WAKTU KETIGAPULUH DELAPAN

3.6K 511 55
                                    

.
.
.
Waktu seperti cinta sejati,
yang terus memberi tanpa  meminta kembali.
.
.
.







Wira menatap Seseorang didepannya dengan tatapan tak terbaca. Ia tidak menyangka hal ini akan terjadi.

Wira masih mematung didepan pintu, karena terburu-buru Ia tak sempat mengintip dari lubang pintu siapa yang datang.

Jika tadi ia tahu, mungkin ia memilih untuk tidak membukanya, dan membiarkan orang itu.

Wajahnya masih kusut demikian juga dengan pakaiannya.

Ia baru saja pulang dari pendalaman Kalimantan.

Tak ada yang bicara,

Akhirnya ia melebarkan pintu rumahnya agar seseorang itu bisa masuk.

Dalam rumahnya berantakan,tak kalah dengan kapal pecah. Wira mengumpat dalam hati, mengapa orang ini datang saat ia dalam keadaan menggenaskan seperti ini?.

"Sorry berantakan.. " Suaranya masih serak, ia juga belum sempat minum.

Yang datang hanya bisa menghela nafas panjang.

Wira tidak berubah selalu nggak bisa rapi.

"Duduk mas..."

Taruna memicing melihat begitu banyak barang di kursi tamu, jadi ia akan duduk dimana?

Wira melihat ekspresi itu.

Ia segera membereskan barang barangnya disalah satu sofa.

"Tukang  bersih-bersih baru datang agak siang nanti.."

Syukurlah, Wira masih memperhatikan tentang jasa bersih-bersih.  Biasanya adiknya itu paling tidak suka jika barang barangnya dipegang sembarang orang.

"Aku datang mau minta maaf, Wir.."

Wira menghentikan kegiatannya. Terdiam sebentar, lalu ia mulai merapikan lagi barang-barang nya yang sebagian besar adalah buku-buku dan berkas-berkas yang terlihat cukup tebal.

"Duduk dulu Mas, aku siapkan minum..."

Taruna mengikuti ucapan Wira, ia tahu adiknya itu butuh waktu untuk mencerna ucapannya.

Ia tahu ini mendadak, tapi Taruna tidak mau menunda-nunda lagi, ia takut jika nyalinya kembali hilang untuk mau mengatakan hal ini pada Adiknya.

Wira berhak mendapatkan permintaan maaf darinya.

Taruna memilih duduk di sofa singleseater berwarna abu-abu itu. Ruang tamu yang merangkap ruang keluarga ini berada tak jauh dari dapur, yang hanya dipisahkan oleh partisi yang berupa lemari yang diisi dengan bermacam pernak pernik dan yang terbanyak adalah batu-batu dengan warna dan bentuk yang unik serta artistik.

Sebuah botol air mineral diletakkan di atas meja.

"Aku hanya punya ini Mas.." Seru  Wira, ia masih tampak lelah.

"It's okay, sorry ganggu Lo pagi-pagi.." Taruna meraih botol itu dan membuka tutupnya.

Wira memilih untuk duduk di sofa   didepannya, mereka terpisah oleh meja tamu berbentuk persegi panjang. Wira turut minum dan hampir menghabiskan satu botol air ukuran 600ml itu.

Lalu suasana hening memerangkap mereka kembali.

Keduanya mencoba mencari celah, agar bisa bisa bicara dengan normal. Tapi Taruna sadar ia sudah terlalu jauh dan terlalu lama tidak pernah terlibat percakapan dengan adiknya itu.

MEMINJAM WAKTUWhere stories live. Discover now