sepasang ibunda yang tengah bercengkrama. Dirinya tak mengatakan apa-apa, tetapi kala itu ia berseri-seri menoleh kepada bocah empunya tangan mungil yang senantiasa menemaninya.

"Setidaknya aku masih mengingat segelintir masa lalu dari ingatan yang tersisa di dalam kepalaku."

Lantas patah kata itu membuyarkan segala bayangan dalam pikirannya sendiri. Demikian ia masih mendapati Kirika berada di tempatnya, seolah benar-benar mendengar dengan khidmat.

"Segalanya sangat menggangguku, kau tahu? Aku bahkan meragukan kita pernah memiliki hubungan sebaik itu dulu." sambungnya. Dia melangkah ringan menuju ujung meja lantas menumpu kedua tangannya di atas sana. "Jika memang benar adanya, tidakkah kau berpikir kami seperti kelinci polos yang sudi berteman dengan hyena kelaparan yang siap menerkam kami kapan saja?"

Kirika menggeleng miris bersama senyum samar kala ia mengerti satu hal melalui topik yang tengah diangkat kali ini.

Alex tidak hanya mencuci otak dan membuat anaknya lupa akan masa kecilnya, tetapi juga utuh mengotori hatinya dengan kebencian.

"Hyena sesungguhnya ada di pihak kalian—ayahmu. Mau sampai kapan kau terus-terusan menyangkalnya?" Kirika menghela napas sembari berpaling. Pandangannya persis tertuju kepada bercak-bercak hitam yang menjelma kerak di sudut ruangan. Lantas tak membutuhkan waktu baginya menyentak dagu ke sana. "Kudengar kau membunuhnya di sana."

Kenji tak menyangkal soal itu. Dia sekadar mengangguk-ngangguk ringan sembari menoleh ke arah yang serupa.

"Dia meracuni pikiranku teramat sangat. Tak tanggung-tanggung mendatangkan ibuku dalam wujud yang sangat mengerikan di dalam kepalaku," katanya. Begitu ringan ia bertutur, setitik pun tak terlihat mimik penyesalan di wajahnya. "Kupikir membunuhnya cukup, tetapi agaknya aku harus membunuhmu juga—"

Gesit langkahnya hingga hampir-hampir Kirika lengah. Satu sabetan belati ia tangkis dengan pedangnya. Sempat ia lirik belati musuhnya itu, demikian dirasa dirinya mampu membalikkan serangan, lantas pandangannya berpindah kepada Kenji yang menyeringai lebar.

"... Dengan begini kalian akan lebih mudah dikenang sebab berakhir di tempat peristirahatan yang sama, bukan?!"

Gesekan keras dari kedua bilah benda tajam melaung bersama suara Kenji yang kian meninggi di setiap ujarannya. Bersama dengan mundurnya Kirika, ia menyentak belati, mengubahnya menjadi tongkat pedang bermata dua. Ayunan tiap putaran yang ia lakukan tampak enteng. Sama sekali tiada keberatan setiap langkahnya, lincah lagi lihai menyerang setiap sisi musuhnya.

Kenji berhasil mendorong Kirika mundur. Empunya manik delima itu terpojok, tetapi tetap saja ia enggan menyerah menangkis segala serangan. Kala kemudian satu lubang dari keramik yang terpecah menjegal tumit, punggung Kirika harus menghantam lantai bersama pedang yang terempas dari tangannya.

Lekaslah Kenji mengarahkan mata pedang ke wajah Kirika. Beberapa kali Kirika mengelak. Anggota geraknya yang enggan berdiam barang sejenak, lantas menggenggam seonggok batu. Dia lemparkan batu itu kala mendapat kesempatan, barulah ia menyeret diri. Begitu cepat pula tendangan ia ayun tepat ia mengaktifkan bilah dari sepatu roda elektrik.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Where stories live. Discover now